PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 6)

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 6)

Oleh : Abu Akmal Mubarok

APA YANG DIMAKSUD ADA LANDASANNYA DALAM SYARIAT?

 Image

Pada takhshish tahap yang ke-4  kita telah memahami bahwa perkara baru (yang secara bahasa disebut muhdats atau bid’ah) akan menjadi sesat dan tergolong bid’ah dlolalah jika tidak ada asalnya dalam syari’at atau tidak ada landasan dalilnya dari Al-Qur’an maupun Hadits.

Orang-orang yang terlalu bersemangat dalam agama seringkali mengutip ayat ini :

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian (Q.S. An-Nisaa’ [4] : 59)

Lantas mereka langsung membuka ayat dan hadits kemudian memahami arti teks tersebut menurut daya nalarnya sendiri. Saat membaca dalil Al-Qir’an maupun hadits, mau tidak mau ia menggunakan nalar otaknya. Tidak mungkin tidak. Lalu orang yang tidak sependapat dengan mereka dikatakan menyelisihi Al-Qur’an atau sunnah. Padahal yang sebenarnya adalah orang menyelisihi pemahaman versi mereka dan belum tentu menyelisihi Al-Qur’an atau sunnah.

Apa yang dimaksud dengan “ada asalnya dalam syari’at”? Apa yang Anda maksud ada atau tidak ada landasan dalilnya dari Al-Qur’an maupun Hadits? Apakah setiap yang tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan hadits itu bid’ah? Pertanyaan ini bisa dibalik : “Apakah setiap sesuatu pasti ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah?” Mereka menjawab : Oh ya pasti ada ! Lalu mengutip dalil :

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Q.S. Al-Maidah [5] : 3)

Kebanyakan orang hanya terpaku pada sabda Rasulullah s.a.w. berikut ini :

Abu Dzar r.a. berkata : “ Rasulullah s.a.w. meninggalkan kami, tidaklah ada burung yang mengepakkan sayapnya di udara melainkan beliau telah memberitahukan kepada kita ilmunya, lalu beliau berkata : lalu Rasulullah s.a.w. bersabda : “ tidak ada satu perkarapun yang tertinggal yang dapat mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka , melainkan telah dijelaskan kepada kalian “ ( H.R. Thabrani No. 1647 dalam Mu’jamul Kabir Juz 2 hal 155).

Telah menceritakan kepadaku (Yahya) dari Malik telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (H.R. Imam Malik Dalam Al-Muwatha’ No. 1395)

Perkataan di atas adalah benar adanya dari segi keyakinan atau aqidah yang bersifat normatif. Dimana sebagai muslim memang kita meyakini segala perkara di dunia ini dapat kita carai penyelesaiannya dalam diin Islam yang agung ini. Namun mereka salah paham bahwa yang dimaksud bukanlah segala sesuatu kemudian ada penjelasannya secara tekstual. Karena perkara di dunia ini senantiasa berkembang dan urusan manusia juga bertambah. Jika Allah berkehendak memerinci semuanya itu maka akan seperti apa tebalnya Al-Qur’an? Jika Rasulullah s.a.w. mau menjabarkan semuanya maka entah berapa milyar sabda beliau yang akan dicatat orang. Sedangkan saat ini saja dari 1 juta hadits yang dikumpulkan Imam Ahmad hanya 9.000 atau 7.000 saja yang dimasukkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Shahihnya. Itupun belum semuanya kita baca.

Apa-apa yang jelas ada ayat atau sabda Rasulullah s.a.w. dengan makna yang qoth’i maka itu adalah perkara yang Allah dan RasulNya telah jelaskan duduk perkaranya. Namun Allah dan RasulNya tidak memerinci semuanya, melainkan ditinggalkan bagi kita berupa manhaj dan metodologi untuk memecahkan perkara-perkara yang tidak dijelaskan hukumnya. Maka yang kita ikuti dalam hal ini adalah metodanya

Apakah segala hal baru yang tidak ada landasan dalilnya dari Al-Qur’an maupun Hadits otomatis tergolong bid’ah yang sesat?  Kita tidak bahas perkara-perkara yang jelas-jelas ada ayatnya yang qoth’i. Kita juga tidak bertanya perihal yang jelas-jelas ada haditsnya. Walaupun yang jelas ada ayatnya dan ada haditsnya pun tidak menutup kemungkinan berbeda penafsiran, berbeda menangkap maksudnya. Ada yang menangkap maksud berdasarkan zhahir teks dalil.

Maka apakah ini yang Anda maksud ada landasan dalilnya dari Al-Qur’an maupun Hadits? Lalu bagaimana dengan perkataan Rasulullah s.a.w. :

Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) (H.R. Bukhari Muslim)

Berarti ada perkara yang abu-abu (samar) yang tidak jelas haram atau halalnya itu memang ada.

