MENJAJAKI SIFAT DAN PEMIKIRAN CALON SUAMI/ISTRI (JILID 1)

MENJAJAKI SIFAT DAN PEMIKIRAN CALON SUAMI/ISTRI (JILID 1)

Oleh : Abu Akmal Mubarok

 Image

Pepatah mengatakan “dalamnya laut bisa diduga tapi hati orang siapa yang tahu?”. Yah, memang demikianlah yang sering terjadi. Setelah pernikahan kita baru tahu sifat dan watak seseorang seperti ini dan itu. Misalnya, kita baru tahu bahwa ternyata pasangan kita itu tidak dewasa dalam menghadapi masalah, cenderung lari dari masalah, sehingga bukannya suami yang menyelesaikan masalah malah segala sesuatu mengandalkan istrinya. Teman saya lain lagi, dia baru tahu jika mertuanya itu sangat suka ikut mengatur rumah tangga anaknya. Walau sudah pada dewasa, tetap saja diperlakukan seperti anak kecil. Sebagai suami, dia menjadi jengah, seolah hak otonominya dalam keluarga dilecehkan. Bahkan letak meja dan kursi pun diatur orang tua istri.

Ada suami yang dari sejak kecil kultur keluarganya menganggap bahwa laki-laki tidak boleh dekat-dekat dapur dan tidak pernah diminta membantu pekerjaan rumah. Sehingga ketika ia berkeluarga, sama sekali tidak bisa mandiri dan selalu minta dilayani. Bahkan ketika anaknya 9 dan istri baru melahirkan pun sang suami menuntut dilayani walau hanya sekadar bikin air teh. Bahkan sekadar ganti lampu bohlam pun tidak mau beli ke warung dan harus menyuruh tukang.

Yang lebih parah lagi, ada yang baru tahu bahwa suaminya mengidap semacam penyakit jiwa, inferioritu complex (rasa rendah diri) namun untuk menutupinya ia suka memarahi istrinya di depan umum. Hal itu untuk menampakkan kuasanya sekaligus mengobati rasa rendah dirinya di hadapan orang lain. Jangan dikira bahwa semua ini adalah kisah-kisah orang awam agama yang tidak mengenal pengajian? Oh tidak, ini semua adalah kisah orang yang bertahun-tahun berkecimpung dalam pengajian, menganal agama dan aktifis dakwah.

Hal-hal semacam ini bisa terjadi dalam rumah tangga. Ketidak cocokkan sifat, perbedaan cara pandang dan yang paling parah adalah penyakit kejiwaan bisa menyebabkan ketidak harmonisan rumah tangga. Bagi yang menganut pacaran pun seringkali hal-hal semacam ini tidak terdeteksi. Yah wajar, karena selama pacaran kedua pihak saling memoles diri, cenderung menampilkan sisi baiknya saja (bahkan kadang sisi baik nya pun ini hanya polesan dan tipuan). Sementara sisi buruk nya ditutup-tutupi. Selama pacaran isinya hanya ngobrol ha ha hi hi, makan-makan, jalan-jalan, sedangkan agenda utama untuk menjajaki sifat dan perilaku calon pasangannya terlupakan.

Demikian pula yang menganut sistem ta’aruf, seringkali data dan keterangan seseorang diperoleh lewat pihak ketiga (mak comblang). Ada yang hanya saling bertukar data pribadi saja. Ada yang dibolehkan oleh gurunya untuk ngobrol saling bertemu dengan diampingi mahramnya. Yang menjadi pertanyaan adalah  sejauh mana mak comblang itu memahami calon pasangan tersebut? “Dia orang baik, ibadahnya rajin, aktif berdakwah”. Apakah keterangan ini cukup untuk mengambil keputusan menikahi dia? Ada yang berkata bahwa yang penting agamanya. Jika agamanya baik maka akan baik semuanya. Maka apa yang dimaksud dengan agama di sini? Ada orang yang pengetahuan agamanya baik namun prakteknya nol sama sekali.

Bagaimana cara kita mengenal seseorang ? Apakah dengan melihat ibadah seseorang itu sudah cukup? Dalam sebuah atsar sahabat dikemukakan : Suatu hari Umar bin Khattab r.a. akan memutuskan suatu perkara dan hendak menilai seorang saksi. Berkata Umar bin Khataab r.a. pada seseorang , “Datangkan orang yang mengetahui tentang dia.” Maka didatangkanlah seseorang.  Lalu Umar bertanya kepadanya, “Apakah kamu mengenalnya?” Dia berkata, “Ya”  Umar berkata, ” Bagaimana kamu mengenalnya? Apakah kamu menjadi tetangganya sehingga kamu mengetahui pergi pulangnya?” Orang itu berkata, “Tidak.” Umar berkata lagi, “Apakah kamu pernah bertransaksi dinar dan dirham (uang) kepadanya sehingga engkau mengetahui amanahnya orang ini?” Orang itu berkata, “Tidak.” Umar berkata lagi, “Apakah kamu pernah safar bersamanya sehingga kamu telah mengetahui akhlak orang yang sesungguhnya?” Orang itu berkata, “Tidak.”  Lalu Umar bin Khattab berkata, “Tampaknya kamu cuma melihat dia di masjid sujud dan ruku, lalu kamu melihat ia beribadah?!” Orang itu berkata, “Ya.” Maka Umar bin Khattab berkata, “Pergilah, engkau sesungguhnya engkau belum mengenalnya…”.

Dari sini kita tahu bahwa untuk mengetahui seseorang tidak lah cukup hanya dengan ngobrol sepintas saja, atau hanya melihat kesehariannya saja. Namun harus bermuamalah lebih jauh, baru diketahui karakter sesungguhnya. Tolok ukurnya adalah seperti yang dikatakan Umar bin Khattab r.a. : “Apakah kamu pernah bepergian dengan dia ? Apakah kamu pernah berbisnis dengan dia? Sehingga diketahui kejujurannya dan amanahnya?”

