ULAR MENGGIGIT GERGAJI

ular-lawan-gergaji

 

Seekor ular tertusuk gergaji yang tergeletak di tanah, ia mengira gergaji besi itu telah menyerangnya.. maka ular tsb balik menyerang gergaji tsb, namun ia justru semakin tersakiti terluka di sana sini. Maka saking marahnya ular itu mengerahkan sekuat tenaga membelit gergaji tsb, maka tubuh ular tsb akhirnya terpotong potong. Keesokan harinya orang-orang heran menemukan ular yang terpotong-potong di tanah.

Terkadang kemarahan itu justru membuat kita tidak mampu berfikir dengan jernih dan menganalisa apa sebenarnya yang menimpa kita. Yang ada setiap kali kita melancarkan kemarahan, justru saat itu kita sedang menyakiti diri sendiri. Dan akhinya kemarahan tsb dapat membinasakan kita.

Amarah bisa menghilangkan kewaspadaan. Hilang sandal, lalu sibuk marah eh tau-tau malah kecopetan HP. Jadi terkadang kita harus pandai mengendalikan emosi karena emosi membuat perilaku kita tidak terkendali. Sementara musuh yang semula tidak memiliki celah untuk menyerang justru menemukan celah ketika kita terlalu marah.

Pelajaran dari perumpamaan sang ular di atas adalah, ia lebih mengedepankan emosi, sehingga lupa untuk mempelajari dan mengenali siapa lawannya, dan ia juga salah dalam menganalisa motivasi dan niat si gergaji. Sang ular salah paham menilai gergaji akan menyerangnya, padahal tidak. Sang ular tidak berhasil memahami kenapa ia tertusuk gergaji. Ia hanya paham bahwa dirinya terluka berarti dirinya diserang.

Hendaknya kita tidak boleh terburu emosi sehingga salah menganalisa situasi. Amarah kita juga menyebabkan kita salah lupa atau terlewat tidak sempat mempelajari siapa lawan dan musuh kita. Seandainya ular itu tahu, gergaji itu bukanlah musuhnya, justru ia bisa memanfaatkan gergaji sebagai senjata untuk melindunginya.

Sang ular juga gagal memahami situasi. Ia cenderung menyalahkan pihak lain. Padahal sandainya ular itu tahu, bahwa gergaji tidak bergerak apa-apa. Ia tertusuk karena kelalaiannya sendiri, dan bukan karena gergaji menyerangnya. Nah janganlah kita bersikap demikian. Karena emosi, kita cenderung menyalahkan pihak lain. Padahal diri kita terluka karena kesalahan dan kelalaian kita sendiri.

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 11)

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 11)

Oleh : Abu Akmal Mubarok

Image 

PERBEDAAN PENDAPAT DI KALANGAN SAHABAT

Ikhtilaf (Perbedaan Pendapat) Sahabat Termasuk Yang Dimaksud “Ada Landasannya Dalam Syari’at” dan orang yang mengikuti salah satu pendapat sahabat tidak dapat dikatakan tidak memiliki landasan atau melakukan bid’ah.

Secara umum yang dimaksud dengan ada landasannya dalam syariat adalah All-Qur’an dan Sunnah sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. :

Aku tinggalkan kepadamu dua perkara yang mana kamu tidak aakn tersesat,  selama kamu berpegang pada keduanya yaitu Kutabullah dan sunnah Nabinya” (H.R. Malik dalam Al Muwatha Juz 2 Hal 899 dan Imam Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir Hadits No. 2934)

Dari uraian sebelumnyakita tahu bahwa mengikuti sunnah para sahabat adalah hal yang diperintahkan oleh Nabi s.a.w. : “berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’  Ar-Rasyidin  (Khalifah yang mendapat petunjuk), gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R. Tirmidzi No. 2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No 16522) atau kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin (H.R. Darimi No. 95).

Umar bin Abdul Aziz pernah berkata : “Maka ketahuilah tak ada yang melakukan muhdats (bid’ah) sesudah mereka (sesudah para sahabat) melainkan orang-orang yang mengikuti sunnah yang bukan sunnah mereka (sunnah para sahabat) dan menganggap dirinya tidak membutuhkan mereka. Padahal para shahabat itu adalah pendahulu bagi mereka. Mereka telah berbicara mengenai agama ini dengan apa yang mencukupi dan mereka telah jelaskan segala sesuatunya dengan penjelasan yang menyembuhkan (Asy Syari’ah Al Ajurri 212)

Pertanyaan nya kini adalah : Sunnah sahabat yang mana? Bukankah sahabat s.a.w. itu banyak? Apa definisinya sahabat? Orang yang bertemu Rasulullah s.a.w. dan masuk Islam di masa Rasulullah s.a.w. semua disebut sahabat. Tentu tidak termasuk sahabat — walaupun bertemu Rasulullah s.a.w dan masuk Islam pada masa Rasulullah s.a.w, namun diketahui umum ia adalah tokoh munafik seperti Abdullah bin Ubay bin Salul. Tapi sampai di sini pertanyaan nya tetap : sunnah sahabat yang mana? Maksudnya ketika sahabat A dan B berbeda pendapat, maka kita ikuti yang mana?

Bukankah kita mengetahui, bahwa sejak dahulu kala bahkan ketika Nabi s.a.w masih hidup terlah terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) di antara sahabat dalam masalah-masalah agama? Ketika Rasulullah s.a.w. masih hidup, beliau bisa memutuskan salah satunya mana yang benar. Namun seringkali juga jika hal itu masih dalam batas perbedaan penalaran akal (ra’yu) dan masih bisa dibenarkan kemungkinan timbulnya perbedaan penafsiran, maka Nabi s.a.w. akan membenarkan keduanya.

Maka jika kita konsisten dan konsekuen dengan perintah Rasul itu bahwa :

  1. Rasulullah s.a.w memerintahkan untuk mengikuti sunnah para sahabat
  2. Bahwa di antara para sahabat ada orang-orang khusus yaitu Khulafa’ur Rasyidin
  3. Bahwa di antara para sahabat ada orang-orang khusus yaitu 10 orang yang dijamin masuk surga
  4. Bahwa di antara para sahabat ada orang-orang khusus yaitu yang faqih dalam urusan agama seperti Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dll

Maka jika seorang muslim pada masa kini melandaskan diri pada salah satu dari pendapat sahabat atau penafsiran sahabat, hal itu bukanlah bid’ah. Mengapa hal ini perlu ditekankan? Contohnya,  bisa jadi salah satu kelompok muslim cenderung mengikuti pendapat sahabat Ibnu Umar r.a., sedangkan muslim yang lain mengikuti pendapat Ibnu Mas’ud r.a., lantas yang satunya menganggap yang lainnya tidak tegak di atas sunnah, atau menyelisihi sunnah, lalu menganggap orang lain melakukan bid’ah, padahal yang terjadi keduanya memiliki landasan dalil dari qaul sahabat. Maka keduanya sebenarnya berada di atas sunnah dan tidak ada yang melakukan bid’ah.

Baiklah kita sampaikan beberapa contoh di bawah ini

1.       Perbedaan Pendapat Tentang Boleh Itikaf Tanpa Berpuasa

Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Musa dan ‘Amru bin Zurarah dari Abdul Aziz bin Muhammad dari Abu Suhail ia berkata; “Dahulu, isteriku pernah bernadzar untuk beri’tikaf di Masjidil Haram selama tiga hari. Kemudian, aku bertanya kepada Umar bin Abdul Aziz yang saat itu sedang bersama Ibnu Syihab. Aku bertanya: ‘Apakah ia (istriku) juga wajib berpuasa? ‘, Ibnu Syihab menjawab: ‘Tidak ada i’itikaf kecuali dilakukan sambil berpuasa’.(Karena asalnya itikaf itu pada bulan ramadhan) Saat itu, Umar bin Abdul Aziz bertanya (pada Ibnu Syihab): ‘Adakah keterangan yang demikian berasal dari Nabi s.a.w.? ‘ Ia (Ibnu Syihab) menjawab: ‘tidak’. Kemudian, Umar bin Abdul Aziz bertanya: ‘Adakah keterangan dari Abu Bakar r.a.? ‘ ia menjawab: ‘tidak ada’, Lalu ia (Umar) bertanya: ‘adakah keterangan dari Umar r.a. ? ‘, ia (ibnu Syihab) menjawab: ‘tidak ada juga’ ia bertanya: ‘adakah keterangan dari Utsman r.a.? ‘, ia menjawab: ‘tidak ada’. Umar bin Abdul aziz. berkata: ‘Menurutku tidak wajib bagi wanita itu untuk berpuasa’, Lalu aku (Abu Suhail) keluar dan bertemu Thawus dan ‘Atho` bin Abu Rabbah, aku bertanya kepada keduanya. Thawus menjawab: ‘Dahulu Ibnu Abbas r.a. (pernah berfatwa) bahwa wanita tersebut tidak wajib puasa, kecuali jika ia bernadzar untuk berpuasa’. Kemudian `Atho` berkata: ‘Begitu juga pendapatku‘”. (Atsar.R. Darimi No. 162) Husain Assad Salim Ad-Daroni mengatakan atsar ini sanadnya shahih

Maka dalam hal ini para sahabat berbeda pendapat tentang ber’itikaf (di luar ramadhan) apakah harus berpuasa atau tidak. Ibnu Syihab menganalogikan karena ‘itikaf itu asalnya dari bulan ramadhan sehingga dilaksanakan sambil berpuasa. Dan sebenarnya tidak ada ‘tikaf di luar bulan ramadhan. Namun karena wanita ini (istri Suhail) bernadzar untuk itikaf di Masjidil Haram, maka menurut Ibnu Syihab ia juga harus berpuasa. Sedangkan menurut Umar bin Abdul Aziz, Thawys dan Atho bin Abu Rabbah tidak perlu berpuasa, karena nadzarnya hanya beritikaf.

2.       Perbedaan Pendapat Tentang Wewangian Ketika Berihram

Muhammad Ibnu Al Muntasyir berkata : Aku bertanya kepada Aisyah tentang apa yang diucapkan oleh Ibnu Umar r.a. bahwa : “Saya tidak suka kalau berihram dan pada saat itu memakai wewangian” Aisyah menjawab : “Aku pernah memberi Rasulullah s.a.w. wewangian lalu beliau mengunjungi para istri beliau, dan pagi harinya mengenakan ihram (untuk umroh atau haji)” (Atsar R. Bukhari Jilid 1 Hal 396)

Ibnu Mas’ud r.a. berkata :”Dicat dengan lumpur lebih aku sukai daripda melakukan hal ini (yaitu memakai wangian ketika berihram) Aisyah menjawab : “Aku pernah memberi Rasulullah s.a.w. wewangian lalu beliau mengunjungi para istri beliau, dan pagi harinya mengenakan ihram (untuk umroh atau haji) “ (H.R. Muslim Jilid 4 hal 12)

Mana dalam hal ini yang lebih kuat pendapatnya? Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari jalur Abdullah bin Abdullah bin Umar bahwa Aisyah pernah mengatakan tidak mengapa jika menyentuh wewangian ketika ihram. Said berkata : “Lalu aku panggil seorang laki-laki. Ketika itu aku sedang duduk di samping Ibnu Umar. Lelaki itu aku utus kepada Aisyah, padahal aku sudah tahu ucapan Aisyah, hanya saja aku ingin hal ini didengar juga oleh bapakku (yaitu Ibnu Umar) Lelaki itu berkata : “Aisyah mengatakan tidak mengapa memakai wewangian sewaktu mau beriharam”. Lalu lelaki itu berkata : “Aku akan buang pendapatmu”. Said berkata bahwa Ibnu Umar r.a. terdiam mendengar ucapan lelaki itu (Atsar disebutkan oleh Ibnu Hajar Asqolani dalam Fathul Bari Jilid 4 hal 140-141)

3.       Perbedaan Pendapat Sahabat Dalam Masalah Jika Tidak Mendapati Air

Dalam Al-Qur’am sudah jelas dikatakan : “Lalu jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah (Q.S. Al-Maidah [5] : 6)

Namun Umar bin Khattab r.a. suatu ketika berpendapat lain dan melarang sahabat untuk shalat sampai mereka menemukan air.

Telah menceritakan kepada kami Adam ia berkata; telah menceritakan kepada kami Syu’bah berkata, telah menceritakan kepada kami Al Hakam dari Dzar dari Sa’id bin ‘Abdurrahman bin Abza dari Bapaknya berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Umar Ibnul Khaththab dan berkata, “Aku mengalami junub tapi tidak mendapatkan air?” Maka berkata lah ‘Ammar bin Yasir kepada ‘Umar bin Al Khaththab, “Tidak ingatkah ketika kita dalam suatu perjalanan? Saat itu engkau (berpendapat) tidak mengerjakan shalat sedangkan aku (berpendapat) bergulingan di atas tanah lalu shalat? Kemudian hal itu aku sampaikan kepada Nabi s.a.w., dan Nabi s.a.w. bersabda: “Sebenarnya cukup kamu melakukan begini.” Beliau lalu memukulkan telapak tangannya ke tanah dan meniupnya, lalu mengusapkannya ke muka dan kedua telapak tangannya.” (H.R. Bukhari No. 326)

Dan pendapat ini diikuti oleh Abdullah bin Mas’ud r.a.

Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Khalid berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad -Yaitu Ghundar- telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari Sulaiman dari Abu Wa’il berkata, Abu Musa berkata kepada ‘Abdullah bin Mas’ud, “Apakah jika seseorang tidak menemukan air maka ia boleh tidak shala?.” ‘Abdullah menjawab, “Jika aku beri keringanan kepada mereka dalam masalah ini, maka ketika salah seorang mendapati musim dingin pasti ia akan berkata seperti ini ‘yakni Tayamum dan shalat’. Abu Musa berkata, “Maka aku katakan, “Kalau begitu dimana kedudukan ucapan ‘Ammar kepada ‘Umar? ‘ ‘Abdullah bin Mas’ud menjawab: “Aku menganggap bahwa ‘Umar tidak sepakat dengan pendapat ‘ Ammar.” (H.R. Bukhari No. 332)

Maka Ibnu Hajar Asqolani dalam Fathul Bari menjelaskan Maksud kedatangan orang itu untuk menanyakan apakah ia harus shalat atau tidak namun  ‘Umar menjawab :  “Jangan shalat sampai engkau mendapatkan air.” Sejak itu, ‘Ammar tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi (karena menghormati Umar sebagai Khalifah). ‘Umar tetap  berpegang  teguh  pada pendapatnya  yaitu  orang junub, bila tidak ada air, jangan shalat sampai bertemu air. “Wa  hadza  madzab  masyhur ‘an  ‘Umar,” Namun banyak sahabat tidak setuju dengan Umar r.a.

Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh berkata; telah menceritakan kepada kami Bapakku berkata; telah menceritakan kepada kami Al A’masy berkata, aku mendengar Syaqiq bin Salamah berkata; aku pernah berada di dekat ‘Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa Al-Asy’ari.  Abu Musa lalu berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu wahai Abu ‘Abdurrahman bila seseorang mengalami junub dan tidak mendapatkan air. Apa yang harus ia lakukan?” ‘Abdullah menjawab, “Ia tidak boleh shalat hingga mendapatkan air.” Abu Musa berkata, “Bagaimana engkau menyikapi perkataan ‘Ammar ketika Nabi s.a.w. berkata kepadanya ‘Cukup bagimu begini’? ‘Abdullah, “Apakah kamu tidak tahu kalau ‘Umar tidak menerima pendapat tersebut?” Abu Musa kembali berkata, “Baik kita tinggalkan pendapat ‘Umar! ‘ Tapi bagaimana sikapmu dengan ayat ini? ‘ ‘Abdullah tidak mengerti apa yang harus ia katakan, lalu ia berkata, “Jika kami beri keringanan mereka dalam masalah ini, dikhawatirkan jika mereka merasa dingin dengan air, maka mereka tidak mau menggunakan air dan akan melakukan tayamum.” Aku berkata kepada Syaqiq, ‘Bahwasanya ‘Abdullah tidak suka adalah karena hal ini.’ Ia menjawab, “Benar.” (H.R. Bukhari No. 333)

Abdullah bin Mas’ud (Abu Abdurrahman) termasuk sahabat yang mengikuti pendapat Umar r.a. ini. Namun Abu Musa Al-Asy’ari tidak setuju dengan hal ini (karena menyalahi keumuman nash Al-Qur’an). Maka jelas di sini Abu Umar menganggap Umar menyelisihi Qur’an dan pendapat Rasulullah s.a.w. Maka Ibnu Mas’ud mencoba menjelaskan pertimbangan Umar melarang hal ini karena khawatir orang menggampangkan masalah tayamum, tidak mau berusaha mencari air dulu, atau jika udara dingin dan air dingin juga langsung tayamum. Namun Abu Musa r.a. tidak menerima alasan ini. Dan mengajak Ibnu Mas’ud meninggalkan pendapat Umar. Akhirnya Ibnu Mas’ud r.a. mengikuti Abu Musa walaupun dengan berat hati.

Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Salamah yakni Ibnu Kuhail, dari Abu Malik dan Abdullah bin Abdurrahman bin Abza dari Abdurrahman bin Abza ia berkata; Kami berada di sisi Umar, tiba-tiba seorang laki-laki mendatanginya dan berkata, “Wahai Amirul mukminin, kita bermukim selama satu dan dua bulan, namun kita tidak mendapat air.” Umar berkata, “Adapun saya, maka saya tidak akan shalat sampai saya mendapatkan air.” Maka Ammar pun berkata, “Wahai Amirul mukminin, ingatlah saat kita berada di suatu tempat, saat itu kita sedang mengembalakan Unta. Bukankah Anda tahu, bahwa saat itu saya sedang junub?” Umar menjawab, “Ya.” Ammar berkata, “Kemudian saya berguling-guling di atas hamparan tanah, lalu saya mendatangi Nabi s.a.w. dan menuturkan hal itu pada beliau, maka beliau pun tertawa dan bersabda: “Untuk itu, debu yang baik telah cukup bagimu.” Ia pun menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah kemudian meniupnya dan mengusapkan keduanya pada wajahnya serta sebagian dari sikunya. Kemudian Umar berkata, “Takutlah kepada Allah wahai Ammar.” Ammar berkata, “Wahai Amirul mukminin, jika Anda mau, aku tidak akan menyebutkannya selama aku masih hidup.” Umar berkata, “Jangan sekali-kali, tetapi demi Allah, kami akan mengikuti apa yang telah Anda ketahui.” (H .R. Ahmad No. 18125)

Maka dalam kasus ini siapakah yang tegak di atas Sunnah? Apakah ini perkara agama? Jawabnya Ya, jelas thaharah (bersuci) termasuk perkara agama. Apakah ini belum pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. ? Jawabnya : Ya Apakah pendapat Umar ini tidak berlandaskan dalil? Jawabnya : Ya, Umar seolah menyelisihi dalil Al-Qur’an dan hadits Nabi. Bahkan Ammar bin Yasir pun pernah mengingatka apa keputusan Rasulullah dalam masalah ini sewaktu Umar dulu berpendapat demikian. Namun Umar tetap pada pendapatnya. Lalu apakah Umar melakukan bid’ah ? Jawabnya : tidak karena Umar menganggap tayamum bukan sebagai keharusan melainkan boleh tayamum. Dan Umar menggunakan kaidah sa’du dzara’i yaitu melarang suatu hal yang boleh untuk mencegah pada sikap menggampangkan sedikit-sedikiti tayamum.

