SHOLAT DI ATAS KENDARAAN (JILID 1)

Oleh : Abu Akmal Mubarok

Shalat Di Atas Mobil 01

Pembahasan mengenai boleh tidaknya shalat di atas kendaraan, dan  bagaimana tata cara shalat di atas kendaraan merupakan tema pembahasan yang penting karena zaman kita sekarang ini orang banyak melakukan perjalanan dengan kendaraan. Bahkan bagi sebagian besar orang kota, umur dan waktu mereka banyak dihabiskan di perjalanan.

Terdapat berbagai hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah s.a.w  pernah shalat di atas kendaraan (unta) dengan arah kiblat kemana saja kendaraan tersebut berjalan. Namun sebagian ulama menyimpulkan bahwa shalat di atas kendaraan hanya dibolehkan untuk shalat sunnah saja. Lalu bagaimana jika kita melakukan perjalanan lebih dari 10 jam di atas pesawat udara? Bagaimana pula jika melakukan perjalanan di atas kapal laut selama beberapa hari atau beberapa bulan?

Hadits Tentang Shalat Di Atas Kendaraan Yang Bersifat Umum

Yang dimaksud hadits bersifat umum adalah tidak menyebutkan jenis shalat apa yang dilaksanakan dan apakah itu dilaksanakan ketika siang atau malam hari dan keterangan lainnya.

Abdullah berkata; Aku membacakan kepada Abdurrahman; Malik, dan telah menceritakan kepada kami Ishaq telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa ia berkata, “Rasulullah s.a.w. pernah shalat di atas kendaraannya ketika safar, menghadap kemana kendaraan itu menghadap.” (H.R. Ahmad No. 5082) Hadits semua perawinya tisqoh di tiap tingkatan.

Telah bercerita kepada kami Hasyim telah bercerita kepada kami Zuhair telah bercerita kepada kami Abu Az Zubair dari Jabir berkata : “Rasulullah s.a.w. ketika (dalam perjalanan ) menuju Bani Mustholiq mengundang saya, maka saya mendatanginya, beliau sedang sholat di atas untanya. Saya berbicara kepadanya, beliau menjawab dengan tangannya, begini. Lalu saya berkata lagi, maka beliau menjawab dengan tangannya, begini. Saya mendengarnya, membaca dan memberi isyarat dengan kepalanya. Tatkala telah selesai, bersabda: “Apa yang telah kau lakukan ketika saya mengundang kamu. Saya melakukan demikian karena saya sedang shalat“. (H.R. Ahmad No. 13825) Hadits ini shahih pada semua perawinya.

Telah bercerita kepada kami Abdushshamad telah bercerita kepadaku bapakku telah bercerita kepada kami Katsir Bin Syinzhir telah bercerita kepada kami ‘Atho’ Bin Abu Robah dari Jabir bin Abdullah berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk menjawab salammu kecuali karena saya sedang shalat”, beliau melakukan hal itu di atas kendaraannya dengan tidak menghadap kiblat”. (H.R. Ahmad No. 14256 dan No. 14633) Salah satu perawi hadits ini yaitu Katsir bin Syinzir dikatakan dla’if jiddan oleh Ibnu Hazm dan Laisa bihi ba’s (tidak ada apa-apanya) oleh Al-Bazzar. An-Nasa’i mengatakan laisa bi qowwiy (tidak kuat). Ini adalah perkataan jar’h (pencacatan) martabat ke-3. Namun Yahya bin Ma’in mengatakan ia shalih (baik) dan Ibnu Hajar Asqolani mengatakan ia shaduuq yuqthi. Ini adalah pernyataan tad’l (adil) martabat level 3 dan bukan jarh (cacat).

Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Sufyan telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Dinar aku mendengar Ibnu Umar berkata, “Rasulullah s.a.w. pernah melakukan shalat di atas kendaraannya ke arah mana pun kendaraan itu menghadap.” (H.R. Ahmad No. 4942) Hadits ini seluruh perawinya tsiqoh (terpercaya) di tiap tabaqot / tingkatan.

Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Abdul Malik telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Jubair bahwa Ibnu Umar mengatakan, “Rasulullah s.a.w. pernah shalat di atas kendaraannya dari Makkah menuju Madinah, menghadap ke mana pun unta itu menghadap. Lalu turunlah ayat kepadanya: ‘ (Maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah) ‘ (Q.S. Al Baqarah [2] : 115)” (H.R. Ahmad No. 4484) Hadits ini seluruh perawinya tsiqoh (terpercaya) di tiap tabaqot / tingkatan.

