PUASA SUNAH BULAN RAJAB BID’AH ATAU SUNNAH ? (JILID 2)

PUASA SUNAH BULAN RAJAB BID’AH ATAU SUNNAH ? (JILID 2)

Oleh : Abu Akmal Mubarok

Image

C.       Hadits Hadits Yang Meriwayatkan Dilarangnya Puasa Bulan Rajab

1. Telah diceritakan kepada kami Ibrahim Ibnu Mudzir Al-Hizami berkata telah menceritakan kepada kami Daud bin ‘Atho berkata telah menceritakan kepada ku Zaid bin Abdulhamin bin Abdurrahaman bin Zaid Ibnul Khattab dari Sulaiman dari Bapaknya dari Ibnu Abbas r.a. berkata : “Nabi s.a.w. melarang puasa rajab” (H.R. Ibnu Majah 1733)

Hadits ini dinilai dha’if oleh Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa al-Kubra Juz 2 Hal 479. Hadits ini juga di-dla’if-kan oleh Al-Albani karena dari generasi tabi’ut tabi’in ada Daud bin ‘Atho yang dikenal dengan kuniyah Abu Sulaiman dikenal sering membawakan hadits munkar yaitu hadits-hadits dla’if yang bertentangan dengan riwayat yang lebih sahih.

2. Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Abdul Malik Telah menceritakan kepada kami Abdullah budak Asma’ dia berkata; ‘Asma’ mengutusku kepada Ibnu Umar (untuk menyampaikan) bahwa telah sampai kepadanya (asma), “Bahwa kamu (Ibnu Umar) telah mengharamkan tiga hal; gambar pada pakaian, pelana dari sutera berwarna merah dan puasa di seluruh bulan Rajab?.” Maka Ibnu Umar berkata; “Adapun yang kamu sebutkan tentang puasa Rajab, maka bagaimana dengan orang yang berpuasa sepanjang masa, dan adapun yang kamu sebutkan tentang gambar pada pakaian, maka aku mendengar Umar berkata; aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa memakai sutra di dunia, maka tidak akan memakainya di akhirat nanti.” (H.R. Ahmad dalam Musnad No. 176)

Pada hadits di atas justru terdapat isyarat bahwa Ibnu Umar r.a. menolak tuduhan bahwa ia mengharamkan puasa bulan rajab, karena bagaimana dengan orang yang berpuasa sepanjang masa? Misalnya puasa Nabi Daud yang sehari puasa sehari tidak? Maka tentu ia akan berpuasa juga dalam bulan Rajab.

3. Hadits dari Zaid bin Aslam, bahwa Rasulullah s.a.w.  pernah ditanya tentang puasa Rajab, lalu beliau menjawab: “Di mana kalian dari bulan Sya’ban?” (H.R. Ibnu Abi Syaibah Jilid 2 Hal 513 dan Abdurrazzaq Jilid 4 Hal 292). Hadits ini mursal (dari tabi’in langsung menyebut Rasulullah s.a.w. tanpa menyebut dari sahabat mana mendapatkan hadits tsb), maka derajat hadits ini dha’if.

4. Hadits Usamah bin Zaid. Ia selalu berpuasa di bulan-bulan haram. Lalu Rasulullah s.a.w. bersabda kepadanya: “Berpuasalah di bulan Syawal.” Lalu Usamah meninggalkan puasa di bulan-bulan haram (lainnya), dan hanya berpuasa di bulan Syawal sampai meninggal dunia.” (H.R. Ibnu Majah Juz 1 Hal 555) Hadits ini juga dinilai dha’if oleh Syaikh al-Albani.

D.     Pendapat Ulama Yang Membolehkan Puasa Bulan Rajab

1.  Imam Ahmad  mengatakan kalaupun puasa di bulan Rajab sebaiknya jangan sebulan penuh. Imam Ahmad  meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., akan tetapi hukum makruhnya menjadi hilang bila shaum di bulan Rajab itu disertai dengan di bulan-bulan selainnya.