Maka pada zaman sekarang, yang sependapat dengan  madzhab Umar adalah Abu Hanifah (Madzhab Hanafi). Maka apakah kita anggap Abu Hanifah melakukan bid’ah padahal beliau berpegang pada pendapat Umar? Jawab kami : bukan bid’ah yang dlolal. Karena Abu Hanifah melandaskan pada pendapat salah satu Khulafa’ur Rasyidah, dan ijtihad Umar masih ada sandaran syar’i nya dengan kaidah melarang sesuatu yang boleh untuk mencegah sikap yang buruk. Maka ini bisa dikatakan memiliki landasan syar’i juga. Jadi yang mengikut pendapat Umar r.a. dan Ibnu Mas’ud bukan bid’ah dlolalah. Dan yang mengikut pendapat Abu Musa, Ammar bin Yasr dan sahabat lain nya juga bukan bid’ah.

4.       Perbedaaan Pendapat Dalam Masalah Junub Ketika Puasa

Dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits berkata : Aku pernah mendengar Abu Hurairah r.a. berkata : “Barangsiapa pagi-pagi masih dalam keadaan junub maka sebaiknya ia tidak berpuasa. Lalu ucapan Abu Hurairah ini aku sampaikan kepada Abdurrahman bin Harits. Ternyata Abdurrahman tidak sependapat. Aku (Abu Bakar) dan Andurrahman berangkat menemui Aisyah r.ah. dan Ummu Salamah r.ah. Kemudian kedua wanita itu berkata : “Nabi s.a.w. pernah bangun pagi dalam keadaan junub bukan karena bermimpi (berarti karena behubungan badan dengan istri Nabi s.a.w.)  lalu beliau berpuasa”.  Lalu kami kembali kepada Abu Hurarirah r.a. Lalu Abu Hurairah r.a. bertanya : “Apakah kedua wanita itu yang mengatakan demikian kepadamu?” Abdurrahman menjawab : “Ya” Abu Hurairah ra.a. berkata : “kedua wanita itu lebih tahu daripada aku” (Atsar R. Bukhari Jilid 5 hal 45 dan Muslim Jilid 3 Hal 137)

Dalam kasus ini Abu Hurairah r.a. mengakui bahwa istri Rasulullah s.a.w. tentu lebih mengetahui hal-hal yang bersifat pribadi dan keseharian Rasulullah s.a.w. maka walaupun pada awalnya berbeda pendapat dengan Aisyah r.a. namun Abu Hurairah r.a. mengakui kebenaran pendapat istri-istri Rasulullah s.a.w

5.       Perbedaan Pendapat Dalam Hukuman Orang Yang Menyetubuhi Binatang

Jelas ada petunjuk dari Rasulullah s.a.w. bahwa orang yang mengalami kelainan sex dengan menyetubuhi binatang, maka hukumannya adalah baik orang itu maupun binatang itu harus dibunuh.

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad An Nufaili berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepadaku Amru bin Abu Amru dari Ikrimah dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata, “Rasulullah s.a.w.  bersabda: “Barangsiapa mensetubuhi binatang maka bunuhlah ia beserta binatang tersebut.” Ibnu Abbas berkata, “Aku lantas bertanya kepada Rasulullah, “Apa salah binatang tersebut?” Ibnu abbas r.a.berkata, “Aku tidak melihat beliau mengatakan begitu kecuali karena beliau tidak suka jika binatang yang telah disetubuhi itu dimakan dagingnya.” (H.R. Abu Daud No. 3871) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini derajatnya hasan shahih.

Namun sepeniggal Rasulullah s.a.w. Ibnu Abbas r.a. (yang mendengar sendiri perkataan Rasulullah s.a.w.) mengatakan bahwa orang yang menyetubuhi binatang tidak ada hukuman pidananya. Sedangkan Al-Hakam dan Al-Hasan berpendapat lain.

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus bahwa Syarik dan Abu Al Ahwash dan Abu bakr bin Ayyasy menceritakan kepada mereka dari Ashim dari Abu Razin (Mas’ud bin Malik) dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Orang yang menyetubuhi binatang tidak ada hukuman hadnya.” (Atsar .R. Abu Daud No. 3872) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini derajatnya hasan.

Abu Dawud berkata, “Atha juga mengatakan begitu.” Al -Hakam berkata, “Menurutku ia harus didera, meskipun jumlahnya tidak melebihi hukuman had.” Al-Hasan r.a. berkata, “Hukumannya sama dengan hukuman pezina.”

Apakah masalah bersetubuh dan zina itu termasuk perkara agama? Jawabnya : Bagian-bagian yang mana hadir perintah dan larangan Allah di situ, termasuk perkara agama. Apakah tindakan ini ada pada masa Rasulullah s.a.w. ? Jawabnya : Tidak. Rasulullah tidak pernah berpendapat seperti itu. Apakah pendapat Ibnu Abbas r.a. itu ada dalilnya? Jawabnya : Tidak. Bahkan menyelisihi dalil. Lalu apakah Ibnu Abbas r.a. melakukan bid’ah dlolalah? Jawabnya : Bukan bid’ah dlolalah.

6.       Perbedaan Pendapat Dalam Masalah Mengurai Rambut

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Ali bin Muhammad keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya (Urwah bin Az-Zubair bin Awwam )dari Aisyah bahwa Nabi s.a.w. berkata kepadanya ketika sedang haidl: “Urailah rambutmu kemudian mandilah.” -Ali bin Muhammad menyebutkan dalam haditsnya, -“Lepaskanlah gulungan rambutmu.” (Atsar .R. Ibnu Majah No. 633)

Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ali bin Hujr semuanya meriwayatkan dari Ibnu Ulayah Yahya berkata, telah mengabarkan kepada kami Ismail bin Ulayah dari Ayyub dari Abu az-Zubair dari Ubaid bin Umair dia berkata, ” Aisyah pernah mendengar Abdullah bin Amru memerintahkan orang-orang perempuan agar membuka tali ikatan rambut mereka apabila mereka mandi. Lalu Aisyah berkata, ‘Mengapa dia tidak menyuruh mereka agar mencukur rambut saja? Aku pernah mandi bersama-sama Rasulullah s.a.w. menggunakan air dari wadah yang sama. Aku tidak menyiram kepalaku lebih dari tiga kali siram’.” (Atsar .R. Muslim No. 498)

Dalam hal ini Aisyah r.ah. berbeda pendapat dengab Abdullah bin Amru dan juga dengan sahabat lain seperti Urwah bin Az-Zubair bin Awwam mengenai mengurai rambut ketika mandi jinabat. Namun dalam hal ini semestinya pendapat Aisyah r.ah. yang lebih kuat karena beliau adalah istri Rasulullah s.a.w.

7.       Perbedaan Pendapat Dalam Menghukumi Orang Gila Yang Berzina

Masalah hukum hudud (pidana) dalam Islam merupakan masalah agama. Karena apa-apa yang hadir di situ aturan Allah dan RasulNya, itu termasuk perkara agama. Maka dalam hal ini Ali bin Abi Thalib r.a. pernah membatalkan hukum rajam padahal secara umum hukum rajam ini berlaku bagi siapa saja orag yang sudah menikah yang melakukan perzinaan.

Telah menceritakan kepada kami Hannad dari Abu Al Ahwash. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Jarir secara makna, dari Atha bin As Sa`ib dari Abu Zhabyan berkata; Hannad Al janbi berkata, “Pernah didatangkan kepada Umar seorang wanita yang berbuat zina, lalu ia memerintahkan agar wanita itu dirajam. Ketika Ali r.a. lewat, ia mengambil wanita itu dan melepaskannya. Umar r.a. (saat itu menjadi khalifah) diberi kabar dengan kejadian tersebut, ia lantas berkata, “Pangilkanlah Ali agar ia menemuiku.” Ali r.a. kemudian datang dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, engkau telah mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda: “Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat (tidak dicatat) dari tiga golongan (yaitu)  anak kecil hingga ia baligh, orang tidur hingga ia bangun, dan orang gila hingga ia waras.” Dan wanita ini adalah wanita gila dari bani Fulan.Lalu Umar r.a. berkata : Aku tidak tahu (bahwa ia gila) Lalu Ali r.a. menjawab : “Aku juga tidak tahu (ia gila atau tidak)”. (H.R. Abu Daud No. 3824)

Telah menceritakan kepada kami ‘Affan telah menceritakan kepada kami Hammad dari ‘Atho` bin As Sa`ib dari Abu Dzabyan Al Jambi : Bahwa didatangkan seorang wanita yang telah berbuat zina ke hadapan Umar bin Khattab, kemudian memerintahkan untuk merajamnya, maka orang-orang membawanya untuk merajamnya, tetapi (ditengah perjalanan) mereka bertemu dengan Ali r.a. lalu bertanya; “Ada apa ini?” mereka menjawab; “Dia telah berzina dan Umar r,a, menyuruh merajamnya.” Ali melepaskannya dari tangan mereka dan mencegah mereka, kemudian mereka kembali kepada Umar, (Sesampainya disana) Umar bertanya; “Apa yang menyebabkan kalian kembali?” Mereka menjawab; “Ali.” Umar berkata; “Tidaklah Ali melakukan hal ini kecuali karena sesuatu yang dia ketahui?” maka diutuslah seseorang kepada Ali kemudian dia datang dengan agak marah, Umar bertanya; “Kenapa kamu mencegah mereka?” Ali menjawab; Tidakkah kamu mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Diangkat catatan amal dari tiga orang: orang yang tidur sehingga dia bangun, anak kecil sehingga dia menjadi dewasa dan orang gila sampai dia berakal?” Umar menjawab; “Ya.” Ali berkata; “Sesungguhnya wanita ini gila, dari Bani Fulan, kemungkinan ada orang yang memperkosanya saat dia gila.” Umar berkata; “Aku tidak tahu (ia gila).” Ali berkata; “Saya juga tidak tahu (ia gila atau tidak).”Maka Umar tidak jadi merajamnya. (H.R.  Ahmad No. 1258)

Dalam hadits di atas Ali bin Abi Thalib r.a. berpendapat bahwa sebuah hukuman tidak bisa diterapkan pada orang yang gila, tidak sadar, penyakit jiwa, atau tertidur dan masih baligh. Namun Ali bin Abi Thalib r.a. juga tidak tahu pasti apakah wanita itu gila atau tidak namun Ali cenderung untuk membebaskannya.

Tapi dalam hadits lain diceritakan bahwa di hadapan Umar r.a. dan Ali bin Abi Thalib didatangkan wanita yang gila dan ia telah berzina, namun Umar r.a. menganggap ia tetap harus dirajam, sedangkan Ali r.a. berhujjah dengan dalil bahwa orang gila, anak kecil dan orang tertidur tidak bisa dimintai pertanggung jawaban. Di sini ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) antara Umar dan Ali bin Abi Thalib r.a.

Walaupun sebenarnya hadits mengenai anak kecil dan orang tertidur dan orang gila itu terkait masalah shalat namun Ali r.a. melakukan qiyas untuk menerapkannya dalam hukum zina.

Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Jarir dari Al A’masy dari Abu Zhabyan dari Ibnu Abbas ia berkata : “Didatangkan kepada Umar seorang wanita gila yang berbuat zina, Umar lalu minta masukan pendapat kepada orang-orang. Kemudian ia memerintahkan agar wanita itu dirajam. Wanita itu lalu dibawa melewati Ali bin Abu Thalib -semoga Allah meridhainya-, ia bertanya, “Ada apa dengan wanita ini?” orang-orang menjawab, “Wanita gila dari bani fulan, ia telah berbuat zina. Dan Umar memerintahkan agar ia dirajam saja.” Ibnu Abbas berkata, “Ali kemudian berkata, “Bawalah ia kembali.” Ali lantas mendatangi Umar dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau tahu bahwa pena pencatat amal itu diangkat dari tiga golongan manusia; orang gila hingga ia sembuh, orang tidur hingga ia terbangun dan anak kecil hingga ia balig?” Umar menjawab, “Tentu.” Ali bertanya lagi, “Lalu kenapa wanita ini dirajam?” Umar menjawab, “Tidak apa-apa.” Ali berkata, “Lepaskanlah ia.” Ibnu Abbas berkata, “Umar kemudian membebaskan wanita tersebut. Lalu Umar pun bertakbir.”(H.R. Abu Daud No. 3823)

Umar bin Khattab r.a. berpendapat walaupun orang gila tetap bisa dikenai hukuman hudud (pidana) sedangkan Ali bin Abi Thalib r.a. berpendapat orang gila tak bisa dimintai pertanggung jawaban atas perilakunya dan oleh karenanya tidak bisa dikenai hukuman hudud. Kalaupun memang Umar dan Ali tidak pasti ia gila atau tidak maka di situ telah terdapat syubhat (kesamaran) maka Ali r.a. cenderung membebaskan karenan berdasarkan hadits :

Dari Aisyah r.a. “Hindarilah hukuman-hukuman terhadap orang-orang Islam menurut kemampuanmu” (H.R. Tirmidzi, Baihaqi & Al-Hakim)

Maka kita tidak mengatakan salah satunya telah menyalahi syari’at dan bid’ah. Karena masing-masing sahabat memiliki pertimbangan tersendiri dalam pemahaman agama

8.       Perbedaan Pendapat Dalam Puasa Kafarat

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Humaid bin Qais Al Maki Bahwasanya ia mengabarkan kepadanya, ia berkata, “Aku bersama Mujahid saat dia sedang thawaf di Ka’bah. Lalu ada laki-laki datang kepadanya menanyakan tentang puasa kafarah, apakah harus dikerjakan secara berturut-turut atau terputus.” Humaid berkata, “Aku menjawab, “Ya, boleh dikerjakan secara terputus jika mau.” Namun Mujahid berkata, “Tidak boleh secara terputus, karena dalam qira’ahnya Ubay bin Ka’b, disebutkan tiga hari berturut-turut.” (H.R. Malik  dalam Muwatha’ No. 597)

9.       Perbedaan Pendapat Mengqodho Shalat Setelah Nifas Selesai

Sebagian sahabat Nabi s.a.w. pernah berpendapat bahwa wanita wajib meng-qodlo sholat yang tidak dilakukannya karena nifas (pendarahan habis melahirkan). Dan qodho itu dilaksanakan setelah haid nya selesai.

Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Hatim, yakni Hubby telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al-Mubarak dari Yunus bin Nafi’ dari Katsir bin Ziyad dia berkata; Telah menceritakan kepadaku Al-Azdiyyah, yakni Mussah dia berkata : “Saya pernah menunaikan ibadah haji, lalu saya menemui Ummu Salamah seraya berkata; Wahai Ummul Mukminin, sesungguhnya Samurah bin Jundub memerintahkan kaum wanita untuk mengqadla` shalat (yang ditingggalkan) di masa haidl. Maka Ummu Salamah berkata; Mereka tidak usah mengqadla`nya, dahulu seorang istri dari istri-istri Nabi s.a.w. tidak shalat pada masa nifas, selama empat puluh malam, dan Nabi s.a.w. tidak memerintahkannya untuk mengqadla` shalat wanita yang nifas.” (H.R. Abu Daud No. 268)

10.   Perbedaan Pendapat Dalam Tawaf Sebelum Wuquf

Dari Wabarah dia berkata : Aku pernah duduk di samping Ibnu Umar r.a. tiba-tiba muncul seorang laki-laki dan berkata : “Bolehkah aku melakukan thawaf di Baitullah sebelum mendatangi tempat wuquf (Arafah) ?” Ibnu Umar r.a. menjawab : “Boleh” Laki-Laki itu berkata : “Tetapi Ibnu Abbas r.a. pernah mengatakan : “Janganlah kamu thawaf di Baitullah sebelum kamu mendatangi tempat wuquf”. Ibnu Umar r.a. berkata : “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah menunaikan ibadah haji lalu melakukan thawaf di Baitullah sebelum beliau mendatangi tempat wuquf di Arafah. Apakah dengan perkataan Rasulullah s.a.w. kamu lebih berpegang atau pada perkataan Ibnu Abbas jika kamu  benar? (H.R. Muslim Jilid 4 Hal 53)

Dalam hal ini Ibnu Umar r.a. berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas r.a. mengenai dibolehkannya melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah)sebelum mendatangi Arafah.

11.   Perbedaan Pendapat mengenai Mendapat Haid Ketika Haji

Dari Ikrimah dikatakan bahwa warga Madinah bertanya pada Ibnu Abbas r.a. mengenai wanita yang selesai mengerjakan thawaf ifadhah, lalu ia mendapat haid. Ibnu Abbas berkata kepada mereka : “Pergilah dia (bersama orang-orang) Namun orang-orang tidak yakin dan berkata : “Kami tidak mengambil pendapat mu, dan membiarkan perkataan Zaid bin Tsabit. Ibnu Abbas r.a. berkata L “Apabila kalian sampai di Madinah, tanyakanlah perkara ini” Ketika orang-orang pulang ke Madinah, mereka menanyakannya kepada Ummu Sulaim. Maka Ummu Sulaim menjawab dengan hadits Shafiyyah bahwa Shafiyyah pernah ifadhah dan  melakukan thawaf di Baitullah, sedangkan dia haid. Lalu Rasulullah s.a.w. berkata : “Pergilah kamu bersama yang lainnya (untuk thawaf ifadhah)” (H.R. Bukhari Julud 4 Hal 336 dan Muslim Jilid 4 Hal 93)

Dalam hal ini Ibnu Abbas r.a. berbeda pendapat dengan Zaid bin Tsabit r.a. walaupun pada akhirnya kelihatannya pendapat Ibnu Abbas r.a. lah yang lebih benar karena dikuatkan dengan hadits dari istri-istri Rasulullah s.a.w. namun hal ini tidak mengurangi keutamaan para sahabat dan menghargai ijtihad mereka.

