NIAT DI DALAM HATI ATAU DIUCAPKAN??

NIAT DI DALAM HATI ATAU DIUCAPKAN??

Oleh : Abu Akmal Mubarok

Image

Salah satu masalah klasik yang sering ditanyakan adalah perbedaan pendapat masalah niat (terutama niat dalam shalat) apakah diucapkan ataukah cukup di dalam hati saja. Baiklah, sebelum menjawab persoalan ini, marilah kita mulai dengan mendudukkan dulu urgensi (pentingnya) niat dalam sebuah perbuatan. Dalam sebuah hadits yang mutawatir dikatakan :

Dari Al-Qamah bin Waqqash Al-Laistsi bahwa ia berkata : Aku mendengar Umar bin Khattab r.a. berkata di atas mimbar : Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : “Innamal a’malu bi niyah (Tiap amal perbuatan harus disertai dengan niat), balasan bagi amal manusia sesuai dengan apa yang diniatkannya barang siapa yang berhijrah untuk mengharapkan dunia atau seorang wanita untuk dinikahi maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya” (H.R. Bukhari)

Ibnu Hajar Asqolani mengatakan bahwa “kata “bi” artinya adalah mushohabah yaitu menyertai amal tersebut, namun ada juga yang mengartikan sababiyah (menunjukkan sebab) seakan akan hadits ini mengatakan tidak ada perbuatan kecuali dengan niat namun niat bukan inti dari perbuatan tersebut karena ada perbuatan yang tidak didasari oleh niat” (Fathul Bari Jilid 1 Hal 19)

Sebagian ahli hadits mengatakan bahwa dalam hadits tersebut sebenarnya ada kata-kata yang dihapus (mahdzuf) yaitu sebelum kata “a’malu”. Hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai kata apa yang dihapus itu. Ada yang mengatakan kata itu adalah “tu’tabar (tergantung)” sehinga kata-kata lengkapnya semestinya adalah setiap perbuatan itu tergantung dari niat. Kata “tu’tabar (tergantung) di sini maksudnya nilai dan jenis dari perbuatan itu tergantung dari niatnya.  Hal ini diperkuat dari kelanjutan hadits di atas yaitu : “barang siapa yang berhijrah untuk mengharapkan dunia atau seorang wanita untuk dinikahi maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya

Artinya, secara lahiriyah nampak luar perbuatan itu bisa sama, yaitu sama-sama berhijrah, namun nilai dan balasan perbuatan itu tergantung dari niatnya. Jika niatnya hijrah untuk meraih dunia, maka ia akan mendapatkan dunia, namun tidak mendapat pahala akhirat, demikian pula jika hijrahnya untuk mengejar wanita yang dicintainya, maka ia akan mendapat wanita itu sehingga mungkin saja berhasil menikahinya, namun ia tidak mendapat pahala akhirat. Sedangkan yang berhijrah niatnya untuk menegakkan agama Allah, maka ia mendapat pahala akhirat, dan mungkin juga kesenangan di dunia.

Ada juga yang mengatakan kata yang dihapus sebelum kata “a’malu” adalah “tashihhu (sahnya)” sehingga kata-kata lengkapnya semestinya adalah “setiap perbuatan itu tergantung sahnya niat” Maka tanpa niat, perbuatan itu menjadi tidak sah. Maka tanpa niat, perbuatan itu menjadi tidak sah.

Ibnu Daqiiq Al-‘Id mengatakan “kata yang dihapus itu adalah “shihhatal a’mali (sahnya amal)” sehingga mereka mewajibkan adanya niat, dan bagi yang tidak mensyaratkan adanya niat maka mereka mengatakan kata yang dihapus itu adalah “kamalal a’mali (kesempuranaan amal) namun pendapat yang terkuat adalah pendapat pertama (yaitu shihhatal a’mali)” (Fathul Bari Jilid 1 Hal 20)

Lebih lanjut Ibnu Hajar Asqolani mengatakan : “para ahli fikih berbeda pendapat untuk menentukan apakah niat itu termasuk rukun atau syarat.” (Fathul Bari Jilid 1 Hal 19)