2.  Al-Mawardi berpendapat dalam kitab Iqna, “Disunanahkan shaum di bulanRajab an Sya’ban

3. Imam al-Nawawi berkata dalam Kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab :

  1. “Teman-teman kami (para ulama madzhab Syafi’i) berkata: “Di antara puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang paling utama adalah Muharram. Al-Ruyani berkata dalam al-Bahr: “Yang paling utama adalah bulan Rajab”. Pendapat al-Ruyani ini keliru, karena hadits Abu Hurairah yang akan kami sebutkan berikut ini insya Allah (“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram) (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab Juz 6 Hal 439)

4.  Ibnu Hajar al-Haitsami dalam Kitab Al-Fatawa mengatakan :

“Ibnu Hajar, (dan sebelumnya Imam Izzuddin bin Abdissalam ditanya pula), tentang riwayat dari sebagian ahli hadits yang melarang puasa Rajab dan mengagungkan kemuliaannya, dan apakah berpuasa satu bulan penuh di bulan Rajab sah? Beliau berkata dalam jawabannya: “Nadzar puasa Rajab hukumnya sah dan wajib, dan dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukannya. Orang yang melarang puasa Rajab adalah orang bodoh dengan pengambilan hukum-hukum syara’. Bagaimana mungkin puasa Rajab dilarang, sedangkan para ulama yang membukukan syariat, tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan masuknya bulan Rajab dalam bulan yang makruh dipuasai. Bahkan berpuasa Rajab termasuk qurbah (ibadah sunnah yang dapat mendekatkan) kepada Allah, karena apa yang datang dalam hadits-hadits shahih yang menganjurkan berpuasa seperti sabda Nabi s.a.w. : “Allah berfirman, semua amal ibadah anak Adam akan kembali kepadanya kecuali puasa”, dan sabda Nabi s.a.w.: “Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menurut Allah dari pada minyak kasturi”, dan sabda Nabi s.a.w.: “Sesungguhnya puasa yang paling utama adalah puasa saudaraku Daud. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.” Nabi Dawud AS berpuasa tanpa dibatasi oleh bulan misalnya selain bula Rajab.”( Al-Fatawa Jilid 2 Hal 53)

5. Pernyataan Mazhab Syafi’I yang membolehkan puasa sunnah bulan Rajab bisa dilihat juga pada Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah(2/53), Mughni al-Muhtaj (2/187), Nihayah al-Muhtaj (3/211)

6. Nizhamuddin mengemukakan pendapat dari Mazhab Hanafi dalam Al-Fatawa al-Hindiyyah fii Hanafiyah  disebutkan:

“Macam-macam puasa yang disunnahkan adalah banyak macamnya. Pertama, puasa bulan Muharram, kedua puasa bulan Rajab, ketiga, puasa bulan Sya’ban dan hari Asyura” Al-Fatawa al-Hindiyyah fii Hanafiyah Juz 1 Hal 202)

7. Al-Kharsyi dalam kitab Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil  menjelaskan puasa yang disunnahkan berkata :

“Muharram, Rajab dan Sya’ban. Yakni, disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram – bulan haram pertama -, dan Rajab – bulan haram yang menyendiri.” Dalam catatan pinggirnya: “Maksud perkataan pengarang, bulan Rajab, bahkan disunnahkan berpuasa pada semua bulan-bulan haram yang empat, yang paling utama bulan Muharram, lalu Rajab, lalu Dzul Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.” (Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil Juz 2 Hal 241),

8. Pernyataan Mazhab Maliki yang membolehkan puasa sunnah bulan Rajab bisa dilihat juga pada kitab al-Fawakih al-Dawani  Juz 2 Hal272, Kifayah al-Thalib al-Rabbani Juz 2 Hal 407, Syarh al-Dardir ‘ala Khalil Juz 1 Hal 513 dan Al-Taj wa al-iklil Juz 3 Hal 220.

9.

  • Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dari Mazhab Hambali berkata dalam Kitab Al-Mughni :

“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah puasa. Ahmad bin Hanbal berkata: “Apabila seseorang berpuasa Rajab, maka berbukalah dalam satu hari atau beberapa hari, sekiranya tidak berpuasa penuh satu bulan.” Ahmad bin Hanbal juga berkata: “Orang yang berpuasa satu tahun penuh, maka berpuasalah pula di bulan Rajab. Kalau tidak berpuasa penuh, maka janganlah berpuasa Rajab terus menerus, ia berbuka di dalamnya dan jangan menyerupakannya dengan bulan Ramadhan (Kitab al-Mughni Juz 3 Hal 53)

10. Ibnu Muflih berkata dari Mazhab Hambali berkata dalam Kitab Al-Furu’ :

“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa. Hanbal mengutip: “Makruh, dan meriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar dan Abu Bakrah.” Ahmad berkata: “Memukul seseorang karena berpuasa Rajab”. Ibnu Abbas berkata: “Sunnah berpuasa Rajab, kecuali satu hari atau beberapa hari yang tidak berpuasa.” Kemakruhan puasa Rajab bisa hilang dengan berbuka (satu hari atau beberapa hari), atau dengan berpuasa pada bulan yang lain dalam tahun yang sama. Pengarang al-Muharrar berkata: “Meskipun bulan tersebut bukan muharam  (Kitab Al-Furu’ Juz 3 Hal 118)

11. Al-Syaukani berkata dalam Kitab Nailul-Authar mengatakan :

“Telah datang dalil yang menunjukkan pada disyariatkannya puasa Rajab, secara umum dan khusus. Adapun hadits yang bersifat umum, adalah hadits-hadits yang datang menganjurkan puasa pada bulan-bulan haram (Rajab, Dzluqa’dah, Dzu;hijjah dan Muharam). Sedangkan Rajab termasuk bulan haram berdasarkan ijma’ ulama. Demikian pula hadits-hadits yang datang tentang disyariatkannya puasa sunnat secara mutlak.”( Kitab Nailul-Authar Juz 4 Hal 291)

12. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan : “Adapun perintah Nabi s,a,w, untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, Juz 25 Hal 291)