Demikianlah  banyak sekali perbedaan terjadi semenjak pada generasi terbaik umat ini, yaitu generasi sahabat. Dan berpegang pada salah satu pendapat atau ijtihad sahabat, adalah sesuai dengan koridor “bersandar pada syariat”. Orang yang bersandar pada salah satu pendapat sahabat tidak boleh dikatakan berlaku bid’ah karena dapat dikatakan  bahwa ia telah memiliki landasan syari’at. Dan perbedaan pendapat ini adalah hal yang wajar, sebagaimana Umar bin Abdul Aziz berkata :

Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun dari hammad bin Salamah dari Humaid ia berkata: Dikatakan kepada Umar bin Abdul Aziz: “Seandainya kamu satukan manusia dalam satu paham”, kemudian ia berkata: “Tidaklah menggembirakanku jika mereka tidak berselisih pendapat”. Kemudian ia menulis surat ke seluruh penjuru atau negeri-negeri agar setiap kaum berhukum dengan apa yang disepakati oleh para ahli fikih mereka. (Atsar R. Darimi No. 626)

Bersambung Jilid 12…

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 10)

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 10)

Oleh : Abu Akmal Mubarok

Image

 PRAKTEK KEAGAMAAN PARA SAHABAT SELAIN KHULAFA’ AR-RASYIDAH

 

Atsar Sahabat (Selain Khulafa’  Ar-Rasyidin ) Adalah Termasuk “Landasan Dalam Syari’at”

Kita pasti sering mendengar bahwa landasan syari’at itu adalah Al-Qur’an dan Hadits, karena Allah bersabda :

Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul” (Q.S. An-Nuur [24] : 54)

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)” (Q.S. An-Nisaa [4]: 59)

Dan Rasulullah s.a.w. pun juga bersabda :

“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian berpegang teguh dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah-ku.” (H.R. Al-Hakim dan Daruquthni )

Aku tinggalkan kepadamu dua perkara yang mana kamu tidak aakn tersesat,  selama kamu berpegang pada keduanya yaitu Kutabullah dan sunnah Nabinya” (H.R. Malik dalam Al Muwatha Juz 2 Hal 899 dan Imam Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir Hadits No. 2934)

Hal ini diamini dan diikuti oleh para sahabat misalnya :

Dari Juwairiyah Bin Qudamah dia berkata; “Aku melaksanakan ibadah haji, kemudian pada tahun Umar mendapat musibah aku datang ke Madinah, ” Juwairiyah berkata; “Umar berkhutbah dan berkata “Berpegang teguhlah kepada kitab Allah (Al Qur’an), sebab kalian tidak akan tersesat selama kalian mengikutinya.”  (H.R. Ahmad No. 342)

Namun apa yang dimaksud “kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah”? Apa yang dimaksud dengan “ada landasannya dalam kitabullah dan sunnah??”  Hal ini adalah pernyataan umum yang bersifat normatif yang perlu diperinci lebih lanjut, karena di situ ada perkataan para sahabat karena di situ terdapat kaidah-kaidah yang apabila orang tidak paham akan langsung menuduh para sahabat menyelisihi sunnah. Sahabat ini ada banyak. Salah satunya adalah khalifah yang 4 yang disebut Khulafa’  Ar-Rasyidin .

Selain Khulafa’ur Rasyidin, juga terdapat sahabat lainnya. Maka ucapan dan ijtihad para sahabat selain Khulafaur  Rasyidin harus kita perhatikan juga dan termasuk bagian dari sunnah Rasulullah s.a.w. Artinya jika kita mengikuti sebagian pendapat sahabat , maka bisa dikatakan telah berlandaskan syari’at.

Dalam sebuah atsar dari Ibnu Mas’ud r.a. dikaitkan antara “mengikuti peninggalan kami (yaitu fikih para sahabat Nabi s.a.w) dengan perkara bid’ah

Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a. berkata : “Ikutilah peninggalan- peninggalan kami (para sahabat Nabi s.a.w) dan janganlah kalian berbuat bid’ah karena ajaran- ajaran telah dicukupkan bagimu.” (Hadits ini disebutkan oleh Imam Syatibi dalam Al-Ittishom hal 65)

Siapa yang dimaksud kami di sini? Yaitu Ibnu Mas’ud r.a. dan kawan-kawannya, yaitu para sahabat Rasulullah s.a.w.

Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash r.a. , bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda : Bagaimana keadaanmu dan dengan putaran zaman —atau beliau berkata: Hampir-hampir tiba suatu zaman— yang akan membuat manusia binasa dengan kebinasaan yang tak terhingga, dan yang tersisa adalah kelompok manusia yang hina, yang melanggar perjanjian dan amanat yang ada pada diri mereka. Mereka berselisih sehingga menjadi seperti ini.” beliau mengaitkan jari-jemari tangannya. Para sahabat lalu bertanya, “Apa yang harus kami lakukan wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Hendaklah kalian mengambil perkara yang kalian ketahui dan hendaklah kalian meninggalkan perkara yang kalian ingkari. Wa tuqbiluuna ‘alaa amri khoshotikum (Hendaklah kalian mengerjakan perkara orang-orang khusus kalian) Wa tadzaruuna amri ammatikum ( dan hendaklah kalian meninggalkan perkara orang-orang umum dari kalian).” (H.R. Ath-Thahawiy Imam Syatibi menyebutkan dalam Al-Ittishom hal. 61)

Siapa yang dimaksud dengan orang-orang khusus di sini? Yaitu para sahabat yang dikenal senior dan faqih dalam agama. Dan siapa yang dimaksud orang umum? Yaitu orang ammah yaitu yang awam (tidak paham) terhadap agama.

Jika  cermati,  para sahabat Rasulullah s.a.w. tidak sama, derajatnya dan keutamaannya. Di antara mereka ada yang mula-mula masuk Islam, yang mula-mula berhijrah, yang mula-mula ikut berperang di perang Badar. Allah bersabda tentang mereka :

Dan orang-orang yang terdahulu yang petama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dengan mereka dan mereka ridho kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (Q.S. At-Taubah [9] : 100)

Merekalah orang-orang khusus itu. Ketika ada persoalan,dan pengangkatan khalifah maka orang-orang khusus ini bertindak sebagai ahlul hali wal aqdi (semacam DPR) yang dimintai pendapat dan  melakukan musyarah. Jadi mereka adalah semacam majelis syuro.

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ telah menceritakan kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Hushain dari Hilal bin Yasaf dari Abdullah bin Dlalim Al Mazini dari Sa’id bin Zaid bin ‘Amru bin Nufail bahwa dia berkata; “Saya bersaksi terhadap sembilan orang yang telah dijamin masuk surga dan sekiranya aku bersaksi terhadap sepuluh orang, maka aku tidak akan berdosa.” Dikatakan; “Bagaimana bisa begitu?.” Dia menjawab; “Kami pernah bersama Rasulullah s.a.w. di (goa) Hira’, lalu beliau bersabda: “Tenanglah wahai (goa) Hira’, tidaklah orang yang ada di atasmu melainkan seorang Nabi, orang yang shiddiq (membenarkan) atau orang yang syahid.” Dikatakan; “Siapakah mereka?” Dia menjawab; (mereka adalah) Rasulullah s.a.w. , Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad dan Abdurrahman bin ‘Auf.” Dikatakan; “Siapa yang kesepuluh?” Dia menjawab; “Saya.” (H.R. Tirmidzi No. 3690)

Maka perhatikanlah bahwa Rasulullah s.a.w. sendiri menjuluki mereka selain dari diri Nabi, yaitu orang2 yang shiddiq dan yang syahid, mereka adalah Abu Bakar r.a. , Umar  r.a., Utsman r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Thalhah r.a., Zubair r.a.m Abdurrahman bin Aur r.a. dan Zaid.

Abu Isa   (Tirmidzi) berkata; “Hadits ini adalah hadits hasan shahih.” Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih.

Itulah 10 orang yang dijamin masuk surga. Sementara itu di tempat lain Rasulullah s.a.w. memuji keutamaan para sahabat :

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab bin Abdul Majid berkata, telah menceritakan kepada kami Khalid Al Hadzdza` dari Abu Qilabah dari Anas bin Malik ia berkata; Rasulullah s.a.w.  bersabda: “Umatku yang paling penyayang terhadap umatku adalah Abu Bakar, yang paling tegas di antara mereka adalah Umar, yang paling benar rasa malunya adalah Utsman, yang paling tepat keputusannya adalah Ali bin Abu Thalib, yang paling bagus bacaannya terhadap kitabullah adalah Ubai bin Ka’ab, yang paling tahu terhadap perkara yang halal dan yang haram adalah Mu’adz bin Jabal, dan yang paling paham terhadap ilmu Fara’idl adalah Zaid binTsabit. Ketahuilah bahwa setiap umat itu mempunyai orang yang terpercaya, dan orang terpercaya umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al Jarrah.” Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Sufyan dari Khalid Al Hadzdza` dari Abu Qilabah seperti hadits di atas. Hanya saja Ibnu Qudamah menyebutkan; “bahwa Zaid adalah yang paling tahu terhadap ilmu fara’idl.” (H.R. Ibnu Majah No. 151)

Perhatikanlah bahwa Ali bin Abi Thalib dikatakan paling tepat keputusannya, Mu’adz adalah orang yang paling tahu terhadap halal dan haram, lalu Zaid bin Tsabit adalah yang paling paham perkara fara’idl.  Hal ini perlu kami tegaskan agar tak ada keraguan dan nantinya mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak paham agama, dan mereka telah menyelisihi sunnah, sembari berkata kami orang pada masa sekarang ini lebih paham dibanding mereka. Kita berlindung pada Allah dari anggapan semacam ini.

A.      Modifikasi Ibadah Mahdhoh oleh Sahabat (Selain Khulafa’ur Rasyidin) Saat Rasululah s.a.w. Masih Hidup

Beberapa sahabat pernah merintis suatu perbuatan yang berbeda dengan yang biasa dilakukan Rasulullah s.a.w. atau memodifikasi tata cara ibadah yang dicontohkan Rasulullah s.a.w. Namun hal ini tidak disalahkan oleh Rasulullah s.a.w. bahkan dinyatakan sebagai hal yang baik.

1.       Mu’adz bin Jabal Memulai Perubahan Mengganti Shalat Yang Tertinggal

Abdurrahman bin Abi Laila berkata : “Pada masa Rasulullah s.a.w bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah maka orang-orang yang lebih dahulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani sehingga orang itu mengerjakan rakaat yang tertinggal itu lebih dulu baru menyusul masuk berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal r.a. datang terlambat lalu orang-orang mengisyaratkan padanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, tetapi Mu’adz langsung masuk dalam jamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah s.a.w. menyelesaikan shalat berjamaah, Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal. Setelah Rasulullah s.a.w. menyelesaikan shalat mereka melaporkan perbuatan Mu’adz  bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaaan mereka. Lalu beliau s.a.w. menjawab : “Mu’adz telah mempelopori cara yang baik buat shalat kalian. Dalam riwayat lain dikatakan : Beliau s.a.w. bersabda : “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian, begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan” (H.R. Abu Daud, Imam Ahmad Juz 5 Hal 233, Imam Ibnu Abi Syaibah , Thabrani dalam Al Mu’jam Kabir juz 20 Hal 271. Ibnu Hazm dan Ibnu Daqiiq Al-‘Id mengatakan hadits ini shahih)

2.       Seseorang Sahabat Menambahkan Doa Setelah Ruku

Dari Rifa’ah ibn Rafi’, r.a. berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah s.a.w.. Ketika beliau bangun setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata: Rabbana walakalhamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih.  Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah” Lalu Rasulullah berkata: “Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.(H.R. Bukhari No. 799 Nasa’i No 1016, Abu Daud No. 770, Ahmad No. 19018, Ibnu Khuzaimah No. 614)

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Nu’aim bin ‘Abdullah Al Mujmir dari ‘Ali bin Yahya bin Khallad Az Zuraqi dari Bapaknya dari Rifa’ah bin Rafi’ Az Zuraqi berkata, “Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi s.a.w. . Ketika mengangkat kepalanya dari rukuk beliau mengucapkan: ‘SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Semoga Allah mendengar punjian orang yang memuji-Nya) ‘. Kemudian ada seorang laki-laki yang berada di belakang beliau membaca; ‘RABBANAA WA LAKAL HAMDU HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI (Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala pujian, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh berkah) ‘.” Selesai shalat beliau bertanya: “Siapa orang yang membaca kalimat tadi?” Orang itu menjawab, “Saya.” Beliau bersabda: “Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berebut siapa di antara mereka yang lebih dahulu untuk menuliskan kalimat tersebut.” (H.R. Bukhari No. 757)

Bacaan tersebut jelas sesuatu yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. sehingga beliau bertanya siapa yang membaca seperti itu tadi? Namun Rasulullah s.a.w. tidak mengecam dan menyalahkan orang tersebut lantaran mengucapkan doa yang belum pernah beliau ajarkan

3.       Mu’adz bin Jabal Mengambil Zakat Berupa Tombak dan Kain

Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang harus ditunaikan, bahkan Allah berfirman dengan menggunakan kalimat perintah “khudz” (pungutlah) artinya sifatnya pro aktif memungut dan menagih, bukan menunggu orang menyerahkan zakat. Tujuan zakat adalah membersihkan harta dari hak-hak fakir miskin di dalamnya. Karena di dalam harta yang kita peroleh dititipi hak rejeki fakir miskin dan orang yang berhak lainnya.

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkandan mensucikan mereka “ (Q.S. At-Taubah [9] : 103)

Maka Rasulullah s.a.w. memberi petunjuk teknis (kaifiyat) pengambilan zakat ini :

Telah menceritakan kepada kami Amru bin Sawwad Al Mishri berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb berkata, telah mengabarkan kepadaku Sulaiman bin Bilal dari Syarik bin Abu Namir dari ‘Atha bin Yasar dari Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah s.a.w. mengutusku ke Yaman dan bersabda kepadanya: “Ambillah biji dari biji, domba dari kambing, unta dari unta dan sapi dari sapi.” (H.R. Ibnu Majah No. 1804)

Namun Muadz bin Jabal r.a. melakukan inisiatif yang menyelisihi perintah Rasulullah s.a.w ketika diutus ke Yaman. Ia memungut zakat berupa tombak dan pakaian.

Dari Thawudz dari Mu’adz bin Jabal r.a. ia berkata : “Berikan kepada saya tombak atau pakaian (yang mereka bikin sendiri) sebagai ganti jagung dan gandum yang harus saya pungut dari kalian, jarena hal itu lebih meringankan laian dan lebih bermanfaat bagi orang-orang Muhajirin di Madinah” (Atsar R. Bukhari dan Baihaqi)

Secara sepintas Mu’adz telah menyelisihi perintah Rasul. Namun Mu’adz berani melakukan modifikasi ini dengan pertimbangan bahwa maqoshid syar’i dari zakat tetap terpenuhi yaitu untuk membersihkan dan mensucikan harta, walaupun bentuknya tidak persis seperti perintah Rasulullah s.a.w. Apakah hal ini ada dalilnya? Jelas tak ada dalil hadits yang memerintahkan memungut dalam bentuk tombak dan pakaian. Namun apakah ini bid’ah yang dlolal? Tentu saja bukan bid’ah. Apakah ini tetap tegak di atas sunnah? Tentu saja hal ini termasuk tetap tegak di atas sunnah walaupun menyelisihi perintah Rasululllah s.a.w. Terbukti Rasulullah s.a.w juga tidak menyalahkan Mu’adz.

4.       Ammar bin Yasir Mencampur Surat ini Dan Itu

Secara umum dikatakan di dalam Al-Qur’an bahwa :

“Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah hati dan suara lembut. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang meampaui batas” (Q.S. Al-A’raaf [7] : 55)

“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara” (Q.S. Al-A’raaf [7] : 105)

Demikian pula di dalam hadits Rasulullah s.a.w. bersabda :

: Hai manusia sesungghnya zat yang kamu seru itu tidak tuli dan tidak jauh, sesungguhnya Tuhan yang kamu seru itu ada di antara kamu dan di antara leher kendaraan kamu (H.R. Bukhari Muslim)

Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a., dia berkata, Rasulullah s.a.w. pernah beri’tikaf di masjid lalu beliau mendengar mereka mengeraskan suara bacaan al-Qur’an, lalu beliau membuka tabir pemisah seraya bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya masing-masing dari kalian bermunajat kepada Rabb-nya. Oleh karena itu, janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian lainnya, dan janganlah sebagian mengangkat suara atas yang lainnya dalam membaca al-Qur’an.” (H.R.  Abu Daud)

Namun sahabat Umar bin Khattab r.a. punya alasan sendiri untuk membaca Al-Qur’an dengan suara yang keras (disamping memang karakter Umar r.a. yang garang dan keras). Lalu sahabat Ammar bin Yasr juga menyusun redaksi doa sendiri dengan mencampur ayat ini dan ayat itu dari berbagai surat Al-Qur’an

Ali r.a. berkata : “Abu Bakar bila membaca Al-Qur’an dengan suara lirih sedangkan Umar dengan suara keras. Dan Ammar bila membaca Al-Qur’an mencampur surat ini dan itu. Kemudian hal itu dilaporkan kepada Nabi s.a.w. sehingga beliau bertanya kepada Abu Bakar : “Mengapa kamu membaca dengan suara lirih?” Ia menjawab : “Allah dapat mendengar suaraku walaupun lirih”. Lalu beliau bertanya kepada Umar: “Mengapa kamu membaca dengan suara keras ?” Umar menjawab : “Aku mengusir setan dan menghilangkan kantuk”. Lalu beliau bertanya pada Ammar : “Mengapa kamu mencampur surat ini dengan surat itu?” Ammar menjawab : “Apakah engkau pernah mendengar aku mencampurnya dengan selain Al-Qur’an?” Beliau s.a.w. menjawab : “Tidak” Lalu beliau bersabda : “Semua itu baik” (H.R. Ahmad No. 865 ) Al-Haistami berkata isnad hadits ini tsiqat / terpercaya (Majma’u Zawaid Juz 2 hal 544)

Namun kita lihat Rasulullah s.a.w. tidak menyalahkan ijtihad para sahabatnya ini dan menganggap hal itu baik. Jika kita tanyakan : Apakah hal ini pernah dilakukan Rasulullah s.a.w.? Jawabannya belum pernah, oleh karena itulah Rasulullah s.a.w. mempertanyakan mengapa melakukan ini dan itu. Dan belum pernah Rasulullah s.a.w. mengajarkan hal sedemikian itu. Maka dapat kita katakan bahwa apa yang dilakukan sahabat ini adalah bid’ah (perkara baru) dalam agama. Namun apakah mereka melakukan bid’ah yang dlolalah (sesat) atau madzmumah (tercela)? Ternyata Nabi s.a.w. mengatakan “semuanya baik”. Berarti ini adalah inovasi (muhdats) dalam agama yang masih dianggap baik (hasanah).