Lalu bagaimana dengan perkataan perkataan Rasulullah s.a.w. dalam hadits ini :

“… dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah” (H.R. Al-Hakim dan Al-Bazzar)

Berarti ada perkara yang didiamkan oleh Allah?? Kami tahu bahwa yang dihalalkan atau diharamkan oleh Allah dan RasulNya pasti ada nash dalilnya dari Kitabullah atau Hadits. Tapi bagaimana bentuk apa-apa yang didiamkan Allah? Bukankah yang didiamkan Allah itu adalah yang tak ada teks dalilnya? Jika ada teks dalilnya berarti itu tidak didiamkan Allah.

Lalu bagaimana dengan definisi bahwa “segala sesuatu yang tidak ada landasan dari Al-Qur’an maupun Hadits itu pasti bid’ah yang dlolalah? Bukankah ada hal –hal yang didiamkan oleh Allah? Lalu apa-apa yang didiamkan oleh Allah itu termasuk ada landasannya atau tidak?? Lalu bagaimana status hukumnya dengan perkara yang didiamkan ini? Apakah didiamkan itu artinya haram? Atau kah apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan? Ataukah apa-apa yang didiamkan ini berarti masih perlu kajian oleh manusia? Lalu bagaimana jika hasil kajian manusia itu menyimpulkan hal ini haram? Beranikah manusia mengharamkan perkara yang didiamkan Allah? Beranikah manusia menghalalkan perkara yang didiamkan Allah? Apakah yang didiamkan itu cenderung haram? Ataukah yang didiamkan itu berarti mubadh (boleh) ? Ataukah yang didiamkan itu belum ditentukan hukumnya, artinya diserahkan pada manusia untuk meng-elaborasi hukumnya melalui ijtihad? Sehingga hasil ijtihad itu bisa haram wajib sunnah makruh atau mubah. Dalam hal ini ulama pun berbeda pendapat

Lalu bagaimana dengan perkataan pertanyaan Rasulullah s.a.w. dalam hadits ini :

“Bagaimana engkau memutuskan hukum?” ia (Mu’adz) menjawab; Aku memutuskan hukum dari apa yang terdapat di dalam kitabullah. Beliau s.a.w. bertanya lagi: “Jika tidak ada di dalam kitabullah?” ia (Mu’adz) menjawab; Dengan sunnah Rasulullah s.a.w.. Beliau bertanya: “Jika tidak terdapat di dalam sunnah Rasulullah s.a.w.??” Ia menjawab; Aku akan berijtihad dengan pendapatku. Beliau mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah s.a.w..”  (H.R. Tirmidzi  No. 1249)

Lalu bagaimana dengan perkataan perkataan Umar bin Khattab r.a. dalam atsar ini :

“….Jika tidak ditemukan dalam Kitabullah, tidak pula dalam sunah Rasulullah s.a.w. dan orang-orang shalih juga tidak memutuskan ketetapan hukumnya, …”(Atsar R.Nasa’i dalam Sunan No. 5304) Nashiruddin Al-Albani mengatakan atsar ini sanadnya shahih sampai pada Umar bin Khattab r.a..

Artinya memang ada hal-hal yang tidak terdapat landasan dalilnya dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya dong?  Padahal definisi orang-orang yang bersemangat tadi menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak ada landasan dari Al-Qur’an maupun Hadits itu pasti bid’ah (maksud mereka adalah bid’ah yang dlolalah) ? Lalu akan kita temukan di dunia maya ini bantahannya : Ya, itu bukan bid’ah. Itu adalah Ijtihad beda dengan bid’ah.  Yang disebut bid’ah itu adalah mengadakan-adakan hal yang baru untuk perkara-perkara yang sudah jelas ada dalilnya. Sedangkan untuk perkara-perkara yang tidak ada dalilnya maka itu adalah lapangan ijtihad !

Lho? Jadi apa Anda akan menjilat kembali semua perkataan dan tulisan Anda yang panjang dan berlembar-lembar tadi? Bukankah berkali-kali Anda tegaskan bahwa segala perkara baru yang tidak ada landasan dari Al-Qur’an maupun Hadits itu pasti bid’ah? Lalu sekarang Anda memerinci lagi bahwa Yang disebut bid’ah itu adalah mengadakan-adakan hal yang baru untuk perkara-perkara yang sudah jelas ada dalilnya. Sedangkan untuk perkara-perkara yang tidak ada dalilnya maka itu adalah lapangan ijtihad ?

Oke, berarti Anda sudah mentakhsish dua kali, pertama Anda mentakhsish (mengkhususkan) bahwa yang dimaksud bid’ah adalah dalam perkara agama. Lalu kini Anda mentakhsish (mengkhususkan) bahwa yang dimaksud bid’ah adalah hal yang baru untuk perkara-perkara yang sudah jelas ada dalilnya. Sedangkan untuk perkara-perkara yang tidak ada dalilnya, itu bukan bid’ah melainkan ijtihad . Baiklah, tampaknya lambat laun perbedaan pendapat ini tidak terlalu berbeda lagi.