Pada hadits-hadits di atas diceritakan Rasulullah s.a.w. shalat di atas untanya namun tidak disebutkan dengan jelas apakah hal itu shalat sunnah atau shalat wajib. Secara sepintas maka hal ini berlaku untuk shalat apa saja baik shalat fardlu maupun shalat sunnah, baik ketika muqim (perjalanan di atas kendaraan namun masih di dalam kota tempat ia mukim) atau dalam keadaan safar (perjalanan di atas kendaraan namun sudah keluar dari jarak wilayah mukim).

Hadits Yang Menjelaskan Shalat Di Atas Kendaraan Hanya Untuk Shalat Sunnah

Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa shalat di atas kendaraan itu hanya boleh untuk shalat sunnah saja, karena kiblatnya mengikuti kemana saja kendaraan itu berjalan hanya rukhshah (keringanan) bagi shalat sunnah saja. Sedangkan jika shalat wajib, Rasulullah s.a.w. turun untuk shalat menghadap kiblat yang benar.

Telah menceritakan kepada kami Isma’il yaitu Ibnu ‘Ulayyah telah menghabarkan kepada kami Hisyam Ad-Dastuwa’i dari Yahya Bin Abu Katsir dari Muhammad bin Abdurrahman dari Jabir bin Abdullah berkata; Rasulullah s.a.w. sholat di atas kendaraannya menghadap ke timur. Namun jika hendak melaksanakan sholat wajib, beliau turun (dari kendaraan) dan menghadap kiblat. (H.R. Ahmad No. 13754)

Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman telah menceritakan kepada kami Malik dari Az Zuhri dari Ubaidullah bin Abdullah dari Ibnu Abbas ia berkata “Aku datang sementara Rasulullah s.a.w. sedang shalat di Mina, sedangkan aku di atas keledai. Lalu aku tinggalkan ia di antara shaf kemudian aku masuk ke dalam shalat. Saat itu aku telah baligh, namun beliau tidak mencela hal itu. Ia (Abdullah) berkata; Aku telah membacakan hadits ini kepada Abdurrahman, ia (Ibnu Abbas r.a.) berkata; Aku datang dengan mengendarai keledai betina dan aku ketika itu telah baligh, sementara Rasulullah s.a.w. shalat dengan orang-orang, kemudian aku melewati di depan sebagian shaf, lalu aku turun dan melepaskan keledai, aku pun masuk ke dalam shaf. Hal itu tidak diingkari oleh seorang pun terhadapku. “ (H.R. Ahmad No. 3017)

Hadits ini menceritakan bahwa Rasulullah s.a.w. berada di Mina, berati waktu itu dalam status musafir. Maka Rasulullah s.a.w. shalat di bawah berjamaah bersama orang-orang sedangkan Ibnu Abbas r.a. (waktu itu masih kecil namun sudah baligh) ditinggalkan di atas keledai. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah s.a.w. jika shalat wajib turun dari kendaraan dan melaksanakan shalat berjamaah di darat.

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Salim dari ayahnya dia berkata; “Rasulullah s.a.w. pernah mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraannya ke arah mana saja kendaraannya menghadap, dan pernah juga mengerjakan shalat witir di atas kendaraan, namun beliau tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atas kendaraan.” (H.R. Abu Daud No. 1035) Hadits ini dishahihken oleh Nashiruddin Al-Albani

Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Syu’aib dari An Nu’man bin Al Mundzir dari ‘Atha` bin Abu Rabah bahwa dia bertanya kepada Aisyah r.ah.; “Apakah kaum wanita di beri keringanan untuk mengerjakan shalat di atas kendaraan (binatang tunggangan)?” dia menjawab; “Tidak ada keringanan bagi mereka mengenai hal itu, baik dalam keadaan susah atau lapang.” Muhammad mengatakan; “Larangan ini merupakan larangan dalam shalat wajib.” (Atsar .R. Abu Daud No. 1039) Nashiruddin Al-Albani menyatakan Atsar ini shahih, merupakan pendapat Aisyah r.ah.

Telah mengabarkan kepada kami Isa bin Hammad Zughbah dan Ahmad bin Amr bin As-Sarh dan Al Harits bin Miskin telah dibacakan kepadanya dan saya mendengarnya, lafazhnya dari dia, dari Ibnu wahab dari Yunus dari Ibnu Syihab dari Salim dari Bapaknya dia berkata; “Dahulu Rasulullah s.a.w.  shalat sunnah di atas kendaraannya ke arah mana saja kendaraannya menghadap. Beliau juga shalat witir di atasnya, tetapi beliau tidak pernah shalat wajib di atas kendaraan.” (H.R. Nasa’i No. 486) Nashiruddin Al-Albani menyatakan Hadits ini shahih.