B.      Modifikasi oleh Sahabat (Selain Khulafa’ur Rasyidin) Saat Rasululah s.a.w. Sudah Wafat

Ada yang membantah perubahan kaifiyat (perincian teknis) ibadah mahdhoh oleh sahabat dimungkinkan karena belum selesai masa penetapan syari’at, yaitu  karena Rasulullah s.a.w. masih hidup. Lalu apakah setelah Rasulullah s.a.w wafat tidak pernah ada perubahan pada ibadah mahdhoh?  Ternyata pada masa berikutnya setelah Rasulullah s.a.w. wafat pun beberapa sahabat melakukan modifikasi pada ibadah mahdhoh. Contoh sebagai berikut :

1.       Ibnu Umar r.a. Menambahkan Bacaan Tasyahud

Doa-doa yang dilafalkan selama sholat adalah telah jelas ketentuan dan petunjuknya dari Rasulullah s.a.w. Sebagian ulama masa kini mengatakan bahwa perubahan pada kaifiyat ibadah mahdhoh merupakan bid’ah yang terlarang. Namun kenyataannya Ibnu Umar r.a. pernah menambahkan doa tasyahud yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali telah menceritakan kepadaku ayahku telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abu Bisyr aku mendengar Mujahid menceritakan dari Ibnu Umar r.a. dari Rasulullah s.a.w. tentang tasyahud, yaitu: “Attahiyyatu lillah Asshalawatut-thayyibat Assalamu ‘alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakatuh” Ibnu Umar berkata bahwa ana zidtuha  (aku menambahkan) “wahdahu la syarikalah wa asyhadu anna muhammadan abduhu warasuluh”(tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah).” (H.R. Abu Daud No. 826)

Apakah masalah tasyahud masalah agama? Ya jelas bacaan sholat adalah perkara agama. Apakah doa yang dibaca dalam sholat adalah masalah kaifiyat ibadah? Ya jelas, itu adalah kaifiyat ibadah. Apakah hal ini belum ada di jaman Nabi s.a.w.? Ya jelas belum ada. Berarti ini muhdats (perkara baru). Lalu apakah muhdats ini ada landasannya dari kitabullah dan sunnah? Jawabannya : tidak ada landasannya bahkan menyelisihi sabda Nabi s.a.w.

Lalu ada yang membantah : “Ah, itukan pendapat Ibnu Umar. r.a. yang menjadi patokan adalah Nabi s.a.w” Kami katakan : Memang itu adalah yang dilakukan Ibnu Umar r.a. Namun yang ingin kami tanyakan adalah : “Apakah menurut Anda Ibnu Umar r.a. dalam hal ini telah melakukan bid’ah? Jika ya, apakah Ibnu Umar r.a. telah melakukan bid’ah dlolalah? (sesat) dan masuk neraka? Jika benar Ibnu Umar r.a. melakukan bid’ah namun tidak dlolal (sesat) berarti ada bid’ah yang tidak sesat. Hal itu menunjukkan ada bid’ah yang hasanah. Dan mengubah kaifiyat ibadah belum tentu otomatis sebagai bid’ah yang dlolal (sesat).

2.       Ibnu Umar Menambahkan Doa  Talbiyah Ketika Haji

Haji Termasuk salah satu rukun Islam dan termasuk salah satu ibadah mahdhoh. Maka menurut sebagian ulama, mengubah kaifiyat (perincian teknis) tata cara pelaksanaan ibadah haji adalah terlarang dan bid’ah.

Namun dalam khazanah sejarah kita dapati bahwa Ibnu Umar r.a. pernah menambahkan bacaan talbiyah dari apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah s.a.w.

Ibnu Umar r.a. meriwayatkan doa talbiyah yang diajarkan Rasulullah s.a.w. adalah “Labaikallahumma labaik, Labaika Laa Syarika laka labaik, Innal Hamda wa ni’mata laka wal mulk laa syarikalak” Lalu Ibnu Umar (menambahi) berdoa : “Labaikalabaika wa saidaika wal khairu biyadaik labaik warraghba’u ilaika wal ‘amal” (Atsar.R.  Bukhari Juz 2 Hal 170, Muslim No. 1184, Abu Daud No. 1812)

Dalam atsar Ibnu Umar r.a. di atas jelas bahwa Ibnu Umar menambahkan doa karangan sendiri setelah doa talbiyah yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. tentu saja doa ini tidak ada pada masa Rasulullah s.a.w. Maka ini jelas modifikasi atas kaifiyat ibadah yang telah jelas ada petunjuknya dari Rasulullah s.a.w. Lalu apakah ini perkara agama? Jawabnya : Ya. Apakah ini belum pernah dilakukan Nabi s.a.w.? Jawab : Ya, belum pernah. Lalu apakah ini ada landasan dalilnya? Jawabnya : Tidak, ini adalah inisiatif Ibnu Umar r.a. Lalu apakah ini bid’ah yang dlolalah? Jawabnya : Jika Ibnu Umar r.a. melakukan bid’ah dlolalah berarti ia sesat dan masuk neraka, padahal ia adalah salah satu sahabat yang dijamin masuk surga.

3.       Abu Hurairah Berwudlu Karena Makan Keju / Susu Kering

Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Az Zuhri dari Umar bin Abdul Aziz dari Ibrahim bin Abdullah bin Qarizh, dia berkata: “Saya bertemu dengan Abu Hurairah yang sedang berwudlu, maka dia berkata; “Apakah kamu tahu kenapa saya berwudlu setelah memakan sepotong susu kering? sesungguhnya saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Berwudhulah kalian dari apa saja yang tersentuh oleh api.” (H.R. Ahmad No. 7287)

Hal di atas adalah pendapat Abu Hurairah r.a. karena pernah mendengar sabda Rasulullah s.a.w. demikian. Namun mungkin Abu Hurairah belum pernah mendengar bahwa tidak semua makanan yang dibakar harus berwudlu, terbukti untuk kambing bakar tidak perlu berwudlu.

Telah menceritakan kepada kami Abu Kamil Fudhail bin Husain al-Jahdari telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Utsman bin Abdullah bin Mauhab dari Ja’far bin Abi Tsaur dari Jabir bin Samurah bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah s.a.w. “Apakah kami harus berwudhu karena makan daging kambing?” Beliau menjawab, “Jika kamu berkehendak maka berwudhulah, dan jika kamu tidak berkehendak maka janganlah kamu berwudhu.” Dia bertanya lagi, “Apakah harus berwudhu disebabkan (makan) daging unta?” Beliau menjawab, “Ya. Berwudhulah disebabkan (makan) daging unta.” (H.R. Muslim No. 539)

dari Ibnu Al Munkadir dari Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil dari Jabir, sesungguhnya Nabi s.a.w. makan daging kemudian sholat dengan tidak berwudlu lagi. Abu Bakar makan daging kemudian sholat tanpa berwudlu lagi. ‘Umar makan daging kemudian sholat tanpa berwudlu lagi. (H.R. Ahmad No. 13780)

Maka mana saja dari perkara ini adalah memiliki landasan syar’i dan baik yang berwudlu maupun tidak berwudlu keduanya bisa diakatakan berada di atas sunnah.

4.       Mu’awiyah r.a. Membatalkan Qishash Orang Gila Yang Membunuh

Secara umum dikatakan bahwa orang  membunuh tanpa haq harus dikenai hukuman qishash, yaitu dibalas sesuai perbuatannya kecuali ahli waris korban setuju menerima diyat (denda atau tebusan) Namun Mu’awaiyah pernah membatalkan hukuman qishash karena diduga pembunuhnya adalah orang gila

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Yahya bin Sa’id bahwa Marwan bin Al Hakam menulis surat kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan, bahwa pernah dihadapkan kepada orang gila yang telah membunuh seseorang. Maka Mu’awiyah menjawab; “Ikatlah dia dan jangan engkau balas semisal dengan perbuatannya, karena orang gila itu tidak boleh diqishas.” (H.R. Imam Malik dalam Muwatha’  No. 1340)

5.       Ibnu Umar r.a. Mengunjungi Muhashib Sebagai Sunnah Dalam Berhaji

Dalam berbagai hadits diceritakan bahwa ketika Rasulullah s.a.w melaksanakan haji, beliau berkunjung ke Muhashib

Telah menceritakan kepada kami Ashbagh bin Al Faraj telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb dari ‘Amru bin Al Harits dari Qatadah bahwa Anas bin Malik radliallahu ‘anhu menceritakan kepadanya bahwa Nabi s.a.w. melaksanakan shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya’ kemudian Beliau tidur sejenak di Al Muhashib (tempat melempar jumrah di Mina) lalu Beliau menunggang tunggangannya menuju ke Ka’bah Baitullah lalu thawaf disana“. (H.R. Bukhari No. 1637 dan No. 1643)

Maka hal ini diikuti oleh Umar bin Khattab r.a. dan juga Ibnu Umar r.a. mereka berdua mengangap hal ini sebagai bagian dari sunnah Rasul dalam melaksanakan haji

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Abdul Wahhab telah menceritakan kepada kami Khalid bin Al Harits berkata; ‘Ubaidullah ditanya tentang Al Muhashshab”. Maka ‘Ubaidullah menceritakan kepada kami dari Nafi’ berkata: “Rasulullah s.a.w. pernah berhenti singgah disana, begitu juga ‘Umar dan Ibnu ‘Umar”. Dan dari Nafi’ bahwa Ibnu’Umar r.a. pernah di sana, yaitu di Al Muhashshab, shalat Zhuhur, dan ‘Ashar”. Dan aku (Nafi) menduga dia berkata: “dan shalat Maghrib.” Khailid berkata: “Aku tidak meragukan tentang shalat ‘Isya’, lalu dia tidur sejenak disana”. Lalu dia menyebutkan bahwa hal itu dari Nabi s.a.w. (H.R. Bukhari No. 1647)

Namun Aisyah r.ah. mengatakan bahwa hal itu bukanlah merupakan bagian dari rukun haji

Aisyah r.ah. berkata : “Al Muhashshab bukan lah apa-apa ia adalah tempat yang pernah dikunjungi Rasulullah s.a.w. maksudnya agar lebih mudah untuk keluar dari kota Madinah karena tempat itu luas dan ramai” (Atsar R. Bukhari)

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Hisyam dari ayahnya dari Aisyah, ia berkata; “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. singgah di Al Muhashshab agar beliau mudah untuk keluar, hal tersebut bukanlah perkara yang sunnah. Maka barangsiapa yang ingin singgah padanya, ia boleh singgah, dan barangsiapa yang tidak ingin singgah padanya, maka ia boleh tidak singgah”. (Atsar. R. Abu Daud No. 1717)

 Namun kita tetap menghargai pendapat Umar bin Khattab r.a. dan Ibnu Umar r.a.

 6.       Ibnu Mas’ud Membolehkan Hibah Lebih Dari Sepertiga Harta

Telah mafhum di kalangan kaum muslimin bahwa hibah yang diperbolehkan maksimalkan adalah 1/3 dari keseluruhan harta dan tidak boleh lebih dari itu, karena akan menyisakan sedikit sekali bagi ahli waris.

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari ‘Amir bin Sa’ad bin Abu Waqash dari bapaknya r.a. berkata; Rasulullah s.a.w. pernah mengunjungiku pada hari Haji Wada’ (perpisahan) saat sakitku sudah sangat parah, lalu aku berkata: ” Sakitku sudah sangat parah (menjelang kematianku) dan aku banyak memiliki harta sedangkan tidak ada yang akan mewarisinya kecuali anak perempuanku. Bolehkah aku menyedekahkan sepertiga dari hartaku ini?. Beliau menjawab: “Tidak boleh”. Aku katakan lagi: “Bagaimana kalau setengahnya?”. Beliau menjawab: “Tidak boleh”. Kemudian Beliau melanjutkan: “Sepertiga dan sepertiga itu sudah besar atau banyak. Sesungguhnya kamu bila meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan (kaya) itu lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka serba kekurangan sehingga nantinya mereka meminta-minta kepada manusia. (H.R. Bukhari No. 1213)

Namun Ibnu Hazm dalam Kitab Al-Muhalla mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud r.a. membolehkan hibah lebih dari sepertiga harta. Dan pendapat ini juga diikuti oleh Ubaidah Al Salmani (Al-Maqoshid Al Syari’ah Al- Islamiyyah Hal 30-39)

7.       Shalawat Karangan Abdullah bin Mas’ud r.a.

Bacaan shalawat adalah sesuatu yang sudah jelas petunjuknya dari Nabi s.a.w. terdapat sekitar 3 atau 4 variasi pilihan bacaan shalawat yang diajarkan Nabi s.a.w. Namun Dalam sebuah atsar sahabat diceritakan Abdullah bin Mas’ud r.a. menyusun doa shalawat sendiri

Telah menceritakan kepada kami Al Husain bin Bayan berkata, telah menceritakan kepada kami Ziyad bin Abdullah berkata, telah menceritakan kepada kami Al Mas’udi dari Aun bin Abdullah dari Abu Fakhitah dari Al Aswad bin Yazid dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata; “Jika kalian membaca shalawat kepada Rasulullah s.a.w. maka baguskanlah, sebab kalian tidak tahu, bisa jadi shalawat itu dihadirkan di hadapannya (Rasulullah). ” Al Aswad berkata; “Orang-orang pun berkata Abdullah bin Mas’ud,Ajarkanlah kepada kami, ” Abdullah bin Mas’ud berkata; “Bacalah; ALLAHUMMA IJ’AL SHALAATAKA WA RAHMATAKA WA BARAKA’ATIKA ‘ALA SAYYIDIL MURSALIIN WA IMAAMIL MUTTAQIIN WA KHAATAMIN NABIYYIN MUHAMMADIN ‘ABDIKA WA RASUULIKA IMAAMIL KHAIRI WA QAA`IDIL KHAIRI WA RASUULIR RAHMAH. ALLAHUMMAB’ATSHU MAQAAMAN MAHMUUDAN YAGHBITHUHU BIHIL AWWALIIN WAL AKHIRIIN. ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMADIN WA ‘ALA ALI MUHAMMADIN KAMAA SHALLAITA ‘ALA IBRAHIM WA ‘ALA ALI IBRAHIM INNAKA HAMIIDUN MAJIIDUN. ALLAHUMMA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA ALI MUHAMMADIN KAMAA BAARAKTA ‘ALA IBRAHIM WA ‘ALA ALI IBRAHIM INNAKA HAMIIDUN MAJIIDUN (Ya Allah, jadikanlah shalawat, rahmat dan berkah-Mu kepada pemimpin para Nabi yang diutus, imam orang-orang yang bertakwa dan penutup para Nabi, Muhammad, hamba dan rasul-Mu. Seorang imam dan pemimpin kebaikan, serta rasul pembawa rahmat. Ya Allah, bangkitkanlah ia pada kedudukan yang terpuji, kedudukan yang menjadikan iri orang-orang terdahulu dan yang akan datang. Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau memberi shalawat kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Ya Allah, berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. ” (Atsar .R.  Ibnu Majah No. 896 Thabrani dalam Mu’jam Kabir Juz 9 Hal 115, Imam Abdurrazzaq No. 3109, Imam Abu Ya’la No. 5267)

Nashiruddin Al-Albani  menyatakan hadits ini dla’if karena Ziyad bin Abdullah bin Ath-Thufail dikatakan dla’if oleh Nasa’i serta Abu Hatim mengatakan hadits Ziyad tidak bisa dijadikan hujah. Namun atsar Ibnu Mas’ud ini dijadikan hujjah oleh Ibnul Qoyyim (murid Ibnu Taimiyyah) dan disebutkan dalam Kitab Jada’ Al-Afham Hal 36 dan Hal 72.

8.       Shalawat Karangan Abdullah bin Abbas r.a.

Dari Ibnu Abbas r.a. : “Apabila membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. beliau berkata : ‘Ya Allah kabulkanlah syafaat Muhammad yang agung, tinggikan derajatnya yang luhur, dan berilah permohonannya di dunia dan di akhirat sebagaimana Engkau kabulkan permohonan Ibrahim dan Musa” (Atsar Riwayat Abdullah bin Humaid, Imam Abdurrazzaq dalam Mushannaf No. 3104, Ismail Al Qadhi, Atsar ini juga disebutkan oleh Ibnul Qoyyim dalam Kitab Jada’ Al-Afham Hal 76)

9.       Perubahan Lafadz Adzan Oleh Ibnu Abbas

Bacaan adzan adalah sesuatu yang sudah jelas petunjuknya dari Nabi s.a.w. Namun Dalam sebuah atsar sahabat diceritakan Ibnu Abbas r.a. berinisiatif sendiri ketika saat cuaca atau situasi tidak memungkinkan untuk shalat di masjid, justru menyerukan agar orang shalat di rumah, dan lafal ini disisipkan pada adzan.

Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad dari Ayyub dan ‘Abdul Hamid sahabat Az Zayadi, dan ‘Ashim Al Ahwal dari ‘Abdullah bin Al Harits berkata, “Pada suatu hari ketika jalan penuh dengan air dan lumpur (becek) akibat hujan, Ibnu ‘Abbas r.a. pernah menyampaikan khuthbah kepada kami. Ketika mu’adzin sampai pada ucapan: ‘Hayya ‘Alash shalaah (Marilah mendirikan shalat) ‘ ia perintahkan mu’adzin tersebut untuk menyerukan: ‘Shalatlah di tempat tinggal masing-masing’. Lalu orang-orang saling memandang satu sama lain karena heran. Maka Abdullah bin Al Harits pun berkata, “Hal yang demikian ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik darinya, dan itu merupakan kewajiban Mu’akkad (yang ditekankan).” (Atsar Riwayat Bukhari 581)

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Abdul Wahhab berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Hamid sahabatnya Az Zayadi, ia berkata, aku mendengar ‘Abdullah bin Al Harits berkata, “Pada suatu hari ketika jalan penuh dengan air dan lumpur akibat hujan, Ibnu ‘Abbas menyampaikan khuthbah kepada kami. Saat mu’adzin mengucapkan ‘Hayya ‘Alashshalaah’ (Marilah mendirikan shalat) ia perintahkan kepadanya untuk mengucapkan: ‘Shalatlah di tempat tinggal masing-masing’. Maka orang-orang pun saling memandang satu sama lain seakan mereka mengingkarinya. Maka Ibnu ‘Abbas berkata, “Seakan kalian mengingkari masalah ini. Sesungguhnya hal yang demikian ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku, yakni Nabi s.a.w.. Dan sesungguhnya itu merupakan keringanan (‘azimah) dan aku enggan untuk mengungkapkannya kepada kalian.” Dan dari Hammad dari ‘Ashim dari ‘Abdullah bin Al Harits dari Ibnu ‘Abbas seperti itu. Hanya saja ia menambahkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Aku tidak mau untuk membuat kalian berdosa, kalian mendatangi shalat sementara lutut kaki kalian penuh dengan lumpur.” (H.R. Bukhari No. 628)

Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Isma’il berkata, telah mengabarkan kepadaku ‘Abdul Hamid sahabatnya Az Ziyadi, berkata; telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al Harits anak pamannya Muhammad bin Sirin, Ibnu ‘Abbas berkata kepada Mu’adzinnya saat hari turun hujan, “Jika kamu sudah mengucapkan ‘ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAH’, janganlah kamu sambung dengan HAYYA ‘ALASHSHALAAH (Marilah mendirikan shalat) ‘. Tapi serukanlah, ‘SHALLUU FII BUYUUTIKUM (Shalatlah di tempat tinggal masing-masing) ‘.” Lalu orang-orang seakan mengingkarinya. Maka Ibnu ‘Abbas pun berkata, “Sesungguhnya hal yang demikian ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku. Sesungguhnya shalat Jum’at adalah kewajiban dan aku tidak suka untuk mengeluarkan kalian, sehingga kalian berjalan di tanah yang penuh dengan air dan lumpur.” (H.R. Bukhari No. 850)

Lafadz adzan seperti ini pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. namun mungkin banyak orang tidak mengetahuinya sehingga hal ini dianggap sebagai bid’ah

10. Doa Buka Puasa Karangan Abdullah bin Amru Al Ash r.a.

Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar berkata, telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata, telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ubaidullah Al Madini ia berkata; aku mendengar Abdullah bin Abu Mulaikah berkata; aku mendengar Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash ia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sungguh orang yang berpuasa mempunyai do`a yang dikabulkan dan tidak akan ditolak tatkala berbuka puasa. ” Ibnu Abu Mulaikah berkata, “Aku mendengar Abdullah bin Amru berdo`a saat berbuka puasa, “ALLAHUMMA INNI AS`ALUKA BIRAHMATIKAL LATII WASI’AT KULLA SYAI’IN AN TAGHFIRA LII (Ya Allah, sesungguhnya aku meminta-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi setiap sesuatu, agar Engkau mengampuniku). ” (H.R. Ibnu Majah No. 1743) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini dla’if. Namun banyak ahli hadits lain menshahihkan hadits ini. Hisyam bin Ammar dinyatakan shaduuq (jujur) oleh Ibnu Hajar Asqolani dan Daruquthni. Bahkan Yahya bin Ma’in yang terkenal ketat dalam penilaian rawi mengatakan ia tsiqoh. Al Walid bin Muslim dinyatakan shahih oleh Ibnu Hajar Asqolani dan Abu Hatim. Ishaq bin Ubaidillah dinyatakan maqbul oleh Ibnu Hajar Asqolani. Abdullah bin Ubaidillah bin Mulaikah dinyatakan tsiqoh faqih oleh Ibnu Hajar Asqolani

11. Muawiyah r.a. Shalat Witir Selalu Hanya Satu Rakaat

Telah bercerita kepada kami Ibnu Abu Maryam telah bercerita kepada kami Nafi’ bin ‘Umar telah bercerita kepadaku Ibnu Abu Mulaikah; “Pernah ditanyaan kepada Ibnu ‘Abbas, apakah anda punya pendapat tentang amirul mu’minin, Mu’awiyah, yang tidak shalat witir kecuali satu raka’at?”. Ibnu ‘Abbas menjawab; “Dia benar, karena dia seorang yang faqih (faham agama) “.

(H.R. Bukhari No. 3481)

Lihatlah bagaimana Ibnu Abbas r.a. ber-husnudzhon dan mengatakan bahwa shahabat Nabi s.a.w. Mu’awiyah adalah orang yang faham agama walaupun ia melakukan shalat witir mengkhususkan diri hanya 1 rakaat. Orang jaman sekarang mungkin berpendapat Mu’awiyah melakukan bid’ah karena Rasulullah s.a.w. tidak pernah mengkhususkan diri shalat witir selalu hanya 1 rakaat.

12. Khalid bin Walid r.a. Menolak Memberikan Harta Salab

Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa orang yang membunuh musuh dan memiliki saksi atau bukti bahwa dialah yang membunuhnya maka ia berhak atas harta yang melekat pada musuh tersebut. Hal ini disebut sebagai salab.

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah Al Qa’nabi, dari Malik dari Yahya bin Sa’id dari Umar bin Katsir bin Aflah, dari Abu Muhammad, mantan budak Abu Qatadah, dari Abu Qatadah, ia berkata : “Beliau s.a.w. mengatakan: “Barangsiapa yang membunuh seseorang dengan memiliki bukti maka baginya salabnya (segala yang melekat pada tubuhnya).” Abu Qatadah berkata; lalu aku berdiri kemudian aku katakan; siapakah yang memberikan persaksian untukku? Kemudian aku duduk, lalu beliau mengatakan hal tersebut yang kedua kalinya: “Barangsiapa yang membunuh seseorang dengan memiliki bukti, maka baginya salabnya (segala yang melekat pada tubuhnya).”  (H.R. Abu Daud No. 2342)

Nabi s.a.w. bersabda : barang siapa membunuh orang kafir dalam peperangan maka harta yang dibawa atau dipakai oleh orang kafie tersebut adalah haknya (H.R. Muslim Juz III Hal. 1371)

Namun dalam sebuah kasus Khalid bin Walid menganggap harta salab itu terlalu banyak dan menyita sebagian harta itu. Orang-orang memprotes tindakan Khalid bin Walid dan menganggapnya menyalahi sabda Rasulullah s.a.w. hingga akhirnya hal ini diadukan ke Rasulullah s.a.w. Pada awalnya Rasulullah s.a.w. memerintahkan Khalid mengembalikan harta salab itu namun akhirnya Rasulullah s.a.w. mendiamkan hal ini dan menganggap hal ini sebagai masalah yang masih keruh (khilafiyah) dan adalah hak seorang pemimpin untuk berijtihad sesuai situasi dan kondisi.

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim, ia berkata; telah menceritakan kepadaku Shafwan bin ‘Amr dari Abdurrahman bin Jubair bin Nufair, dari ayahnya dari ‘Auf bin Malik Al Asyja’i, ia berkata : “Aku keluar bersama Zaid bin Haritsah pada perang Mu’tah. Kemudian aku disertai bala bantuan dari penduduk Yaman dengan hanya membawa pedangnya. Kemudian salah seorang muslim menyembelih unta dan seorang bala bantuan meminta kulit unta tersebut, kemudian ia memberikan kepadanya. Lalu orang-orang tersebut menjadikannya seperti tameng. Dan kami berjalan dan bertemu dengan orang-orang Romawi, dan diantara mereka terdapat seorang laki-laki yang menunggang kuda berwarna blonde padanya terdapat pelana emas serta senjata yang dilapisi emas. Kemudian orang Romawi tersebut menyerang muslimin dengan tiba-tiba. Kemudian seorang bala bantuan tersebut menunggunya di balik batu besar, kemudian orang Romawi tersebut lewat, lalu orang bala bantuan tersebut memotong kaki kudanya, maka orang Romawi tersebut terjatuh dan salah seorang bala bantuan tersebut membunuhnya dan mengumpulkan kuda serta senjatanya. Kemudian tatkala Allah ‘azza wajalla memenangkan untuk orang-orang muslim, khalid bin Al Walid mengirim utusan kepadanya dan mengambil sebagian dari salab tersebut. ‘Auf berkata; kemudian aku mendatangi Khalid dan berkata; wahai Khalid, bukanlah engkau telah mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w. memutuskan bahwa salab adalah untuk orang yang yang membunuh? Ia berkata; benar. Akan tetapi aku menganggapnya terlalu banyak. Maka aku katakan; sungguh engkau kembalikan kepadanya aku akan memberitahukanmu di hadapan Rasulullah s.a.w.. Kemudian ia enggan untuk mengembalikannya. ‘Auf berkata; kemudian kami berkumpul di sisi Rasulullah s.a.w., lalu aku ceritakan kisah orang bantuan tersebut kepada beliau dan apa yang dilakukan Khalid. Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata: “Wahai Khalid apa yang mendorongmu untuk melakukan apa yang telah engkau perbuat?” ia berkata; wahai Rasulullah, sungguh aku menganggapnya sudah terlalu banyak. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: “Wahai Khalid, kembalikan kepadanya apa yang telah engkau ambil!” Lalu aku katakan kepadanya; sebentar wahai Khalid, bukankah aku telah memenuhi janjiku kepadamu? Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata; apakah itu? Kemudian aku beritahukan kepada beliau. Kemudian Rasulullah s.a.w. marah dan berkata: “Wahai Khalid, jangan engkau kembalikan kepadanya! Apakah kalian akan meninggalkan para pemimpinku? Kalian mendapatkan urusan mereka yang telah bersih dan bagi mereka urusan yang masih keruh.” (H.R. Abu Daud No. 2344) Hadits ini dinyatakan shahih oleh Nashiruddin Al-Albani

Bersambug Jilid 11…

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 9)

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 9)

Oleh : Abu Akmal Mubarok

 Image

 

PENETAPAN TARAWIH BERJAMAAH OLEH UMAR BIN KHATTAB R.A.

Ada yang mengatakan bahwa perkataan Umar r.a. “hadza ni’matil bid’ah” disalah pahami  dan sesungguhnya yang dimaksud Umar r.a. adalah bid’ah secara bahasa, sedangkan secara makna istilah bukan bid’ah. Lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa shalat taraweh berjamaah masih memiliki landasan syar’i karena Rasulullah s.a.w.  bukannya tidak pernah shalat berjamaah, melainkan beliau hanya tiga kali saja shalat berjamaah selebihnya sengaja shalat di rumah karena khawatir dianggap wajib oleh umatnya.

tatkala malam kelima (yaitu malam ke dua puluh lima dari awal Ramadhan) beliau melakukan shalat malam bersama kami (berjamaah) hingga berlalu setengah malam terakhir (H.R. Ad-Darimi No. 1712)

Bahkan Abu Hurairah r.a. mengatakan ia tidak pernah melihat Rasulullah s.a.w. shalat berjamaah :

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Umar telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah s.a.w. tidak pernah shalat tarawih bersama orang-orang (berjama’ah).” (H.R. Ahmad No. 7542)

Lalu bukankah orang orang yang bersemangat itu mengatakan bahwa “merutinkan sesuatu yang tak ada petunjuknya dari  Rasulullah s.a.w. adalah bid’ah?” Mengapa mereka tidak konsisten dengan rumusan mereka sendiri?

Ada sebagian orang yang dalam rangka bersikukuh menolak adanya bid’ah hasanah dengan mengatakan bahwa perkataan umar “hadza ni’matil bid’ah” (ini sebaik-baik bid’ah) adalah bid’ah secara bahasa karena hal ini bersifat baru (muhdats) karena belum pernah dilakukan sebelumnya pada masa Rasulullah s.a.w.namun apa yang dilakukan Umar r.a. masih ada landasannya dalam syari’at.

Memang benar Rasulullah s.a.w. bukannya sama sekali tidak pernah melakukan taraweh berjamah bahkan Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa hal itu lebih utama

Beliau bersabda : ‘Jika seseorang shalat bersama imam (berarti berjamaah) hingga usai, maka Allah menuliskan baginya pahala menegakkan shalat malam’. Kemudian beliau tidak bangun (guna shalat malam) bersama kami. (H.R. Nasa’i No. 1242)

Namun kenyataannya setelah mengatakan hal itu, Rasulullah s.a.w. hanya melakukan sekitar 3 malam dan selebihnya beliau melakukan sendiri di dalam rumah agar orang tidak mengira bahwa hal ini diwajibkan. Tapi tetap saja mengapa Umar bin Khattab r.a. berani merutinkan sebulan penuh, yang justru Rasulullah s.a.w. sengaja tidak merutinkannya?

Mereka menjawab lagi bahwa karena setelah orang-orang semua paham bahwa hal ini tidak wajib dan tak timbul lagi kekhawatiran akan dianggap wajib oleh orang-orang, maka hal ini tidak mengapa dirutinkan.

Dan dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata; “Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob r.a. pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: “Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik”. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini ”. (Atsar .R. Bukhari 1871)

Maka kalau pun benar bahwa Umar r.a. merutinkan hal ini karena ‘tidak ada kekhwatiran orang menganggap wajib” maka ini menunjukkan dibolehkannya kaidah taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminati wa al-amkan (perubahan hukum dimungkinkan seiring dengan perubahan tempat dan waktu), artinya berbeda situasi dan kondisi membolehkan kita melakukan sesuatu yang berbeda dengan dalil (atau istilahnya menyelisihi dalil).

Namun sebenarnya jika kita merujuk pada apa yang dikatakan Umar r.a. sendiri, ia tidak mengatakan bahwa sebab diberlakukannya berjamaah dalam taraweh itu karena tidak khawatir lagi dianggap wajib. Tidak. Umar r.a. tidak pernah mengatakan begitu. Yang ada adalah umar mengatakan :

Maka ‘Umar berkata: “Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik”. (H.R. Bukhari 1871)

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah bin Az Zubair dari Abdurrahman bin Abdul Al-Qari dia berkata : “Umar berkata, “Demi Allah, sesungguhnya saya berpendapat, jika saya kumpulkan mereka dengan satu Qari’, niscaya akan lebih baik.” Muwatha’ Malik No. 231)

Perhatikanlah Umar mengatakan ‘illat atau sebab diberlakukannya sebuah fatwa untuk membuat taraweh berjamaah adalah karena dipandang “hal itu lebih baik”. Maka wajar dari sinilah Imam Syafi’i, Ibnu Hajar Asqolani dan ulama lainnya mengatakan adanya bid’ah mahmudah (terpuji).  Dan mereka bukanlah orang yang tidak paham agama. Nashiruddin Al-Albani pun mengatakan : siapapun yang ingin meminum samudera Hadits Bukhari tak bisa lepas dari kitab “Fathul Bari” syarah (penjelas) Hadits Bukhari yang terbaik  sepanjang sejarah, yang disusun oleh Ibnu Hajar Asqolani.

Perbincangan Taraweh 23 Rakaat Oleh Umar bin Khattab r.a.

Baiklah jika masalah berjamaah atau tidak berjamaah itu bukanlah sesuatu yang prinsipil karena Rasulullah s.a.w pun pernah melakukannya, namun tidak hanya itu, Umar bin Khattab r.a.menambahkan rakaatnya menjadi 23 rakaat.

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Yazid bin Ruman dia berkata; “Para sahabat pada masa Umar bin Khatthab mengerjakan shalat malam dua puluh tiga rakaat.” (Atsar .R. Imam Malik dalam Muwatha’ Hadits No. 233)

Padahal Aisyah jelas-jelas bersaksi bahwa tidak pernah sekalipun Rasulullah s.a.w. melakukan shalat malam lebih dari 11 rakaat baik pada ramadhan maupun pada bulan-bulan lainnya.

Maka ‘Aisyah r.ah  menjawab: “Tidaklah Rasulullah s.a.w. (melaksanakan shalat malam) di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan lainnya lebih dari sebelas raka’at ( H.R. Bukhari No. 1874, No. 1079 dan Muslim No. 1219, Nasa’i No. 1679, Abu Daud No. 1143)

Ada yang mengatakan bahwa selalu 11 rakaat yang Rasulullah s.a.w lakukan itu adalah di luar bulan Ramadhan sedangkan pada bulan Ramadhan boleh dilebihkan karena keutamaan bulan Ramadhan. Apa dasarnya pendapat ini?

Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, dari Malik bin Anas, dari Sa’id Al-Maqbury, dari Abu Salamah bin Abdurrohman, dia berkata; saya bertanya kepada Aisyah, saya mengatakan; bagaimana (shalat malam) Rasulullah s.a.w. pada bulan Ramadhan? Aisyah menjawab : “Shalat (malam) Rasulullah pada bulan Ramadhan dan selain bulan Ramadhan adalah sama, Beliau shalat sebelas rakaat (H.R. Ahmad No. 23589)

Perhatikanlah bahwa “Shalat (malam) Rasulullah pada bulan Ramadhan dan selain bulan Ramadhan adalah sama” Tidak ada perkataan Rasulullah s.a.w. yang menyatakan “silakan melebihkan jika kamu mau” yang ada adalah Rasulullah s.a.w. melebihkan bacaan surah Al-Qur’an pada shalat qiyam ramadhan bahkan saking panjangnya, sampai menjelang fajar.

Ketika bulan (Ramadhan) tinggal tiga hari lagi, beliau bangun untuk shalat malam bersama kami, lalu mengumpulkan keluarga dan para istrinya hingga kami khawatir kehilangan Al Falah ini.” Aku lalu bertanya; “Apakah (Al Falah) itu?” Ia menjawab; “Waktu sahur“. (H.R. Nasa’i No. 1587 dan No. 1347) Al-Albani mengatakan hadits ini shahih

Maka pada mulanya hal inilah yang diperintahkan Umar r.a. untuk melakukannya yaitu shalat taraweh berjamaah 11 rakaat saja namun dengan surat yang sangat panjang hingga pelaksanaan taraweh itu mendekati subuh. Hal ini karena keinginan untuk meniru se-asli mungkin sesuai apa yang dilakukan Rasulullah s.a.w

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin Yusuf dari As-Sa`ib bin Yazid dia berkata, ” Umar bin Khatthab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami orang-orang, dengan sebelas rakaat.” As Sa`ib berkata; “Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar.” (Atsar R. Imam Malik dalam Muwatha’ No. 232)

Namun sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas orang tidak sanggup mengikuti pembacaan sampai 200 an ayat. Sehingga sebagian orang sampai bersandar di tongkat. Maka untuk itulah selanjutnya Umar r.a. mengambil inisiatif mengubah kaifiyat (perincian teknis) ibadah menjadi bacaan surat yang pendek saja namun agar mendekati kualitas taraweh Rasulullah s.a.w. dan karena keutamaan bulan Ramadhan itu sendiri maka diperbanyaklah menjadi 23 rakaat.

Namun sebagian ulama (misalnya syaikh Utsaimin) menyatakan bahwa mengubah kaifiyat ibadah yang telah dicontohkan Rasulullah s.a.w. itu merupakan tindakan bid’ah karena menyelisihi sunnah. Jika demikian, bukankah Umar r.a. telah berani mengubah kaifiyat ibadah mahdhoh dimana Aisyah r.ah mengatakan Nabi s.a.w. tidak pernah shalat malam lebih dari 11 rakaat? Apakah Umar r.a. melakukan bid’ah?

Lalu seorang ustadz yang lain dari Indonesia  dalam sebuah ceramah nya mengatakan justru hadits Umar r.a. memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk mengimami orang sebelas rakaat ini yang betul. Sedangkan hadits yang 23 rakaat itu hanyalah perkataan dari Yazid bin Ruman. Yang betul adalah dua-duanya adalah atsar (perkataan sahabat) dimana yang 23 rakaat adalah perkataan Yazid bin Ruman dan yang 11 rakaat adalah perkataan Sa’ib bin Yazid.