Bid’ah  ialah  setiap  yang  bertentangan  dengan  sunnah  dari  jenis  perkataan  (ucapan) perbuatan  (amalan)  atau  akidah  (pegangan/kepercayaan)  sekalipun  melalui  usaha  ijtihad.” (Lihat: Ihkamu Janaiz wal bid’ah  Hal. 306. Muhammad Nashiruddin Al-Albani)

Bukankah di sini ada kontradiksi dan lingkaran tak berujung? Berdasarkan hadits Rasulullah s.a.w, ijtihad itu diterapkan untuk hal-hal yang tak ditemukan nash dalil nya dalam Kitabullah dan Hadits. Tapi katanya yang tak ada nash dalil nya dalam Kitabullah dan Hadits termasuk bid’ah walaupun itu adalah ijtihad…??

Sebagian pemuda Islam yang sedang semangat menyala ingin berislam di segala sektor tentu menyenangi retorika yang heroik dan simple, mudah dipahami, namun mereka lupa bahwa ini hanya berkutat pada tataran teori saja tanpa mencoba menukik pada aplikasi praktis di lapangan. Mereka yang terlalu bersemangat dalam beragama, hanya membahas aspek normatif  saja.  Pokoknya ikuti sunnah Rasul dan sunnah khulafa’u rasyidin. Pokoknya mengikuti sunnah para sahabat. Bagaimana jika para sahabat berbeda pendapat? Mereka menjawab : Gampang saja, “jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” (Q.S. An-Nisaa’ [4] : 59). Lha semua yang berbeda pendapat itu juga masing-masing merasa berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul kok.

Mereka tidak menyadari bahwa kenyataan di lapangan tidak semudah konsep dan slogan normatif. Tak usahlah persoalan pada masa kini, bahkan persoalan pada masa Rasulullah s.a.w dan masa sahabat pun terjadi ikhtilaf (beda pendapat) lalu mana yang kita pilih? Jika Anda pilih salah satunya berarti Anda mengkafirkan sahabat lainnya? Lha iya, jika salah satu sahabat melakukan bid’ah yang dlolalah, berarti mereka sesat dan mereka masuk neraka. Padahal Rasulullah telah menjamin Khulafa’  Ar-Rasyidin dan termasuk 10 sahabat lainnya masuk surga.

2 thoughts on “PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 6)

  1. anshori says:

    bismillah
    assalamu’alaikum warahmatullah wa barakatuh…

    PERTAMA
    Ustadz, penukilan perkataan syaikh al albani yang antum sampaikan ini:
    ***
    (“Bid’ah ialah setiap yang bertentangan dengan sunnah dari jenis perkataan (ucapan) perbuatan (amalan) atau akidah (pegangan/kepercayaan) sekalipun melalui usaha ijtihad.” (Lihat: Ihkamu Janaiz wal bid’ah Hal. 306. Muhammad Nashiruddin Al-Albani))
    ***
    alangkah baiknya jika dilengkapi dengan kelanjutan perkataan syaikh berupa point “ba” sampai “kha” sebagaimana beliau lengkap dalam menjelaskannya. Sehingga maknanya tidak terpotong dan tidak memunculkan “Bukankah di sini ada kontradiksi dan lingkaran tak berujung?”.

    KEDUA
    Ustadz, alangkah baiknya jika suatu perkara yang memang bersifat khilafiyah tidak serta merta dibawa kepada vonis atas pelaku perkara tersebut. Sehingga tidak memunculkan “Jika Anda pilih salah satunya berarti Anda mengkafirkan sahabat lainnya? Lha iya, jika salah satu sahabat melakukan bid’ah yang dlolalah, berarti mereka sesat dan mereka masuk neraka”.
    Sebagaimana dapat antum baca di http://pustakaimamsyafii.com/contoh-khilaf-perbedaan-pendapat-di-antara-para-ulama-ahlus-sunnah-akan-tetapi-mereka-tidak-saling-mengingkarinya.html

    jazakallahu khairan
    alhamdulillah…

    • terima kasih atas masukannya. Justru yang kami maksudkan dalam tulisan tersebut bukan sikap kami yang demikian melainkan adalah sikap sebagian orang yang menganggap hal khilafiyah tersebut sebagai sebuah bi’dah padahal tidak demikian, sebagaimana sikap para ulama salaf memahami adanya kemungkinan beda penafsiran beda cara melakukan deduksi mengambil kesimpulan dll sehingga tidak hitam putih dalam menyikapi perbedaan

Leave a comment