Lebih lanjut lagi Ibnu Hajar Asqolani mengatakan : “setiap perbuatan yang HANYA bisa dibedakan dengan adanya niat maka niat  terasuk syarat dalam perbuatan sedangkan perbuatan yang bisa dibedakan dengan sendirinya (dari lahiriyah nampak luarnya) maka tidak disyaratkan adanya niat sebagai seperti dizkir, berdoa dan membaca Al-Qur’an karena perbuatan ini jelas bisa dibedakan dari perbuatan sehari hari atau ‘adat. Sedangkan orang yang membaca subhanallah karena merasa takjub maka ia tidak mendapat pahala kecuali dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada Allah” (Fathul Bari Jilid 1 Hal 22)

Maka dari sini kita memahami bahwa niat itu menentukan apakah sebuah perbuatan itu dianggap atau tidak dianggap, dan dianggap apa itu tergantung dari niatnya bukan dilihat dari lahiriyahnya. Dianggap di sini maksudnya adalah dianggap di mata Allah dan bukan di mata manusia. Karena anggapan di mata manusia adalah tetap sebagaimana lahiriyahnya. Sebagai contoh seseorang melakukan gerakan shalat, namun niatnya dalam hati adalah melakukan senam pagi, namun orang mengira ia sedang melakukan shalat karena gerakannya persis sama dengan gerakan shalat. Namun di mata Allah, perbuatan itu dianggap sebagai senam pagi dan bukan shalat, karena orang tersebut niatnya senam pagi. Terlepas niat itu diucapkan atau tidak, yang jelas ia niatnya senam pagi, dan bukan shalat, maka ganjaran dari perbuatan itu pun sebatas niatnya. Jika niatnya senam pagi, maka tubuhnya adalah bugar dan sehat namun tidak mendapat pahala akhirat.

Kasus yang sama juga bisa diterapkan pada orang yang berpuasa karena diet kesehatan dan bukan karena menjalankan kewajiban puasa ramadhan, bukan karena taat pada perintah Allah. Orang yang puasa karena niat diet insya Allah akan memperoleh kesehatan, namun tidak memperoleh pahala akhirat. Sedangkan yang melakukan puasa karena taat pada perintah Allah dan RasulNya, mendapat kedua-duanya, yaitu manfaat kesehatan dan pahala akhirat.

Orang Yang Berpendapat Yang Penting Perbuatannya Dan Bukan Niatnya

Sebagian orang ada yang membantah dengan mengatakan apa gunanya niat (terlepas niat itu dalam hati maupun diucapkan), jika tidak disertai dengan perbuatan. Hal ini memang benar namun tidak berarti bahwa perbuatan itu menjadi boleh tanpa niat.

Ibnu Hajar Asqolani mengatakan bahwa “tidak ada perbuatan kecuali dengan niat namun niat bukan inti dari perbuatan tersebut karena ada perbuatan yang tidak didasari oleh niat” (Fathul Bari Jilid 1 Hal 19)

Ibnu Daqiiq Al-‘id berkata : “kalmat kedua (yaitu balasan bagi amal manusia sesuai dengan apa yang diniatkannya) memiliki arti barang siapa yang berniat, maka ia mendapatkan pahala baik perbuatan itu dilaksanakan atau tidak dan setiap perbuatan yang tidak diniatkan (untuk Allah) tidak mendapat pahala”  (Fathul Bari Jilid 1 Hal 21)

Namun Imam Al-Ghazali berpendapat ada perbuatan yang tidak perlu niat dan tetap mendapatkan pahala karena perbuatan itu lebih baik dari perbuatan lain. Imam Al-Ghazali mengatakan : “berdzikir dengan lidah tanpa disertai hati yang khusyu tetap akan mendapat pahala karena lebih baik dari ghibah (menggunjing), dan lebih baik daripada diam tanpa tafakur (maksudnya diam tanpa memikirkan Allah berarti mungkin cuma melamun). Namun berdzikir dengan lisan saja tidak cukup dikatakan sebagai amalan hati.

Apakah Niat Itu Dalam Hati Atau Harus Diucapkan ?