E.  Ulama Yang Berpendapat Ada Hadits Puasa Bulan Rajab Yang Palsu

  1. Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas r.a. disebutkan bahwa shaum sebulan penuh di bulan Rajab adalah makruh. Perkataan Ibnu Abbas r.a. ini jika benar demikian adalah memakruhkan jika mengkhususkan puasa sunnah pada bulan Rajab saja sementara tidak diikuti dengan puasa sunnah di bulan lainnya misalnya puasa di bulan Sya’ban, Syawal dll
  2. Diriwayatkan Umar bin Khattab r.a. melarang menghususkan bulan Rajab dengan puasa sunnah. Riwayat ini dikemukakan oleh Ibnu Hajar Asqolani dalam kitabnya “Tabyinun Ujb”, menegaskan bahwa tidak ada hadis sahih yang menerangkan keutamaan puasa di bulan Rajab. Perkataan Umar bin Khattab r.a. ini adalah larangan mengkhususkan diri puasa di bulan Rajab sementara tidak puasa sunnah di bulan-bulan lainnya.
  3. Disebutkan bahwa Ibnu Umar r.a.memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar Al-Tarthusi juga mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat. Perkataan ini memakruhkan jika mengkhususkan diri hanya puasa di bulan Rajab dan tidak berarti tidak boleh puasa di bulan Rajab.
  4. Imam asy-Syaukani menukil perkataan ‘Ali bin Ibra-him al-‘Aththaar, ia berkata dalam risalahnya: “Sesungguhnya riwayat tentang keutamaan puasa Rajab, semuanya adalah palsu dan lemah, tidak ada asalnya.” (Lihat al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaaditsil Maudhu’ah hal. 381) Tapi perkataan Imam Asy Syaukani ini hanya menafikkan masalah pengutamaannya bukan mengharamkan sekali puasa di bulan Rajab. Karena memang puasa sunnah bulan Rajab tidak lebih utama dari puasa-puasa sunnah di bulan lainnya.
  5. Syaikh Muhammad Darwiisy al-Huut berkata : “Tidak satupun hadits yang sah tentang bulan Rajab sebagaimana kata Imam Ibnu Rajab.” [Lihat Asnal Mathaalib (hal. 157)]
  6. Al-Hafizh Ibnu Hajar Asqalani mengatakan dalam kitabnya, Tabyiinul ‘Ajab bima Warada fii Fadhli Rajab: “Tidak ada riwayat yang sah yang menerangkan tentang keutamaan bulan Rajab dan tidak pula tentang puasa khusus di bulan Rajab, serta tidak ada pula hadits yang shahih yang dapat dipegang sebagai hujjah tentang shalat malam khusus di bulan Rajab. Hal ini karena Ibnu Hajar Asqolani menyatakan hadits puasa Rajab dari rawi Sa’id Ibn Iyas Al Juraini dla’if karena Al Juraini mengalami Mukhhtalit (perubahan hafalan /pikun) di masa tuanya. Namun sebagaimana telah dijelaskan Dalam kitab Ma’rifatus Tsiqat, Jilid I Hal 394 bahwa hadits tentang puasa Rajab ini diterima oleh Dhamak, Sufyan dan Waki’ dari Al Juraini di masa belum Mukhtalit.
  7. Imam Ibnul Jauzy menerangkan bahwa hadits-hadits tentang Rajab, Raghaa’ib adalah palsu dan rawi-rawi majhul atau tidak dikenal (Lihat Al-Maudhu’at Juz II/123-126). Perkataan Ibnul Jauzy ini ini tentang tidak adanya shalat Rhagaib di bulan Rajab dan bukan tentang puasa sunnah di bulan Rajab.
  8. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Adapun shalat Raghaa’ib, tidak ada asalnya (dari Nabi SAW), bahkan termasuk bid’ah…. Atsar yang menyatakan (tentang shalat itu) dusta dan palsu menurut kesepakatan para ulama dan tidak pernah sama sekali disebutkan (dikerjakan) oleh seorang ulama Salaf dan para Imam…” beliau berkata lagi: “Shalat Raghaa’ib adalah bid’ah menurut kesepakatan para Imam, tidak pernah Rasulullah s.a.w. menyuruh melaksanakan shalat itu, tidak pula disunnahkan oleh para khalifah sesudah beliau s.a.w dan tidak pula seorang Imam pun yang menyunnahkan shalat ini, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Imam ats-Tsaury, Imam al-Auzaiy, Imam Laits dan selain mereka..” (Majmu’ Fataawa Jilid XXIII Hal 132-134) Perkataan ini berkaitan tentang palsunya riwayat shalat Rhagaib dan bukan tentang puasa sunnah di bulan Rajab.
  9. Syaikh Muhammad Abdus Salam Khilidhir, penulis kitab as-Sunan wal Mubtada’at berkata: “Ketahuilah setiap hadits yang menerangkan shalat di awal Rajab, pertengahan atau di akhir Rajab, semuanya tidak bisa diterima dan tidak boleh diamalkan.” (As-Sunan wal Mubtada’at (hal. 141) Perkataan ini menerangkan tentang tidak adanya shalat khusus di bulan Rajab dan bukan tentang puasa sunnah di bulan Rajab.
  10. Kata Imam an-Nawawy dikutip dalam kitab As-Sunan wal Mubtada’at Syaikh Muhammad Abdus Salam Khidhir : “Shalat Raghaa-ib ini adalah satu bid’ah yang tercela, munkar dan jelek.” (Lihat As-Sunan wal Mubtada’at hal. 140). Perkataan Imam Nawawi ini dikutip oleh Syaikh Muhammad Abdus Salam Khilidhir. Sedangkan perkataan Imam Nawawi ini berbicara tentang tidak adanya Shalat Raghaib bukan tentang puasa bulan Rajab.
  11. Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhamad bin Manshur al-Sam’ani mengatakan : “tak ada hadis yang kuat yang menunjukkan kesunahan puasa Rajab secara khusus” Perkataan ini tidak menunjukkan larangan puasa sunnah di bulan Rajab hanya saja tidak boleh mengkhususkan puasa sunnah di bulan Rajab saja.
  12. Al Hafidz Abu Ismail Al Harawi, berkata :” Adapun hadits-hadits mengenai keutamaan bulan Rajab dan keutamaan puasa Rajab atau puasa pada hari-hari tertentu di bulan Rajab cukuplah jelas dan terbagi menjadi dua yaitu dha’if dan maudhlu’.”