Jika kita melihat hadits-hadits di atas maka dapat kita pahami bahwa shalat di atas kendaraan ini pada asalnya hanya  dibolehkan untuk shalat sunnah saja. Benarkah demikian? Karena dalam berbagai situasi lain kita jumpai hadits yang menyatakan Rasulullah s.a.w. dan sahabat r.a. melaksanakan shalat fardlu (wajib) di atas kendaraan, sebagaimana kita lihat nanti.

Perbedaan Pendapat Tentang Shalat Apa Yang Dilaksanakan Di Atas Kendaraan?

Dalam pembahasan masalah ini, timbul pertanyaan dan analisa shalat apa yang dilaksanakan oleh Rasulullah s.a.w. di atas kendaraan? Benarkah itu hanya shalat sunnah? Benarkah Rasulullah s.a.w. tidak pernah melaksanakan shalat fardhu (wajib) di atas kendaraan?

Adapun perkataan bahwa itu hanya shalat sunnah saja adalah perkataan atau keterangan dari sahabat atau perawi hadits. Dan tidak kita jumpai perkataan langsung dari Rasulullah s.a.w. bahwa beliau hanya melaksanakan shalat sunnah saja di atas kendaraan, atau larangan yang tegas dari Rasulullah s.a.w. bahwa tidak boleh melaksanakan shalat fardhu di atas kendaraan.

Imam Syafi’I mengatakan : “Diriwayatkan secara shahih bahwa Nabi s.a.w. melaksanakan shalat nafilah (sunnah) di waktu malam padahal beliau saat itu sedang melaksanakan shalat wajib secara qoshor (karena dalam status musafi”r) (Fiqih Shalat Ibnul Qayyim Hal 454) Di sini Imam Syafi’i menganalisa bahwa bisa jadi sahabat mengira Nabi s.a.w. melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraan padahal Nabi s.a.w. melaksanakan shalat wajib dengan cara di-qoshor (disingkat yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat). Karena memang dalam keadaan musafir Rasulullah s.a.w. selalu melaksanakan shalat wajib dengan cara di-qoshor.

Jika dikatakan bahwa shalat di atas kendaraan yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. adalah shalat sunnah, maka shalat sunnah apa? Jika itu adalah shalat sunnah rawatib, maka menurut Ibnu Umar dalam keadaan musafir Rasulullah s.a.w. selalu melakukan shalat secara qoshor (diringkas) dan ketika qoshor tidak ada shalat rawatib.

Dari Abdullah bin Umar r.a. “Aku melihat Rasulullah s.a.w. jika beliau tergesa-gesa dalam perjalanan, beliau menangguhkan shalat maghrib dan menggabungkannya bersama shalat isya”.Salim (anak Ibnu Umar) berkata, “Dan Abdullah bin Umar r.a.  juga mengerjakannya seperti itu bila beliau tergesa-gesa dalam perjalanan. Beliau mengumandangkan iqamah untuk shalat maghrib lalu mengerjakannya sebanyak tiga raka’at kemudian salam. Kemudian beliau diam sejenak lalu segera mengumandangkan iqamah untuk shalat isya, kemudian beliau mengerjakannya sebanyak dua rakaat kemudian salam. Beliau tidak menyelingi di antara keduanya (kedua shalat yang dijamak) dengan shalat sunnah satu rakaatpun, dan beliau juga tidak shalat sunnah satu rakaatpun setelah isya hingga beliau bangun di pertengahan malam (untuk shalat malam).” (H.R. Al-Bukhari No. 1109)

Ibnu Umar r.a. berkata : Aku menemani Nabi s.a.w. aku belum pernah melihat beliau melaksanakan shalat sunnah rawatib dan sungguh Allah Ta’ala berfirman : Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (Q.S. Al-Ahzab [33] : 12) (H.R.Bukhari No. 1037)

Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah sebelum (qobla) dan sesudah (ba’da) shalat fardhu (wajib). Jika kita analisa, ketika Rasulullah s.a.w. melaksanakan shalat di atas kendaraan, pada umumnya pasti dalam keadaan safar (walaupun jaman sekarang bisa saja menaiki kendaraan dalam keadaan muqim, namun pada saat itu luas kota Madinah tidak besar, sehingga kalaupun naik kendaraan dalam status muqim pastilah shalat berjamaah di masjidnya Rasulullah s.a.w.)