Setelah kita memahami pentingnya niat dalam sebuah perbuatan, sampai di sini kita belum membahas apakah niat itu perlu diucapkan atau cukup di dalam hati. Maka selanjutnya kita membahas apakah niat itu cukup di dalam hati atau harus diucapkan.

Jika kita detilkan lagi, masalah ciucapkan atau tidak diucapkan niat ini ada 3 pendapat yaitu :

  1. Yang berpendapat niat itu di dalam hati tanpa lafal tertentu, kecuali cukup dengan memusatkan hati dan pikiran terhadap apa yang hendak dilakukan.
  2. Yang berpendapat niat itu ada lafalnya namun cukup diucapkan dalam hati
  3. Yang berpendapat niat itu ada lafalnya dab harus diucapkan secara zhahir dengan mulut

Dalam perkara ini. ada sebagian kelompok ada yang mengatakan bahwa lafal niat yang selama ini dipraktekkan oleh umat Islam adalah bid’ah karena tidak ada contohnya sama sekali dari Rasulullah s.a.w. Namun pendapat ini terlalu berlebih-lebihan, karena ada hadits yang menceritakan adanya lafal niat oleh Rasulullah s.aw. sebagai berikut :

Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Umar telah menceritakan kepada kami Yazid dari Habib dari ‘Atho` dari Jabir bin Abdullah mengatakan; ‘kami bersama Rasulullah s.a.w., kemudian kami mengucapkan niat talbiyah untuk haji, ketika kami tiba di Mekkah tanggal empat Dzul hijjah, Nabi s.a.w.  memerintahkan kami untuk melakukan thawaf di baitullah dan (sa’i) di Shafa dan Marwa, dan agar kami menjadikannya sebagai Umrah, maka kami bertahallul kecuali bagi mereka yang terlanjur membawa korban.’ Kata Jabir; ‘dan tidak ada seorangpun dari kami yang membawa binatang korban selain Nabi s.a.w.  dan Tholhah. Datanglah Ali dari Yaman sambil membawa binatang korban, kemudian ia berucap; ‘Saya mengucapkan niat sebagaimana Rasulullah s.a.w. mengucapkan niat…”  (H.R. Bukhari No. 6689)

Memang benar hadits di atas sedang menceritakan ibadah umroh atau haji dan bukan ibadah shalat, namun paling tidak hal ini menunjukkan adanya lafal niat dalam ibadah. Maka berdasarkan hadits ini ada sebagian ulama yang berpendapat sahnya perbuatan itu ditentukan ada tidaknya niat (artinya jika tidak ada niat perbuatan tersebut menjadi tidak sah), lalu menggunakan qiyas (analogi atau mempersamakan dengan kasus haji di atas) bahwa jika demikian, alangkah baiknya jika ibadah lainnya (shalat, zakat, puasa dll) juga menggunakan lafal niat sebagaimana dicontohkan Rasulullah s.a.w. pada ibadah haji di atas.

Maka sebagaimana pernah kami jelaskan dalam “pembahasan mengenai bid’ah”, penggunaan qiyas adalah termasuk salah satu landasan yang sah dalam syari’at Islam. Sehingga orang yang melakukan qiyas tidak bisa dikatakan tidak memiliki landasan dalam syari’at. Maka orang yang melakukan qiyas terhadap suatu hadits Rasulullah s.a.w. tidak bisa dikatakan tidak ada contohnya dari Rasulullah s.a.w

Ibnu Hajar Asqolani mengatakan : “pendapat yang paling kuat adalah mengucapkan niat di awal pekerjaan adalah termasuk rukun (urutan untuk bisa disebut sebagai sebuah perbuatan)” (Fathul Bari Jilid 1 Hal 19)

Kesimpulan

Maka kesimpulan dalam masalah niat ini adalah bahwa niat itu memang wajib ada, dan perbuatan itu menjadi tidak sah  jika tidak ada niat dan niat itu adalah itikad, maksud, tekad dan menyengaja memaksudkan sebuah perbuatan di dalam hati (terlepas niat itu diucapkan dengn lisan atau tidak).