Kita ambil contoh bagaimana cara kisah Nabi Musa a.s. berta’aruf dengan anak gadis Nabi Syu’aib dan bagaimana Nabi Syu’aib memilih mantu untuk kedua anak gadisnya.

          “Tatkala ia (Musa) sampai di negeri Madyan, ia menjumpai disana sekumpulan orang sedang meminumkan ternaknya dan ia (Musa) menjumpai dua orang wanita sedang menahan ternaknya. Lalu Musa bertanya “Mengapa kamu berbuat begitu ?” Kedua wanita itu menjawab “Kami tidak dapat meminumkan ternak kami sebelum para penggembala itu selesai, sedangkan Bapak kami sudah lanjut umurnya”. (Q.S. Al-Qasahash [28] :23)

Begitulah wanita muslim yang baik, ia tidak mau bercampur baur (ikhtilat) dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.

“Lalu Musa memberi minum ternaknya untuk menolong kedua wanita tadi, lalu ia kembali ke tempatnya berteduh lalu berdoa “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”. (Q.S. Al-Qasahash [28] :24)

Ketika dalam hati Musa timbul rasa tertarik pada wanita tersebut, sebagai pemuda yang baik, ia mencoba menahan perasaan tersebut dan lalu mengadu pada Allah. Yang dimaksudkan dengan “kebaikan” yang dimohon oleh Musa kepada Allah adalah agar diberikan jodoh atau seorang isteri.

“Lalu datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita tadi berjalan kemalu-maluan, berkata : Sesungguhnya Bapakku memanggil kamu agar memberikan balasan atas kebaikanmu memberi minum ternak kami. Maka ketika Musa mendatangi bapaknya (yaitu Nabi Syua’ib), maka Nabi Syua’ib berkata : Jangan takut, kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim”. (Q.S. Al-Qasahash [28] :25)

             “Lalu salah seorang wanita tadi berkata “Wahai Bapakku, ambillah ia sebagai pegawai kita, karena sesungguhnya ia orang yang paling baik untuk bekerjapada kita, karena ia orang yang dan dapat dipercaya”. (Q.S. Al-Qasahash [28] :26)

Begitulah wanita muslimah yang baik secara halus hendak mengenali seorang pemuda. Ayat tersebut menunjukkan bahwa boleh saja pria dan wanita saling mengenal sebelum menikah, saling mengobrol, namun di situ hadir mahramnya dan terjaga etikanya. Anak Nabi Syua’ib tersebut tidak berjalan dengan sikap genit, atau binal, melainkan ia berjalan dengan menundukkan kepada “kemalu-maluan”. Ini adalah sikap menahan pandangan seperti diperintahkan oleh Al-Qur’an. Cerita ini sekaligus menunjukkan ciri sikap wanita yang sholehah.

“Berkatalah Syua’ib : Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini dengan syarat kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan dari kamu dan aku tidak hendak memberati kamu. Kamu Insya Allah termasuk orang yang baik. (Q.S. Al-Qasahash [28] :27)

Pada ayat di atas sudah jelas bahwa Nabi Syua’ib a.s. berkata terus terang ia akan menikahkan Nabi Musa a.s. dengan salah seorang dari anaknya. Namun nabi Syu’aib terlebih dahulu mensyaratkan Nabi Musa a.s. bekerja selama 10 tahun sebagai berntuk ta’aruf sekaligus maharnya.

Maka dalam hal menjajaki calon pasangan kita harus mencari informasi yang seksama mengenai diri calon pasangan kita. Karena menikah itu bukan untuk 1-2 tahun melainkan untuk selamanya. Benarkah selamannya? Ya, benar selamanya.  Jika pasangan kita meninggal dalam keadaan masih terikat pernikahan dengan kita maka Insya Allah akan menjadi pasangan kita pula di akhirat kelak.

Maka pasangan kita adalah surga dan neraka kita. Ia bisa menjadi penyebab kita masuk surga bisa pula menyebabkan kita masuk neraka. Apakah pernyataan ini berlebihan? Bisa ya bisa tidak. Dalam beberapa kasus ketidak cocokan suami istri menyebabkan satu sama lain tidak bersedia melayani. Suami tidak peduli pada istrinya sehingga ogah-ogahan dalam menafkahi istrinya. Bahkan ada yang pisah ranjang selama bertahun-tahun. Demikian pula istri ada yang enggan melayani suaminya karena sudah tidak cinta lagi. Maka bukankah ini berati tiada hari tanpa memupuk dosa? Tentu kita tidak ingin pernikahan kita berjalan seperti ini.

(Bersambung Jilid 2…)

4 thoughts on “MENJAJAKI SIFAT DAN PEMIKIRAN CALON SUAMI/ISTRI (JILID 1)

  1. tina says:

    penjajakan sifat dan pemikiran calon pasangan memang penting, tapi jika ditemukan byk ketidak cocokan maka hal itu bukanlah alasan harus mengakhiri proses ta’aruf. ada pertimbangan lain yg dijadikan alasan unt tetap melanjutkan ke jenjang selanjutnya diantaranya krn faktor usia. berbahayakah menikah semata2 diniatkan unt ibadah tanpa diawali rasa suka, cinta, ataupun tdk ada kecocokan sifat?

    ditunggu sambungan jilid2

  2. jameelah says:

    awaiting for season 2 soon ustadz….

  3. nida says:

    Jilid 2 nya ditunggu ya

Leave a reply to jameelah Cancel reply