Maka shalat yang dilaksanakan Rasulullah s.a.w. di atas kendaraan tidak mungkin shalat sunnah rawatib. Karena dalam status musafir tidak ada shalat sunnah rawatib. Maka kalaupun shalat yang dilaksanakan Rasulullah s.a.w. di atas kendaraan adalah shalat sunnah, maka itu adalah shalat tahajud sebagaimana keterangan hadits berikut ini :

Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar, bahwasanya ia tidak pernah mengerjakan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat fardlu saat dalam perjalanan, kecuali shalat di akhir malam (tahajud). Dia (kadang) shalat di tanah atau (kadang) di atas kendaraannya, kemanapun kendaraan tersebut menghadap.” (Atsar R. Imam Malik dalam Al-Muwatha’ No. 318)

Atau shalat witir, sebagaimana dikisahkan pada hadits berikut ini :

Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi dari Malik dari Abu Bakr bin Umar dari Sa’id bin Yasar dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah s.a.w. melakukan shalat witir di atas kendaraan.” (H.R. Ahmad No. 4290 dan Ibnu Majah No. 1191) Hadits ini shahih karena seluruh perawinya tsiqoh di tiap tingkatan.

Abdullah bin Umar r.a. pernah menyatakan : Seandainya aku musabihan (melaksanakan shalat sunnnah) maka niscaya aku melaksanakan shalat fardhu (wajib) secara sempurna (yaitu tidak diqoshor).

Dalam sebuauh hadits dikatakan Rasulullah s.a.w. pernah melaksanakan shalat di atas kendaraan yaitu shalat sunnah dhuha sebanyak 8 rakaat yaitu ketika penaklukan Mekah (Fathul Makkah)

Namun dalam hadits lain dikatakan bahwa shalat yang dilakukan Rasulullah s.a.w. di atas kendaraan adalah shalat tathawwu.

Telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab telah mengabarkan kepada kami Hisyam dari Hammad dari Abdurrahman bin Sa’d budaknya Umar bin Khaththab, dia pernah melihat Abdullah bin Umar sedang shalat tathawwu’ di atas kendaraannya dengan tidak menghadap kiblat lalu dia berkata, “Bagaimanakah ini wahai Abu Abdurrahman?” maka Ibnu Umar menjawab, “Beginilah Nabi s.a.w. melakukannya.” (H.R. Ahmad No. 5563) Salah seorang perawinya yaitu Abdul Wahhab bin A’tha dikatakan dla’if oleh ImamAhmad dan Nasa’i mengatakan ia Lais bi wouy (tidak kuat) Namun Ibnu Hajar Asqolani dan Ibnu Sa’ad mengatakan ia shaduuq (jujur) bahkan Yahya bin Ma’in mengatakan dia Tsiqoh (terpercaya).

Shalat tathawu berasal dari kata tathawwa’ yang artinya kebaikan tambahan sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah [2] : 184. Maka pengertian shalat tathawwu adalah meliputi semua jenis shalat sunnah termasuk shalat rawatib.

Telah menceritakan kepada kami Abdush Shamad bin Abdul Warits berkata, telah menceritakan kepada kami Bakkar bin Mahan berkata, telah menceritakan kepada kami Anas bin Sirin dari Anas bin Malik berkata; “Bahwasanya Rasulullah s.a.w, selalu shalat tathawu’ di atas kendaraan jika dalam perjalanan dengan tanpa menghadap kiblat.” (H.R. Ahmad No. 11829) hadits ini seluruh perawinya tsiqoh kecuali Abdush Shamad bin Abdul Warits dikatakan shaduuq (jujur) oleh Ibnu Hajar Asqolani dan Abi Hatim. Sedangkan Ibnu Hibban, Ibnu Sa’d dan Al Hakim menyatakan ia tsiqoh (terpercaya).

Telah bercerita kepada kami Abdurrazaq telah menghabarkan kepada kami Ibnu Juraij telah menghabarkan kepadaku Abu Az Zubair telah mendengar Jabir bin Abdullah berkata; saya melihat Rasulullah s.a.w. Shalat nawafil di atas kendaraan di setiap arah, tapi beliau merunduk lebih rendah ketika sujud dari pada rukuk, dan beliau hanya memberi isyarat. (H.R. Ahmad No. 13640) Hadits ini semua perawinya di tiap tingkatan adalah tsiqoh

Shalat Nawafil adalah jamak dari nafilah yang bermakna ziyadah (tambahan). Maka ada yang mengartikan nawafil adalah shalat sunnah secara umum namun ada juga yang mengkhususkan maknanya yaitu shalat malam atau tahajud dan witir.

Bersambung Jilid 2 https://seteteshidayah.wordpress.com/2013/01/20/sholat-di-atas-kendaraan-jilid-2/

SHOLAT DI ATAS KENDARAAN (JILID 1)

Leave a comment