Justru Atsar dari Sa’ib bin Yazid ini lah yang menceritakan bahwa orang-orang berat mengikuti kaifiyat asli shalat tarawih sebagaimana dilakukan Rasulullah s.a.w. yaitu  Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Sehingga menyebabkan Umar bin Khattab r.a. mengubah  kaifiyat ibadah tarawih menjadi 23 rakaat.

Bersambung Jilid 10…

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 8)

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 8)

 Oleh : Abu Akmal Mubarok

 Image

Pendapat Khulafa’  Ar-Rasyidin Adalah Termasuk Yang Dimaksud “Ada Landasannya Dalam Syari’at”

Dalam sebuah hadits Rasulullah s.a.w. menyampaikan bahwa Khulafa’  Ar-Rasyidin  adalah termasuk sebagai pegangan pokok dalam agama, yaitu setelah Al-Qur’an dan Hadits. Yang dimaksud Khulafa’  Ar-Rasyidin  adalah Abu Bakar r.a., Umar bin Khattab r.a., Utsman bin Affan r.a. dan Ali bin Abi Thalib r.a.

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr telah menceritakan kepada kami Baqiyyah bin al Walid dari Bahir bin Sa’d dari Khalid bin Ma’dan dari Abdurrahman bin Amru as Sulami dari al ‘Irbadh bin Sariyah dia berkata : “Suatu hari Rasulullah s.a.w.  memberi wejangan kepada kami setelah shalat subuh wejangan yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata mengalir dan hati menjadi gemetar. Maka seorang sahabat berkata; ‘seakan-akan ini merupakan wejangan perpisahan, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami ya Rasulullah? ‘ Rasulullah s.a.w.  bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk (selalu) bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta’at meskipun terhadap seorang budak habasyi, sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka jauhilah oleh kalian perkara baru dalam urusanku (muhdatsati umuri), karena sesungguhnya hal itu merupakan kesesatan. Barangsiapa diantara kalian yang menjumpai hal itu hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’  Ar-Rasyidin  yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R. Tirmidzi No. 2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No 16522)

Abu Isa (Tirmidzi) berkata; hadits ini adalah hadits hasan shahih. Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih

Telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Ashim telah mengabarkan kepada kami Tsaur bin Yazid telah menceritakan kepadaku Khalid bin Ma’dan dari Abdur Rahman bin ‘Amr dari ‘Irbadl bin Sariah ia berkata; ” Rasulullah s.a.w.  shalat subuh bersama kami, kemudian beliau memberikan wejangan : Barang siapa diantara kalian yang hidup setelahku niscaya ia melihat perbedaan yang banyak, maka kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin yang lurus, gigitlah dengan gigi geraham kalian (peganglah dengan teguh), berhati-hatilah dengan muhdats (sesuatu yang baru ), karena kulla muhdats (segala sesuatu yang baru ) itu bid`ah”. (H.R. Ad-Darimi No. 95) Husain Assad Salim Ad-Daroni mengatakan sanadnya shahih.

Maka takhshish yang ke-4 yang menyatakan bahwa yang dimaksud bid’ah yang benar benar bid’ah ialah yagn dlolalah yaitu yang tidak ada landasannyad alam syari’at, namun perlu dipahami bahwa perkataan dan pendapat serta ijtihad Khulafa’  Ar-Rasyidin merupakan salah satu landasan syari’at.

Maka amalan apapun yang dilandasi  perkataan dan pendapat serta ijtihad Khulafa’  Ar-Rasyidin bukanlah bid’ah yang dlolalah (sesat). Seandainya apa yang dilakukan Khulafa’  Ar-Rasyidin  itu tidak ada landasannya pada Al-Qur’an dan Hadits, dan belum pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. maka hal itu adalah bid’ah hasanah.

Sekali lagi kami tegaskan di sini bahwa apabila ada pendapat atau keputusan Khulafa’  Ar-Rasyidin yang nampak seolah  menyelisihi syari’at atau suatu perkara baru yang belum pernah dilakukan Rasulullah s.a.w., maka hal itu bukanlah termasuk bid’ah yang dlolalah, karena mereka telah mendapat legitimasi (pengesahan) dari Rasulullah s.a.w. untuk boleh memutuskan hukum, dan menetapkan syariat, sebagaimana sabda beliau hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’  Ar-Rasyidin  (Khalifah yang mendapat petunjuk),, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R. Tirmidzi No. 2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No 16522) atau kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin (H.R. Darimi No. 95)

Lalu orang bertanya : “Memangnya ada pendapat dan perkataan Khulafa’  Ar-Rasyidin  yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.  sebelumnya ? Memangnya ada pendapat dan perkataan Khulafa’  Ar-Rasyidin  tidak ada contonya daro Rasulullah s.a.w.  sebelumnya ? Jawabnya : Ada dan banyak.

Contohnya sebagai berikut :

1.       Shalat Tarawih Berjamaah Sebulan Penuh Pada Bulan Ramadhan Oleh Umar bin Khattab r.a.

Dan dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata; “Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob r.a. pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: “Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik”. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (ni’matil bid’ah hadzihi). Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam, yang ia maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada awal malam”. (Atsar .R. Bukhari 1871, Muslim No. 1271 dan Imam Malik dalam Muwatha No. 231 )

Walaupun pada Atsar di atas dikatakan bahwa hal ini merupakan ijtihad Umar bin Khatab r.a. namun beberapa riwayat menyatakan bahwa hal ini telah berlangsung sejak jaman Kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.  Ibnu Syihab berkata : Setelah Rasulullah s.a.w. wafat, namun orang-orang terus melestarikan tradisi menegakkan malam Ramadhan (secara bersama berjamaah), keadaan tersebut terus berlanjut hingga zaman kekhalifahan Abu Bakar dan kekhilafahan ‘Umar bin Al Khaththob r.a.

Jika kita menggunakan tahapan takhshish dari makna bid’ah maka kita bisa mengujinya dengan pertanyaan : Apakah hal ini termasuk perkara agama? Jawabnya : Jelas, shalat tarawih merupakan perkara agama. Apakah hal ini menyerupai syari’at? Jawabnya : bukan hanya menyerupai memang hal ini adalah syari’at. Apakah hal ini merupakan perkara baru (muhdats) yang belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah s.a.w.? : Ya, karena walaupuan Rasulullah s.a.w. pernah keluar shalat tarawih berjamaah namun hanya melakukan maksimal 3 malam saja dan belum pernah Rasululullah keluar shalat tarawih berjamaah selama sebulan penuh. Apakah hal ini ada landasannya dalam syari’at? Jawabnya : tergantung apa yang Anda maksud ada landasannya. Yang jelas Rasulullah s.a.w. pernah keluar shalat tarawih berjamaah, artinya hal ini tidak terlarang dan hal ini merupakan dalil untuk dibolehkannya shalat tarawih berjamaah. Namun dari segi terus menerus dilaksanakannya selama sebulan penuh, Rasulullah s.a.w. sama sekali belum pernah melakukannya.

Sebagian kalangan yang ngotot dengan keumuman makna bid’ah dan menolak adanya bid’ah hasanah mengatakan bahwa terjadi salah paham pada perkataan ni’matil bid’ah hadzihi oleh Umar bin Khattab r.a. bahwa maksud bid’ah di sini adalah secara bahasa (artinya baru) karena hal itu memang baru dan belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah s.a.w. namun hal itu bukanlah bid’ah karena masih ada landasannya dalam syari’at.

Kalaupun itu bid’ah maka perhatikan sabda Rasulullah s.a.w. berikut ini :

“Karena orang-orang yang hidup sesudahku akan melihat berbagai perselisihan, hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnah Khulafa’  Ar-Rasyidin  yang diberi petunjuk (Alloh). Peganglah kuat-kuat sunnah itu dengan gigi geraham dan jauhilah ajaran-ajaran yang baru (dalam agama) karena semua bid’ah adalah sesat.” (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih”)

Maka lihatlah bahwa ini adalah sunnah Khulafa’  Ar-Rasyidin , tidak mungkin mereka tidak paham agama dan melakukan bida’ah. Jadi sesungguhnya antara kita dan dia tak ada perbedaan dalam hal ini. Karena pembagian adanya bid’ah hasanah adalah pada tahapan takhshish yang ke-3 yaitu perkara yang tak ada contohnya pada masa Rasulullah s.a.w. , namun adal dalilnya yaitu ijtihad Khulafa’  Ar-Rasyidin  karena apa yang mereka lakukan adalah termasuk pada sunnah sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. di atas. Sehingga pembahasan masalah ini tidak termasuk pada takhshish yang ke-4 yaitu yang tak ada dalilnya dari syari’at.

2.       Shalat Tarawih Berjamaah 23 Rakaat Oleh Umar bin Khattab r.a.

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Yazid bin Ruman dia berkata; “Para sahabat pada masa Umar bin Khatthab mengerjakan shalat malam dua puluh tiga rakaat.” (Atsar .R. Imam Malik dalam Muwatha’ Hadits No. 233)

Sebagaimana kita ketahui bahwa Rasulullah s.a.w. tidak pernah melakukan lebih dari 11 rakaat.

Mengapa orang-orang menambahkan sampai 23 rakaat? Karena mereka berkehendak menambah ibadah sebanyak-banyaknya pada bulan Ramadhan. Dan selain itu dahulu Rasulullah s.a.w. melaksanakan shalat tarawih itu sampai 1/3 malam lewat artinya sampai sekitar jam 10 atau 11 malam.

Telah menceritakan kepada kami Zakariya bin ‘Adi telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai’ dari Daud bin Abu Hindun dari Al Walid bin Abdurrahman dari Jubair bin Nufair dari Abu Dzar, ia berkata; “Kami pernah berpuasa bersama Rasulullah s.a.w. pada bulan Ramadhan namun beliau tidak melakukan shalat malam bersama kami pada bulan tersebut hingga tinggal tujuh hari. Abu Dzar melanjutkan; “Kemudian beliau melakukan shalat malam bersama kami sampai berlalu sepertiga malam.”

Sebetulnya hal ini karena panjangnya surat yang dibaca Rasulullah. Bahkan dalam beberapa riwayat shalat tarawih ini dilaksanakan sampai menjelang fajar subuh.

Ketika bulan (Ramadhan) tinggal tiga hari lagi, beliau bangun untuk shalat malam bersama kami, lalu mengumpulkan keluarga dan para istrinya hingga kami khawatir kehilangan Al Falah ini.” Aku lalu bertanya; “Apakah (Al Falah) itu?” Ia menjawab; “Waktu sahur“. (H.R. Nasa’i No. 1587 dan No. 1347) Al-Albani mengatakan hadits ini shahih

Pada mulanya Umar bin Khattab r.a. mengambil bentuk generik (murni asli) sebagaimana shalat tarawihnya Rasulullah s.a.w. namun orang-orang mengeluh dan tidak tahan.

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin Yusuf dari As-Sa`ib bin Yazid dia berkata, “Umar bin Khatthab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami orang-orang, dengan sebelas rakaat.” As Sa`ib berkata; “Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar.” (Atsar R. Imam Malik dalam Muwatha’ Atsar No. 232)

Maka akhirnya Umar bin Khattab r.a. berijtihad menambahkan rakaat shalat tarawih hingga 23 rakaat karena hendak mengejar atau menyamai keutamaan shalat qiyam ramadhannya di masa Rasulullah s.a.w.

Jika kita analisa : Apakah hal ini termasuk perkara agama? Jawabnya : Ya. Apakah hal ini belum pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah s.a.w. Jawabnya : Ya. Lalu apakah hal ini tidak ada dasarnya pada Al-Qur’an dan Sunnah ? Jawabnya : Ya. Lalu apakah ini bid’ah dlolalah? Jawabnya : Tidak. Jika ini adalah bid’ah, maka ini adalah bid’ah hasanah. Karena  ijtihad sahabat terlebih yang termasuk Khulafa’  Ar-Rasyidin tidak bisa dianggap sebagai bid’ah walaupun ia menyelisihi nash, karena beliau mungkin memiliki alasan lain yang kita tidak paham

Umar bin Khattab r.a. termasuk Khulafa’  Ar-Rasyidin dan Rasulullah s.a.w. telah bersabda berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’  Ar-Rasyidin  (Khalifah yang mendapat petunjuk), gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R. Tirmidzi No. 2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No 16522) atau kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin (H.R. Darimi No. 95). Bagaimana mungkin yang dijamin mendapat petunjuk melakukan bid’ah dlolalah? Ilmu beliau yang berguru langsung dan berjihad bersama Rasulullah s.a.w. jauh di atas generasi berikutnya.

3.       Penetapan Diyat Jari Yang Berbeda oleh Umar bin Khattab r.a.

Dalam hukum pidana Islam dikenal adanya hukum qishash yaitu orang yang membunuh tanpa haq dikenai hukuman bunuh pula (kecuali pihak keluarga terbunuh memaafkan dan bersedia diberi kompensasi dengan uang yang disebut diyat).  Hal ini berdasarkan firman Allah :

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnyabahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Maidah [5]:45)

Namun para sahabat berbeda pendapat ketika memutuskan hukum diyat (ganti rugi) terhadap terpotongnya jari-jari apakah jika denda untuk terpotongnya jari kelingking dan jempol sama? Apakah tangan kanan dan kiri sama? Bukankah tangan kanan lebih penting dipakai bekerja?

Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Ini dan ini adalah sama, yakni jari kelingking dan ibu jari.” (H.R. Tirmidzi No. 1312, Ibnu Majah No. 2642, Ad-Darimi No. 2264) Abu Isa berkata  hadits ini hasan shahih, Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih.

Dari Masruq bin Aus dari Abu Musa Al Asy’ari, dari s.a.w. bersabda: “Semua jari hukumnya sama.” (H.R. Ibnu Majah No. 2644) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih.

Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda tentang diyat jari-jari kedua tangan dan kaki: “Diyatnya sama yaitu sebesar sepuluh ekor unta pada setiap jari.” (H.R. Tirmidzi No, 1311) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih. Abu Isa (Tirmidzi) berkata hadits dari Ibnu Abbas ini adalah hadits hasan shahih, gharib.

Maka pendapat Rasulullah ini diikuti oleh Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Musayyab,  Sufyan Ats-Tsauri, Imam Syafi’i, Imam Ahmad ,Ibnu Ishaq dll dimana diyat 10 unta untuk 1 jari, 20 unta untuk 2 jari, 30 unta untuk 3 jari dst. Namun suatu ketika Umar bin Khattab r.a. membedakan diyat antara satu jari dengan jari lainnya, untu jari tengah 10 unta untuk jari manis 9 unta dan jari kelingking hanya 6 unta. Demikian pula Muhahid menetapkan 15  unta untuk diyat terpotongnya Ibu Jari. (Ibnu Rusydi,  Bidayatul Mujtahid Bab Ad-Diyat , Juz III hal 594)

Contoh di atas merupakan Ijtihad para sahabat yang menyelisihi nash dalil yang jelas dari Rasulullah s.a.w. Namun ijtihad sahabat terlebih yang termasuk Khulafa’  Ar-Rasyidin tidak bisa dianggap sebagai bid’ah walaupun ia menyelisihi nash, karena beliau mungkin memiliki alasan lain yang kita tidak paham dan ilmu beliau jauh berada di atas generasi berikutnya. Selain itu karena Rasulullah s.a.w. terlah bersabda bahwa hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’  Ar-Rasyidin  (Khalifah yang mendapat petunjuk), gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R. Tirmidzi No. 2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No 16522) atau kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin (H.R. Darimi No. 95)

4.       Meng-qadha Puasa Ramadhan Yang Batal Karena Mendung

Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Zaid bin Aslam dari saudaranya Khalid bin Aslam bahwa “Umar bin al Khatthab suatu hari pernah berbuka di bulan Ramadan saat hari mendung. Dia mengira hari sudah sore serta matahari telah tenggelam. Lalu ada seseorang yang datang kepadanya dan berkata; “Wahai Amirul Mukminin, matahari masih bersinar! ” ‘Umar berkata; “Masalah mudah. Kami (Umar) telah berijtihad.” Malik berkata, “Maksud dari perkataan Umar menurut kami adalah qadla. Sebab untuk memenuhinya tidak sulit karena adanya kesempatan. Umar juga berkata, “Kami berpuasa sehari menggantikannya.” (Atsar R. Imam Malik dalam Muwatha’ No. 592)

Hal ini adalah ijtihad Umar r.a. Padahal Rasulullah s.a.w. pernah memberi petunjuk :

Telah menceritakan kepadaku Amru bin Muhamamd Naqid telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim dari Hisyam Al Qurdusi dari Muhamamd bin Sirin dari Abu Hurairah r.a., ia berkata; Rasulullah s.a.w.  bersabda: “Siapa yang makan dan minum karena lupa, sedangkan ia puasa, maka hendaklah diteruskannya puasanya itu, karena Allah telah memberinya makan dan minum.” (H.R. Muslim No. 1952, Ahmad No. 10251, Ad-Darimi  No. 1663 )

Namun Umar bin Khattab r.a. menyelisihi petunjuk Rasulullah s.a.w. dan lebih memilih untuk tetap berbuka / membatalklan puasanya dan menqadha puasanya di hari yang lain. Jika kita analisa : Apakah hal ini termasuk perkara agama? Jawabnya : Ya. Apakah hal ini belum pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah s.a.w. Jawabnya : Ya. Lalu apakah hal ini tidak ada dasarnya pada Al-Qur’an dan Sunnah ? Jawabnya : Ya. Lalu apakah ini bid’ah dlolalah? Jawabnya : Tidak. Jika ini adalah bid’ah maka ini adalah bid’ah hasanah karena Umar bin Khattab r.a. termasuk Khulafa’  Ar-Rasyidin dan Rasulullah s.a.w. telah bersabda berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’  Ar-Rasyidin  (Khalifah yang mendapat petunjuk), gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R. Tirmidzi No. 2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No 16522) atau kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin (H.R. Darimi No. 95). Bagaimana mungkin yang dijamin mendapat petunjuk melakukan bid’ah dlolalah? Ilmu beliau yang berguru langsung dan berjihad bersama Rasulullah s.a.w. jauh di atas generasi berikutnya.

 5.       Shalat Qobliyah dan Ba’diyah Pada Shalat ‘id oleh Ali bin Abi Thalib r.a.

Shalat ‘Id disunnahkan untuk dilakukan di lapangan terbuka. Jika shalat dilaksanakan di masjid ada shalat sunnah tahiyatul masjid, sedangkan jika di lapangan tidak ada shalat tahiyatul lapangan. Demikian pula tak ada contoh dari Nabi s.a.w. ada shalat sebelum (qobliyah) dan sesudah (ba’doyah) shalat ‘Id. Dan jelas hal ini adalah perkara agama yang jelas pedomannya dari Rasulullah s.a.w. namun Ali bin Abi Thalib tidak menganggap bid’ah orang yang melaksanakan shalat qobliyah dan ba’diyah shalat ‘Id.