B.     Kesimpulan dari Semua Kesimpulan

Sudah jelas dari semua dalil bahwa bulan Rajab adalah salah satu bulan yang mulia serta termasuk dari 4 bulan haram (Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam). Sehingga tak ada seorang muslim yang beriman menolak atau menyangsikan kemuliaan bulan-bulan haram tersebut. Namun bulan Rajab tidak lebih utama dari pemuliaan bulan haram lainnya selain itu Islam juga memuliakan selain bulan Haram seperti bulan Sya’ban dan Syawal.

Maka puasa di bulan Rajab jelas ada dan boleh. Adalah salah jika menyatakan tidak ada puasa Rajab. Akan lebih salah lagi jika menyatakan haram berpuasa bulan Rajab. Yang benar adalah Rasulullah s.a.w. pernah berpuasa di bulan Rajab dan juga pernah tidak berpuasa di bulan Rajab. Mengkhususkan diri hanya berpuasa di bulan Rajab adalah makruh. Letak makruhnya bukan soal berpuasanya namun soal mengkhususkan hanya menghormati bulan Rajab saja sedangkan tidak menghormati bulan bulan lainnya dengan berpuasa sunnah juga. Adapun Rasulullah s.a.w. sesungguhnya pada semua bulan beliau berpuasa dan andaikan mau dilebihkan, maka dari semua kesaksian para sahabatn beliau s.a.w. paling banyak berpuasa sunnah pada bulan Sya’ban dan bukan bulan Rajab  Juga tidak ada dasarnya meyakini tanggal tertentu atau haru tertentu di bulan Rajab. Yang benar adalah silakan berpuasa 2-3 hari di hari apa saja pada bulan Rajab sebagaimana berpuasa 2-3 hari di bulan haram lainnya. Puasa 2-3 hari ini berbeda dengan puasa senin kamis dan puasa ayamul bidh 3 hari tiap tengah bulan yang dilaksanakan pada semua bulan.

Adapun sikap memuliakan bulan Rajab tidak lantas dengan cara menerima begitu saja hadits-hadits yang berlebih-lebihan seperti terbebasnya dari penyakit, atau sama dengan puasa setahun penuh dan sholat malam setahun penuh atau akan disediakan telaga khusus di surga dll. Adapun kenyataannya hadits-hadits yang bombastis itu adalah hadits dla’if bahkan palsu. Orang yang melebih-lebihkan keutamaan bulan Rajab dengan membawakan hadits palsu sama buruknya dengan orang yang sama sekali menolak atau mengharamkan adanya puasa di bulan Rajab. Wallahua’lam.

4 thoughts on “PUASA SUNAH BULAN RAJAB BID’AH ATAU SUNNAH ? (JILID 2)

  1. Holy Trooper says:

    Masya Allah …. saya sangat suka dengan pendapat anda yang sangat adil ini… saya sendiri salafy tapi saya sependapat dengan anda soal ini… mengharamkan puasa bulan rajab itu salah total … tapi membombastiskan keutamaan bulan rajab dengan hadits hadits lemah dan palsu tidak kalah buruk dari yang mengharamkan…. syukron.. jazakallahu khoiron katsiron …

    • Afwan.. adil itu adalah mendudukkan sesuatu pada tempatnya dan hendaknya kebencian kita pada suatu kaum, jangan sampai membuat kita berlaku tidak adil pada mereka. Karena adil itu lebih dekat dengan taqwa. Kita semua seharusnya salaf dalam artian mengikuti pendapat orang orang terdahulu (salaf) mengapa begitu? Karena mereka lah yang lebih tahu konteks peristiwanya, mereka lah yang hadir saat sebuah ayat turun, dan mereka lah yang hadir saat Sabda Rasulullah s.a.w. disabdakan. Mereka lebih tahu maksud dan dalam konteks apa perkataan tsb disabdakan. Wallahua’lam.

  2. Gamis Baru says:

    terimakasih penjelasannya,
    banyak dan detil

  3. bahlul idana says:

    Subhanallah, sangat bermanfaat!!!

Leave a reply to bahlul idana Cancel reply