Dalam hal niat itu diucapkan atau tidak, ada yang mewajibkan, ada yang menganggap sunnah ada juga yang mengatakan mu’bah namun ada juga yang mengharamkannya karena dianggap bid’ah. Maka pendapat yang pertengahan (wasiith) dalam perkara ini adalah lebih utama dan lebih baik (sunnah) atau lebih disukai (mustahab) niat itu diucapkan agar menjamin, memastikan, Anda tidak lupa berniat, karena jika lupa, perbuatan tersebut tidak dianggap. Namun mengucapkan niat tidak lah wajib. Sehingga tetap sah jika tidak mengucapkan niat di mulut namun sudah berniat dalam hati. Ada pun yang menganggap ucapan niat itu adalah bid’ah dan tidak ada dasarnya dalam syari’at, adalah sikap ekstrim dan ghuluw (berlebihan) sama juga berlebihannya dengan orang yang menganggap berdosa jika tidak mengucapkan niat. Adapun bagi yang hendak mengucapkan niat, maka susunan redaksi lafal niat memang tidak dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. kecuali ibadah umroh / haji. Maka dibolehkan bagi ulama untuk menyepakati susunan teks lafal niat ini walaupun juga tidak mengapa jika ada lafal lain yang berbeda. Maka memastikan susunan teks lafal niat hanyalah upaya ulama untuk menyatukan dan menyeragamkan, namun bukan sebuah dosa jika lafal niat itu berbeda sedikit atau banyak asalkan maknanya sama. Wallahua’lam

23 thoughts on “NIAT DI DALAM HATI ATAU DIUCAPKAN??

  1. alhamdulillah ustadz, tulisan panjenengan bagus. dan saya dapat mengambil manfaat yang banyak, semoga ustadz dikasih kesehatan olaeh Allah agar tetap bisa menulis dan beribadah, amin.

    • Amiiin. Semoga demikian pula untuk Antum

      • 'abdurRo'hmaan al-faaruq al-A'zhim says:

        assalaamu’alaikum waro’hmatullaahi wa barokaatuh….

        wallaahi…(demi ALLAAH)
        hati-hati dalam menyampaikan sebuah penjelasan untuk ummat…
        jangan sampai kita mencelakakan ummat…
        (Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Umar telah menceritakan kepada kami Yazid dari Habib dari ‘Atho` dari Jabir bin Abdullah mengatakan; ‘kami bersama Rasulullah s.a.w., kemudian kami mengucapkan niat talbiyah….)
        kenapa anda wahai saudaraku kurang teliti akan keputusan ibnu hajar seperti yang saudaraku ucapkan. niat talbiyah adalah Kalimat Talbiyah (Labbaik Allahumma Labbaik, labbaika la syarika laka labbaik inna al hamda wa an ni’mata laka wa al mulk la syarika laka

        Makna dari talbiyah secara umum adalah sebagai berikut :
        1. Labbaik Allahumma Labbaik, artinya adalah kami memenuhi dan akan melaksanakan perintah-Mu ya Allah.
        2. Labbaika la syarika laka labbaik, artinya tiada sekutu bagi-Mu dan kami insya Allah memenuhi panggilan-Mu.
        3. Inna al hamda wa an ni’mata laka wa al mulka la syarika laka, artinya sesungguhnya segala pujian, nikmat dan begitu juga kerajaan adalah milik-Mu dan tidak ada sekutu bagi-Mu.
        -terdapat dalam http://kumpulandoaseharihari.wordpress.com/2012/05/21/kalimat-talbiyah/)Sumber: ikadi.or.id

        lalu mengapa saudaraku ku mengatakan itu adalah sebuah niat yang yang telah wajib baginya dalam semua ibadah.

        inilah yang saudara katakan
        Kesimpulan
        Maka kesimpulan dalam masalah niat ini adalah bahwa niat itu memang wajib ada, dan perbuatan itu menjadi tidak sah jika tidak ada niat dan niat itu adalah itikad, maksud, tekad dan menyengaja memaksudkan sebuah perbuatan di dalam hati (terlepas niat itu diucapkan dengan lisan atau tidak).

        mana dalil yang mengatakan wajib wahai saudaraku….
        sekali lagi itu adalah kalimat talbiyah yang menggambarkan niat pada kalimat itu (…1. Labbaik Allahumma Labbaik, artinya adalah kami memenuhi dan akan melaksanakan perintah-Mu ya Allah…) itu ucapan talbiyah yang ditutupi dengan perkataan niat oleh para sahabat.
        (….Datanglah Ali dari Yaman sambil membawa binatang korban, kemudian ia berucap;’Saya mengucapkan niat sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam berniat.’ Para sahabat berujar;….)- (H.R. Bukhari No. 6689)
        niat yang dikatakan yaitu kalimat talbiyah atau berihlal dan bukan mengatakan nawaitu atau saya berniat, fikirkanlah baik-baik wahai saudaraku karena ini untuk ummat.
        sekali lagi saudaraku mana dalil yang mengatakan bahwa Rasulullaah shollallaahu ‘alahi wa sallam memulai suatu ibadah dengan nawaitu ‘saya berniat’.

        wallaahu’alam (ALLAAH lebih mengetahui)
        sub’haanakallaahumma wabi’hamdika asyhaduallaa ilaa ha illa an’ta asta’gfiruka wa atubuu ilaik
        (Maha Suci Engkau Ya Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Aku memohon ampunan dan taubat kepada-Mu)…
        Tunjukilah kami jalan yang lurus….
        kami hanya bisa beriktiar kepada-Mu….

        assalaamu’alaikum waro’hmatullaahi wa barokaatuh….

      • Wa’alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh.
        Syukron jazakallah atas nasehatnya. Dalam tulisan di atas tidak ada sama sekali pernyataan yang menyatakan bahwa MENGUCAPKAN niat itu wajib yang ada adalah NIAT itu wajib. Mohon dibaca dengan lebih seksama. Bahwa setiap perbuatan itu harus disertai niat, dan perbuatan itu akan dinilai berdasarkan niatnya. Misal kita melakukan gerakan persis seperti sholat namun niatnya (maksudnya) senam pagi maka dinilai sebagai senam pagi walau gerakannya persis sholat. Jadi jangan dicampurkan antara NIAT ITU WAJIB dengan MENGUCAPKAN NIAT ITU WAJIB. (namun ada sebagian umat Islam yang berpendapat wajib dan kami tidak sepakat dengan hal itu). Kami tidak menyatakan bahwa MENGUCAPKAN NIAT ITU WAJIB. Yang benar adalah “NIAT ITU WAJIB”. Mudah2an bisa dibedakan dua hal ini.

        Nah jika NIAT ITU WAJIB maka JIKA TIDAK ADA NIAT, TIDAK SAH AMALNYA. Sekali lagi jangan diselewengkan bahwa kata “NIAT” di sini maksudnya adalah MENGUCAPKAN. Adapun jika sepakat NIAT ITU WAJIB, baru kita bahas apakah niat itu harus diucapkan? Apakah dilafalkan tapi boleh dalam hati ? Bahkan ada yang berpendapat niat itu adalah maksud yang tertanam dalam otak saja. Sehingga dilafalkan dalam hati pun tidak perlu. Nah di sini terjadi perbedaan pendapat. Namun menurut sebagian ulama, mengucapkan itu lebih baik karena MENJAMIN anda tidak lupa berniat.

        Kesimpulannya : titik temu dari masalah ini adalah bahwa niat itu memang wajib dalam sebuah amal, adapun mau dicuapkan atau tidak, mau memakai lafal dalam hati atau tidak, atau sekadar lintasan dalam otak tanpa melafalkan dalam hati sekalipun, yang penting Anda telah berniat. Wallahua’lam.

      • achmad.solichin says:

        terimakasih ustadz atas penjelasanya – semoga Allah yang membalas semua kebaikan ustadz – dan ilmu ini menjadi pegangan saya – untuk dunia dan akhirat – Aamiin

  2. fatimah says:

    Bagus pak,saya paham skr jazakallah khair

  3. ino sudarsono says:

    Suatu amalan itu bkn hanya niatnya saja yg benar, tetapi juga harus benar caranya sesuai contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam krn itulah syarat amalan yg diterima. Krn apa bila kita mengamalkan amalan yg tdk pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berarti kita sudah mengada2 di dlm perkara agama. Oleh sebab itu kita tdk perlu panatik kpd guru kita syeh kita kecuali mereka mengikuti hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yg shohih serta praktek para sahabat radhiyallahu ‘anhum

  4. m. nuhung says:

    melafaskan niat dalam sholat itu hukumnya bid’ah berdasarkan dalil-dalil yang shohih, seandainya itu bagus maka sudah di dahului oleh Rasullah dan para shabatnya, tabi’in, tabi’ut-tabi’in. dan imam yg empat.

  5. rahmat ardin says:

    Allah swt mengetahui setiap hati manusia tanpa harus melafalkannya. Semoga Allah swt selalu merahmati kita semua Aamiin

  6. rizal says:

    Jangan lupa:
    Lafal niat itu beda dengan niat.

  7. surya says:

    terimakasih penjelasannya ustad.

  8. mekkie alfath alala says:

    Kalau tidak ada tuntunannya dari rasulullah saw. Jgn kita ikuti.. karna rasulullah saw adalah sebaik baiknya teladan. Tidak cukupkah bagimu teladan dari rasulullah saw. sehingga kamu masih menjalankan pendapat para ulama. Kalau kita masih menjalankan pendapat para ulama berarti kita mempercayai bahwa para ulama itu lebih baik dari pada rasulullah saw. Berarti kedudukan para ulama lebih tinggi dari pada rasulullah saw. Na’udzubillahi min dzalik

  9. Darmo gandul says:

    Terima kasih,, sy jd tahu hukum talafudz binniyat,,,,

  10. ihsanuddin says:

    Yg jelas niat itu tempatnya di hati,kalau diucapkan namanya bukan niat tapi laporan

  11. vans says:

    wah kalo niat di lafadzkan bid’ah, sampean yg blg bid’ah jgn baca al qur’an yg ada harokatnya bos. karena jaman Nabi dan khalifah yg 4 al qur’an nya gundul dan bukan di baca tp di hafal. mang bisa lu bc qur’an gundul. sotak lu membid’ahkan org, ilmu msh cetek jg.

    • armania says:

      Afwan…ayat pertama diturunkan bukannya Iqro=bacalah,gimana mau menghafal klo kita g baca,bahkan Rasulullah disuruh baca bukan menghafal oleh malaikat Jiblil..(klo g salah)..he

  12. Heri budianto says:

    Alhamdullilah saya lebih memahami apa itu niat dan sebagai pelajaran buat sya melakukan sesuatu yg diberkahi allah swt untuk berniat dan menjadi barokah …
    Terimakas isi pencerhananya ini sangat bermannfaat bagi kita semuanya.
    Amiin

  13. septian says:

    Saya minta pendapat orang di sekeliling saya bilang kalau niat shalat itu pas didalam hati pakai bahasa kita sedangkan yg diucapkan harus bahasa arab . Gimana menurut ustadz soal ini ?

  14. Mohammad Reyhan says:

    Assalam mualaikum
    Dari semua blog yang saya ketahui.
    Saya hanya bisa menyimpulkan allah itu selalu tahu apa yang ingin kerjakan.
    Hanya saja kita harus fokus apa yang hendak kita kerjakan. Jadi tanpa lisan pun tidak apa apa.
    Karena allah sudah tahu apa yang ingin kita kerjakan.jadi hanya perlu dalam hati.
    Tetapi kalau kalian masih takut ibadah kalian tidak diterima lakukan saja dengan membaca doa secara lisan dan dan doa didalam hati.
    Sekian……

  15. Alwi says:

    Jadi klo sudah di ucapkan dengan mulut, dalam hati klo tidak di ucapkan juga tidak apa2 kan?

  16. […] Oleh: Ustadz Abu Akmal Mubarok […]

Leave a reply to m. nuhung Cancel reply