Dari Al Walid bin Sari r.a. berkata : “Pada suatu hari raya kami keluar bersama amirul mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. Lalu beberapa orang dari sahabat beliau menanyakan tentang shalat sunnah sebelum shalat ‘Id dan sesudahnya. Tetapi beliau tidak menjawabnya. Lalu datang lagi beberapa orang yang menanyakan hal yang sama. Dan beliau pun tidak menjawabnya. Setelah kami tiba di tempat shalat, beliau menjadi imam shalat dan bertakbir tujuh kali dan lima kali kemudian diteruskan dengan khutbah. Setelah turun dari mimbar, beliau menaiki kendaraannya. Kemudian mereka bertanya : “Hai amirul mukminin mereka melakukan shalat sunnah sesudah shalat ‘Id”. Beliau menjawab : “Apa yang akan aku lakukan? Kalian bertanya kepadaku tentang sunnah, sesungguhnya Nabi s.a.w. belum pernah melakukan shalat sunnah sebelum shalat ‘Id dan sesudahnya. Tapi barang siapa mau melakukannya, lakukanlah, dan barang siapa mau meninggalkannya, tinggalkanlah. Aku tidak menghalangi kalian yag mau shalat, agar tidak termasuk orang yang melarang seorang hamba ketika ia mau mengerjakan shalat” (H.R. Al Bazzar)

Al Hafidz Haitsami juga menjelaskan bahwa shalat qobliyah dan ba’diyah shalaty ‘Id dilakukan oleh Anas bin Malik dan Hasan Al-Bashri (Haitsami dalam Majma’u Zawaid Juz 2 Hal 438).

Mengapa Ali bin Abi Thalib r.a. tidak tegas saja melarang mereka atau mengatakan bahwa hal ini sebagai bid’ah yang dlolalah? Padahal Ali bin Abi Thalib r.a. secara tegas mengatakan : “Kalian bertanya kepadaku tentang sunnah, sesungguhnya Nabi s.a.w. belum pernah melakukan shalat sunnah sebelum shalat ‘Id dan sesudahnya.” Namun Ali bin Abi Thalib menganggap ini sebagai pilihan yang boleh : “Tapi barang siapa mau melakukannya, lakukanlah, dan barang siapa mau meninggalkannya, tinggalkanlah. Aku tidak menghalangi kalian yag mau shalat, agar tidak termasuk orang yang melarang seorang hamba ketika ia mau mengerjakan shalat” Mungkin Ali bin Abi Thalib r.a. menganggap kalaupun shalat itu ternyata tidak ada dalam sunnah maka shalatitu tetap berpahala sebagai shalat sunnah mutlak karena tak ada yang sia-sia dalam jika seseorang mengerjakan shalat walaupun niatnya berebda. Walalhua’lam.

6.       Khalifah Utsman bin Afffan Tidak Mengqashar Shalat Saat Mabit di Mina

Dalam rangkaian ibadah haji dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. untuk melakukan wuquf di Arafah dan menjamak qoshor sholat dhuhur dan ashar. Lalu setelah ashar bergerak ke Mina dan menginap (mabit) di Mina. Pada saat mabit di Mina, Rasulullah s.a.w. menjamak shalat Maghrib dan Isya.

Namun Khalifah Utsman di akhir-akhir masa kekhilafahannya tidak mengqashar shalat saat mabit di Mina ketika pelaksanaan ibadah haji. Tindakan beliau ini diingkari oleh para shahabat. Meski demikian, para shahabat tetap bermakmum di belakang Khalifah Utsman. Sehingga mereka juga tidak mengqashar shalat.

Adalah Ibnu Mas’ud r.a. di antara yang mengingkari perbuatan Utsman tersebut. Suatu ketika, ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud r.a. :

Wahai Abu Abdirrahman (yaitu Ibnu Mas’ud r.a.) bagaimanakah bisa-bisanya engkau mengerjakan shalat bersama amirul mukminin Utsman tanpa qashar sedangkan Nabi, Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukannya. Beliau (Ibnu Mas’ud r.a.) mengatakan, “Menyelisihi imam shalat adalah sebuah keburukan” (Atsar Riwayat Abu Daud)”

Ketika berita ini sampai ke Abdullah bin Mas’ud perihal Utsman bin Affan melaksanakan shalat di Mina sebanyak empat rakaat ia (Abdullah bin Mas’ud) berkata : “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un aku telah shalat bersama Rasulullah s.a.w. di Mina sebanyak dua rakaat, Aku juga pernah shalat bersama Abu Bakar di Mina sebanyak dua rakaat, dan aku shalat bersama Umar bin Khattab di Mina juga dua rakaat. Alangkah indahnya jika bagianku dari empat rakaat menjadi dua rakaat yang dapat diterima” (Atsar R. Bukhari No. 1084 dan Muslim No. 695)

Maka penjelasan atas ijtihad Utsman r.a. ini adalah sebagai berikut :

Dari Ikrimah bin Ibrahim Al-Azdi dari Ibnu Abi Dzubab dari ayahnya ia berkata : “Utsman shalat bersama penduduk Mina empat rakaat lalu berkata : “Wahai manusia, ketika aku sampai di tempat ini aku telah menikah dengan penduduk Mina. Dan sungguh aku telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : Jika seseorang berkeluarga di satu negeri, maka ia menunakan shalat bersama keluarganya dengan shalat yang dilakukan oleh muqim” (H.R. Ahmad Juz I hal 62, dan Abdullah bin Az-Zubair Al Humaidi dalam Musnadnya) Baihaqi mengatakan hadits ini munqathi (terputus sampai tabi’in) karena Ikrimah bin Ibrahim di nyatakan dla’if oleh Nasa’i. Ibnu Hajas Asqolani mengatakan hadits ini tidak sah (Fathul Bari Juz II hal 664) Yahya bin Ma’in dan abu Daud berkata ia tidak ada apa-apanya. Al-Uqail berkata : dalam masalah hafalan terdapat gangguan. Ibnu Hibban mengatakan ia suka membolak balikkan hadits. (Al-Mizan No. 5708)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa  Khulafa’ur Rasyidin melakukan inovasi dan ijtihad yang belum pernah dilakukan pada masa Nabi s.a.w. yang sepintas lalu tidak ada dalilnya dalam syari’at. Maka orang yang tidak paham akan menganggap hal itu sebagai bid’ah dlolalah (sesat). Sedangkan Khulafa’ur Rasyidin bukanlah orang yang lemah iman dan tidak paham agama. Mereka adalah sebaik-baik generasi yang menimba ilmu dari mata air paling jernih yaitu Rasulullah s.a.w. Mereka (Khulafa’ur Rasyidinm dan para sahabat Nabi s.a.w. ) melakukan ijtihad dengan menggunakan salah satu kaidah ushul fiqih merupakan bagian dari syari’at itu sendiri.

 7.       Khalifah Umar Bin Khattab r.a. Mengenakan Zakat Kuda

Secara umum kita dapatkan sabda Rasulullah s.a.w. yang menyatakan tidak mengenakan zakat pada kuda dalam beberapa hadits ini :

Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Dinar berkata; Aku mendengar Sulaiman bin Yasar dari ‘Irak bin Malik dari Abu Hurairah r.a. berkata : “Nabi s.a.w. bersabda: “Tidak ada kewajiban zakat bagi seorang muslim pada kuda dan budaknya“. (H.R. Bukhari No. 1370 dan 1371)

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin ‘Ala’ dan Mahmud bin Ghailan keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Sufyan dan Syu’bah dari Abdullah bin Dinar dari Sulaiman bin Yasar dari ‘Irak bin Malik dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang muslim tidak wajib membayar zakat pada kuda tunggangan dan budaknya.”  (H.R. Tirmidzi No. 569) Hadiin

Abu ‘Isa (Tirmidzi berkata) berkata, apabila diperjualbelikan maka wajib untuk dikeluarkan zakatnya setelah satu haul (satu tahun).

Telah mengabarkan kepada kami Al Mu’alla bin Asad telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Abu Ishaq dari ‘Ashim bin Dlamrah dari Ali dan ia merafa’kannya kepada Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Aku telah memaafkan dari zakat kuda dan budak.”  (H.R. Darimi No. 1573) Husain Salim Assad Ad-Daroni mengatakan isnadnya jayyid. Hanya Ashim bin Dlamrah yang dikatakan oleh Nasa’i sebagai laisa bihi ba’s(tidak ada apa-apanya) ini adalah pernyata jarh (pendiskreditan) level 2, dan Ibnu Hajar Asqolani mengatakan shaduuq (jujur) ini adalah pernyataan tad’l (keadilan) level 4. Namun Al Ajli dan Ibnu Madini menyatakan tsiqoh (terpercaya).

Pada awalnya Umar bin Khattab r.a. menolak mengenakan zakat kuda di awal masa pemerintahannya sebagaimana kisah dalam hadits ini :

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Ibnu Syihab dari Sulaiman bin Yasar Bahwasanya penduduk Syam berkata kepada Abu Ubaidah bin Jarrah, “Ambillah zakat kuda dan budak kami! ” Tetapi Abu Ubaidah menolaknya. Setelah itu Ia menulis surat kepada kepada Umar bin Khatthab, dan ternyata Umar juga menolak. Penduduk Syam kembali menyampaikan permintaannya kepada Abu Ubaidah, hingga akhirnya Abu Ubaidah kembali menulis surat kepada Umar. Umar kemudian menulis balasan, “Jika mereka mau, maka ambillah zakat dari mereka lalu kembalikanlah kepada mereka (Atsar R. Imam Malik dalam Al-Muwatha’ No. 540)

Imam Malik berkata, “Yang dimaksud dari ucapan Umar ‘kembalikanlah kepada mereka’, adalah bahwa hasil zakat itu dikembalikan untuk diberikan kepada orang-orang fakir dari kalangan mereka.”

Namun dalam perkembangannya kuda yang semula hanya dipakai untuk berperang berubah menjadi komoditi yang diperjual belikan dengan keuntungan yang besar. Maka Umar bin Khattab r.a. berfikir ulang dan menetapkan untuk memungut zakat kuda.

Dari Ya’la bin Umayah ia berkata : “Abdurrahman (saudara Ya’la) telah membeli kuda betina seharga 100 unta jantan muda dari seorang penduduk Yaman. Si penjual merasa sedih, lalu ia mengadukan perihal tersebut kepada Umar r.a. Ia berkata : Ya’la dan saudaranya telah mengghoshob (mencuri) kudaku. Lalu Umar menulis surat kepada Ya’la yang menerangkan bahwa hak itu untukku. Maka Ya’la datang kepada Umar dan memberitahukan bahwa ia telah membelinya dari orang itu. Maka Umar bertanya : “Apakah kuda ini bisa seharga sekian??” Aku tak tahu bahwa kuda bisa sampai seharga segitu”. Kemudian Umar mengambil dari kuda kuda itu zakatnya satu dinar satu dinar”  (Atsar R. Baihaqi dan Abdurrazaq)

As-Sa’ib bin Yazid ia berkata : “Aku melihat  bapakku sedang membenahi kuda kuda dan membayar zakatnya kepada Umar bin Khattab r.a.” (Atsar R. Daruquthni dan Ath-Thahawi)

Dari Anas bin Malik r.a. “bahwa Umar bin Khattab r.a. memungut 10 dirham dari kuda dan dari kawanan kuda jantan (zakatnya) 5 dirham”. (Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla  Juz 5 hal 226)

Keputusan umar ini sepintas lalu menyelisihi dari hadits hadits Rasulullah s.a.w. dan sesuatu yang belum pernah ada contohnya pada masa Rasulullah s.a.w. Namun apa yang dilakukan Umar r.a. merupakan contoh dari kaidah taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminati wa al-amkan (perubahan hukum dimungkinkan seiring dengan perubahan tempat dan waktu). Umar r.a. melakukan qiyas (analogi atau mempersamakan) kuda dengan unta. Yaitu ketika ia mendengar bahwa kuda betina dijual setara denga harga 100 unta jantan. Sedangkan unta itu ada zakatnya. Maka Umar ber-ijtihad bahwa kalau begitu kuda juga ada zakatnya.

8.       Khalifah Umar Bin Khattab r.a. Mengenakan Zakat Progressif

Pada masa Rasulullah s.a.w. zakat diperintahkan untuk dipungut dari setiap orang yang baligh (dewasa) dan nilainya sama rata untuk semua orang yaitu 1 dinar atau senilai baju mu’afir

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad An Nufaili, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, dari Al A’masy, dari Abu Wail, dari Mu’adz, : “bahwa Nabi s.a.w. tatkala mengutusnya ke Yaman beliau memerintahkannya agar ia mengambil dari dari setiap orang yang baligh zakat satu dinar atau yang setara dengannya dari mu’afiri, yaitu pakaian yang ada di Yaman”. (H.R. Abu Daud No. 2642 Nasa’i No. 2407, Ahmad 21027)

Namun sepeninggal Rasulullah s.a.w. Islam tersebar ke Iraq, Yaman dan Syiria. Dan Umar r.a. melihat tingkatan hidup manusia sangat beragam dari yang sangat miskin sampai amat sangat kaya. Maka Umar r.a. menerapkan zakat progressif (bertingkat) yang berbeda-beda untuk tingkatan kekayaan yang berbeda. Orang kaya dikenakan pajak 48 dirham dalam satu tahun. Orang yang sedang-sedang saja kekeyaannya, dikenakan pajak 24 dirham per tahun sedangkan orang yang miskin dikenakan 12 dirham pertahun (Nailul Authar Jilid 8 Hal 217)

Dari Ibnu Abi Nujaib berkata : Saya bertanya kepada Mujahid mengapa penduduk Syiria wajib membayar empat dinar sedangkan penduduk Yaman hanya membayar dua dina saja? Mujahid menjawab kebijakan itu disesuaikan dengan kemampuan penduduk negeri itu (Nailul Authar Jilid 8 Hal 217)

Umar r.a. juga menerapkan jizyah pada kafir dzimmi dengan tarif  berbeda untuk tiap profesi yang berbeda :

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Nafi’ dari Aslam mantan budak ‘Umar bin al Khattab, bahwa Umar bin Khattab mewajibkan jizyah pada warga penghasil emas sebesar empat Dinar, dan para penghasil perak sebesar empat puluh dirham. Selain itu mereka harus memberi sedekah kepada kaum muslimin dan menjamu selama tiga hari.” (Atsar R. Imam Malik dalam Muwatha’ No. 545)

 Bersambung Jilid 9…

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 7)

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 7)

 Oleh : Abu Akmal Mubarok

PEMBAGIAN BID’AH BERDASARKAN LIMA HUKUM FIQIH

Belajar Qur'an 14

Pembagian Ulama menjadi bid’ah dua jenis saja sebagaimana diuraikan di atas yaitu :

Imam Syafi’i  membagi: bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madmumah (tercela)

Ibnu Hajar Asqolani membagi :  bid’ah hasanah dan bidh’ah mustaqbahah

Ibnu Atsir Aj-Jaziri membagi :  bid’ah huda (sesui petunjuk) dan bidh’ah dlolal (sesat)

ternyata masih dianggap belum cukup memadai karena kenyataannya bid’ah yang mahmudah (terpuji) pun ada yang merupakan keharusan (wajib) diadakan dan ada juga yang tidak harus melainkan lebih baik jika diadakan. Demikian pula bid’ah yang bid’ah madmumah (tercela) kadarnya berbeda beda ada yang haram namun ada juga yang sekadar makruh.

Untuk itulah ulama lainnya membagi bid’ah dengan pembagian yang berbeda yaitu sesuai kedudukan hukum fiqihnya sesuai kadar kebolehannya dan kadar terlarangnya.

Contohnya adalah Imam Nawawi yang mengatakan : “Para ulama berkata, bid’ah itu ada lima macam : wajib, mandub, haram, makruh dan mubah. Termasuk bid’ah yang wajib adalah menyusun dalil-dalil ulama mutakallimin untuk menolak mereka yang melakukan penyimpangan akidah dan para pelaku bid’ah serta yang seumpamanya. Termasuk bid’ah yang mandub adalah menyusun kitab-kitab ilmu, membangun madrasah, dan tempat-tempat pengajian serta yang lainnya. Termasuk ia bid’ah yang mubah adalah memperbanyak warna-warna, makanan dan lainnya. Sedangkan bid’ah yang haram dan makruh sudah jelas”. (Lihat Dalam Kitab Tahziibul Asma’ wa-Lughat)

Imam Shan’ani juga mengatakan : Ulama membagi bid’ah ke dalam lima bagian : a) bid’ah wajib, seperti memelihara ilmu-ilmu agama dengan cara membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok dengan menegakkan dalil-dalil b) bid’ah mandubah  seperti membangun berbagai madrasah, c) bid’ah mubahah seperti memakan berbagai makanan dan baju yang indah d) bid’ah muharamah (yang haram) dan e) bid’ah makruhah  sedangkan keduanya ini (muharamah dan makruhah) telah jelas contohnya. Dengan demikian bunyi hdits “sema bid’ah adalah sesat adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya (‘aam makhshush) ” (Subulus Salam Juz 2 Hal 48)

Imam Izzuddin bin Abdussalam seorang ulama mazhab Syafi’i mengatakan : “Bid’ah terbagi lima : bid’ah wajibah, bid’ah muharamah, bid’ah mandubah (bid’ah sunnat), bid’ah makruhah, dan bid’ah mubahah (bid’ah yang mubah). Jalan untuk mengetahui hal itu ialah dengan cara membandingkan bid’ah (hal baru tsb) dengan kaidah-kaidah syari’at. Apabila bid’ah (hal baru) itu masuk ke dalam kaidah wajib maka disebut bid’ah wajibah. Jika masuk kedalam kaidah haram, maka menjadi bid’ah muharamah. Apabila masuk ke dalam kaidah sunnat maka menjadi bid’ah mandubah Dan apabila masuk dalam kaidah mubah menjadi  bid’ah mubahah” (Qawa’id Al-Ahkam fii Mashalih Al-Anam juz 2 hal 172)

Lebih lanjut Imam Izzuddin bin Abdussalam memberikan contoh sebagai berikut : “Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu (jaman Nabi takada ilmu nahwu) sebagai sarana memahami Al-Qur’an dan Sunnah Rasul s.a.w. Hal ini hukumnya wajib karena menjaga syari’at itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya hal yang wajib, maka hukumnya juga wajib. Contoh kedua, adalah ilmu jarh dan ta’dil (dulu tak ada ilmu jarh wa ta’dil) untuk membedakan hadits yang shahih yang shahih dan lemah. Bid’ah muharamah memiliki banyak contoh, diantaranya bid’ah ajaran qadariyah, jahmiyah, murji’ah dan mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bid’ah jenis ini adalah hal yang wajib.

Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, diantaranya mendirikan madrasah-madrasah, jembatan-jembatan, dan setiap perbuatan yang belum pernah dikenal pada masa generasi awal, diantaranya termasuk shalat tarawih (berjamaah). Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, diantaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushaf Al-Qur’an. Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, diantaranya memakan makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran, dll.” (Qawa’id Al-Ahkam fii Mashalih Al-Anam juz 2 hal 133)

Maka perlu dipahami di sini bahwa pembagian bid’ah menjadi lima katagori sesuai dengan status hukum fiqihnya yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah adalah pada posisi pen-takhshish-an yang ketiga. Dan mereka para ulama sampai pada pen-takhshish-an yang keempat dengan menimbangnya dengan Al-Qur’an dan Sunnah sehingga akhirnya bisa menetapkannya termasuk pada bid’ah yang wajib, haram, sunnah, makruh atau mubah.

Pembagian ini menjadi lain perkaranya jika disalahpahami bahwa pembagian ini terjadi setelah menetapkan istilah bid’ah itu sebagai bid’ah yang dlolalah (sesat) tentu saja tak ada pembagian bid’ah yang wajib, haram, sunnah, makruh atau mubah setelah bid’ah yang dlolalah. Maka jika disalahpahami bahwa pembagian ini terjadi setelah takhshish yang ke-4 akan menimbulkan tuduhan bahwa para ulama itu telah menyimpang dan sesat dalam agama.

Pemilahan Bid’ah Oleh Para Ulama Berada Pada Takhshish Yang Mana?

Kita kembali pada pembahasan makna bid’ah secara istilah syari’ah dimana makna bid’ah yang semula umum, telah mengalami 4 tahap pengkhususan atau 4 tahap pembatasan makna yaitu :

Tahap 1 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah bid’ah dalam perkara agama

Tahap 2 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah yang menyerupai syari’at

Tahap 3 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah yang terjadi pada syari’at Muhammad s.a.w.

Tahap 3 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah yang belum ada di masa Muhammad s.a.w.

Tahap 4 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah yang tidak memiliki landasan dari nash ayat Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah s.a.w.

Maka perhatikanlah bahwa pembagian ulama tentang adanya 5 jenis bid’ah itu adalah pada posisi takhsish tahap ke-3.

Oleh karena ahdats (membuat perkara baru) atau muhdats juga merupakan persamaan dari bid’ah maka ia mengalami 4 tahap pengkhususan atau 4 tahap pembatasan makna yang sama yaitu :

Tahap 1 : Yang dimaksud muhdats adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan dalam perkara agama

Tahap 2 : Yang dimaksud muhdats adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan dengan tujuan menyerupai syari’at

Tahap 3 : Yang dimaksud adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan pada syari’at Muhammad s.a.w.

Tahap 3 : Yang dimaksud adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan yang belum ada di masa Muhammad s.a.w.

Tahap 4 : Yang dimaksud adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan yang tidak memiliki landasan dari nash ayat Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah s.a.w.

Maka perlu dipahami bahwa pembagian bid’ah oleh para ulama terjadi pada tahapan takhshish yang ke-3 yaitu ketika menetapkan sesuatu yang baru dan belum menetapkan nya bahwa sesuatu yang baru itu adalah dlolalah (sesat) .

Sebagai contoh Imam Asy-Syafi’i berkata:

Bid’ah ada dua macam: Bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madmumah (yang tercela ). Bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi sunnah adalah bid’ah tercela”. (Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, Juz 9 hal  113)

Imam Syai’i juga membagi muhdats dengan perkataan yang sama : “Perkara yang muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu pertaka yang dibuat-buat dan menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini termasuk bid’ah dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah) yang tercela (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’I (1: 468-469). Riwayat ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131)

Imam Syafi’i membagi bidah menjadi bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madmumah (tercela) adalah dalam tingkatan bid’ah yang telah ditakhsish tiga kali yaitu perkara baru dalam agama, yaitu yang menyerupai syariat dan terjadi pada agamanya syari’at Muhammad s.a.w, dan yang belum ada contohnya pada masa Muhammad s.a.w , namun dalam tahap ini Imam Syafi’i masih perlu membagi bid’ah menjadi bid’ah yang mahmudah (terpuji) dan bid’ah yang madmumah (tercela) Hal ini dillakukan agar tidak salah kaprah bahwa semua perkara baru dalam agama (yaitu sampai takhsish yang ketiga) adalah pasti bid’ah yang tercela.

Lalu apa kriterianya untuk mengetahui mana bid’ah yang mahmudah (terpuji) dan mana bid’ah yang madmumah (tercela) ? Maka lebih lanjut Imam asy-Syafi’i menjelaskan kriterianya sb :
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Sedangkan perkara baru yang baru yang baik (hasanah) dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka hal yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i, Juz 1, Hal 469).

Maka sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ini adalah tahapan takhshsish yang keempat dimana landasan syariat adalah kriteria untuk memilah lagi bid’ah menjadi bid’ah yang mahmudah (terpuji) dan mana bid’ah yang madmumah (tercela).

Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata :

Yang dimaksud dengan bid’ah adalah sesuatu yang baru yang tidak memiliki landasan (dalil) dalam syari’at sebagai pendukung. Adapun jika didukung oleh dalil syar’i, maka itu bukanlah bid’ah menurut istilah syar’i, namun bid’ah secara bahasa.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 127)

Setiap yang dibuat-buat lalu disandarkan pada agama dan tidak memiliki dasar dalam Islam, itu termasuk kesesatan. Islam berlepas diri dari ajaran seperti itu termasuk dalam hal i’tiqod (keyakinan), amalan, perkataan yang lahir dan batin.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 128)

Apa yang dimaksud tidak memiliki dalil? Apa definisi tidak memiliki landasan dalam syariat? Apa batasan yang disebut tidak memiliki dasar dalam Islam? Persoalan ini tidak semudah mengatakannya sehingga dapat membahwa pada sikap terlalu berlebih-lebihan dalam menyalahkan dan menuduh bid’ah .

 Bisa jadi suatu praktek ibadah dikatakan orang tidak memiliki landasan dalil  padahal ia melakukan itu mengikuti pendapat salah satu sahabat Rasulullah s.a.w. (yang mana terkadang sahabat yang satu  berbeda dengan sahabat yang lain). Bisa jadi ia mengikuti salah satu pendapat  tabi’in atau tabiut tabi’in. Atau dapat saja ia menyandarkan diri pada qiyas, atau metoda istishan dengan mempertahankan maqoshid syar’i. Maka kita tidak boleh gegabah menuduh sesuatu perbuatan itu bid’ah karena sepintas lalu tidak ada landasannya dalam syari’at.

Demikianlah Ibnu Taimiyyah ketika mengomentari pernyataan Imam Syafi’i : “Maksud perkataan Imam Asy Syafi’i di atas ialah apa saja yang menyelisihi dalil, maka itu adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin. Dan apa yang tidak diketahui menyelisihi dalil, maka tidak disebut bid’ah (Majmu’ Al Fatawa, 20: 163)

Senada dengan Imam Syafi’i, Ibnu Hajar Asqolani (penulis kitab Fathul Bari) berkata :

Siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama lalu tidak didukung oleh dalil, maka ia tidak perlu dilihat.”  (Fathul Bari, Juz 13 hal. 253)

Ibnu Hajar  Asqolani berkata :

“Yang dimaksud perkataan kullu bid’ah dlaolalh, yaitu setiap amalan yang dibuat-buat dan tidak ada dalil pendukung baik dalil khusus atau umum.” (Fathul Bari Juz 13 hal. 254)

Ibnu Hajar Asqolani menjelaskan lebih lanjut :

“Jika bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’ maka disebut bid’ah hasanah. Bila berada dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’ maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak termasuk dalam naungan keduanya (baik atau buruk) maka menjadi bagian yang bersifat mubah (boleh-boleh saja). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum” (Fathul Bari’ Juz 4 Hal 253)

Ibnu Hajar Asqolani membagi bidah menjadi bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah mustaqbahah (tercela) adalah dalam tingkatan bid’ah yang telah ditakhsish tiga kali. Sudah jelas bagi beliay bahwa yang dimaksud bid’ah atau muhdats adalah perkara baru dalam agama, yaitu yang menyerupai syariat dan terjadi pada agamanya syari’at Muhammad s.a.w, dan yang belum ada contohnya pada masa Muhammad s.a.w , namun masih dibagi menjadi bid’ah yang hasanah (baik) dan bid’ah yang mustaqbahah (tercela).

Demikian pula dengan Imam Ibnu Atsir Al-Jaziri berkata : “Bid’ah itu terbagi dua yaitu bid’ah huda (bid’ah yang sesuai dengan petunjuk) dan bid’ah dholal (bid’ah yang sesat). (An Nihayah Al-Gharib fii Hadits wa Al-Atsar juz 1 Hal 267)

 

Imam Ibnu Atsir Al-Jaziri membagi bidah menjadi bid’ah huda (mendapat petunjuk) dan bid’ah dlolal (sesat) adalah dalam tingkatan bid’ah yang telah ditakhsish tiga kali, yaitu perkara baru dalam agama, yaitu yang menyerupai syariat dan terjadi pada agamanya syari’at Muhammad s.a.w, dan yang belum ada contohnya pada masa Muhammad s.a.w , namun masih dibagi menjadi bid’ah yang huda (sesuai petunjuk) dan bid’ah yang dlolal (sesat).

Lalu apa kriterianya untuk mengetahui mana bid’ah yang huda (sesuai petunjuk) dan mana bid’ah yang dlolal (sesat ) ? Maka lebih lanjut Imam Ibnu Atsir Al-Jaziri menjelaskan kriterianya sb :

Maka bid’ah yang menyalahi perintah Allah dan Rasulullah s.a.w. tergolong bid’ah tercela dan tertolak (dzammi wal inkar). Bid’ah yang masih termasuk di bawah naungan keumuman perintah Allah dan dorongan Allah dan RasulNya maka termasuk hal yang terpuji sedangkan bid’ah yang belum ada semisalnya seperti cara kedermawanan dan cara berbuat kebajikan, maka tergolong yang terpuji (mahmudah) dan tidak mungkin hal tersebut menyelisihi syara’ “ (An Nihayah Al-Gharib fii Hadits wa Al-Atsar juz 1 Hal 267)

Imam Ibnu Abdul Barr ulama fiqih dari madzhab Maliki mengatakan : “Bid’ah dalam bahasa arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada (umum). Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah (fii diini khilafan lil sunnah)  maka ia adalah bid’ah yang tidak baik (bid’atun laa khoir) wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyelisihi syari’at dan sunnah, maka itu adalah sebaik-baik bid’ah (ni’matil bid’ah)” (Al-Istidzkar Juz 5 Hal 152)

Di sini Imam Abni Abdul Barr membagi bid’ah menjadi bid’ah laa khoir (bid’ah yang tidak baik) dan ni’matil bid’ah (diambil dari perkataan Umar bin Khattab yang artinya bid’ah yang nikmat). Untuk membedakan mana bid’ah laa khoir  dan mana yang ni’matil bid’ah, maka sebagaimana penjelasan beliau di atas apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah (fii diini khilafan lil sunnah)  maka ia adalah bid’ah yang tidak baik (bid’atun laa khoir). Sedangkan bid’ah yang tidak menyelisihi syari’at dan sunnah, maka itu adalah sebaik-baik bid’ah (ni’matil bid’ah)”

Said Hawwa berkata : “Bid’ah itu ada bermacam-macam diantaranya ada bid’ah sayyi’at (buruk) dan bid’ah hasanah (baik) Apa-apa yang sesuai dengan pokok-pokok syari’at yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, qiyas, ijma, maslahah mursalah, ‘istishab, istishan, menolak mafsadah dan mengambil masalahat, maka hal itu tak ada salahnya. Akan tetapi ada orang-orang yang bersikap kaku dan keras mengenai masalah ini sehingga mereka menuduh umat dan para imam melakukan dosa padahal tidak ada dosa yang telah mereka perbuat” (Mudzakarat fii Manazil Shiddiqiin wa Rabbaniyiin, hal 63)

Memang Semua Bid’ah Adalah Sesat, Yaitu Bid’ah Yang Telah Ditakhshish

Makna bid’ah yang benar-benar lengkap secara istilah atau secara syari’at menurut cara penjelasan kami adalah makna bid’ah yang telah mengalami pentakhshishan 4 (empat) tahap yaitu :

–          Takhshih pertama : Maksudnya perkara baru adalah di bidang agama

–          Takhshih kedua  : Maksudnya agama adalah yang menyerupai thariqah, syari’at baru atau ghuluw

–          Takhshih ketiga : Maksudnya agama adalah agamanya syari’at Muhammad s.a.w. dan tidak ada pada masa Muhammad s.a.w.

–          Takhshih keempat : Yang tidak memiliki dalil / landasan dari Al-Qur’an dan Sunnah,

Tentu saja kita setuju jika makna bid’ah yang dipakai pada hadits kullu bid’atin dlolalah dan kullu dlolalah fii naar adalah makna secara istilah atau makna syariat yang lengkap yang telah ditakhshish dalam 4 tahapan di atas. Jika pengertian bid’ah ini yang diambil, maka semua sepakat bahwa semua bid’ah adalah sesat. Kalimat lengkapnya agar tidak salah paham : “semua bid’ah yang tidak sesuai dengan sunnah adalah sesat” atau ““semua bid’ah yang tidak ada dalil syar’inya adalah sesat”. Maka bid’ah dlolalah lah yang sesat.

Imam Ibnu Abdul Barr ulama fiqih dari madzhab Maliki mengatakan : “Bid’ah dalam bahasa arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada (umum). Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah (fii diini khilafan lil sunnah)  maka ia adalah bid’ah yang tidak baik (bid’atun laa khoir) wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyelisihi syari’at dan sunnah, maka itu adalah sebaik-baik bid’ah (ni’matil bid’ah)” (Al-Istidzkar Juz 5 Hal 152)

Lihatlah perkataan Ibnu Abdul Baar bahwa yang dimaksud harus kita jauhi harus kita tinggalkan sebagaimana hadits : adalah bid’ah yang tercela yaitu yang telah didetilkan, dirinci melalui pentakhshishan 4 tahap di atas.

Demikian pula Imam Jurjani mengatakan :

Bid’ah ialah perbuatan yang menyelisihi sunnah. Dinamakan bid’ah karena pelakunya mengada-adakannya tanpa berlandaskan pendapat seorang Imam. Bid’ah juga berarti perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan tidak merupakan sesuatu yang selaras dengan dalil syar’i (Al-Jurjani dalam At-Ta’rifaat Juz 1 hal 13)

Jika Yang Dimaksud Makna Bid’ah Secara Istilah, Tentu Tak Ada Bid’ah Hasanah

Dari uraian makna “bid’ah” secara istilah yang telah spesifik dan khusus sebagaimana telah ditakhshish dalam 4 tahap jelas tidak pada tempatnya dibagi lagi menjadi bid’ah terpuji atau bid’ah tercela. Dan pada makna khusus ini juga tidak bisa dibagi lagi ada bid’ah hasanah dan bid’ah dlolalah. Karena : “tak ada bid’ah dlolalah yang hasanah” (tak ada bid’ah sesat yang baik). Maka klaim dari pihak yang bersemangat bahwa tak ada itu yang namanya bid’ah hasanah. Ya, tentu saja, jika yang Anda maksud bid’ah di sini adalah bid’ah yang itu tuh, bid’ah yang tak ada landasannya dalam syariat dan bid’ah yang jelas kesesatannya, maka kita sepakat bahwa tak ada yang namanya bid’ah hasanah.

Maka wajar jika ada ulama dan sebagian umat muslim yang ngotot mengatakan tak ada bid’ah hasanah. Perkataan ini tidak harus menjadi perdebatan melainkan ditempatkan dan diartikan bahwa di sini yang dipakai adalah makna secara istilah atau makna bid’ah secara syariat yang telah ditakhshish secara lengkap dan detil, sehingga maksudnya kalimat “tak ada bid’ah hasanah” adalah “bid’ah yang itu tuh” bukan bid’ah secara umum, yaitu perkara baru dalam agama, yaitu yang menyerupai syari’at, yaitu syari’atnya Muhammad s.a.w., yaitu yang tak ada pada masa Muhammad s.a.w. dan yaitu yang tak ada landasan dalil syar’iny baik Al-Qur’an, hadits, atsar sahabat, tabi’in atau ijma ulama.

Hal ini sesuai dengan penjelasan Ibnu Taimiyyah sebagai berikut : Siapa yang menyatakan bahwa sebagian bid’ah dengan bid’ah hasanah, maka itu jika memang telah ada dalil syar’i yang mendukungnya yang menyatakan bahwa amalan tersebut termasuk sunnah. Namun jika bukan wajib dan bukan pula sunnah, maka tidak ada seorang ulama pun boleh mengatakan amalan tersebut sebagai hasanah (kebaikan) yang mendekatkan diri kepada Allah (Majmu’ Al Fatawa, 1: 162)

 

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 6)

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 6)

Oleh : Abu Akmal Mubarok

APA YANG DIMAKSUD ADA LANDASANNYA DALAM SYARIAT?

 Image

Pada takhshish tahap yang ke-4  kita telah memahami bahwa perkara baru (yang secara bahasa disebut muhdats atau bid’ah) akan menjadi sesat dan tergolong bid’ah dlolalah jika tidak ada asalnya dalam syari’at atau tidak ada landasan dalilnya dari Al-Qur’an maupun Hadits.

Orang-orang yang terlalu bersemangat dalam agama seringkali mengutip ayat ini :

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian (Q.S. An-Nisaa’ [4] : 59)

Lantas mereka langsung membuka ayat dan hadits kemudian memahami arti teks tersebut menurut daya nalarnya sendiri. Saat membaca dalil Al-Qir’an maupun hadits, mau tidak mau ia menggunakan nalar otaknya. Tidak mungkin tidak. Lalu orang yang tidak sependapat dengan mereka dikatakan menyelisihi Al-Qur’an atau sunnah. Padahal yang sebenarnya adalah orang menyelisihi pemahaman versi mereka dan belum tentu menyelisihi Al-Qur’an atau sunnah.

Apa yang dimaksud dengan “ada asalnya dalam syari’at”? Apa yang Anda maksud ada atau tidak ada landasan dalilnya dari Al-Qur’an maupun Hadits? Apakah setiap yang tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan hadits itu bid’ah? Pertanyaan ini bisa dibalik : “Apakah setiap sesuatu pasti ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah?” Mereka menjawab : Oh ya pasti ada ! Lalu mengutip dalil :

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Q.S. Al-Maidah [5] : 3)

Kebanyakan orang hanya terpaku pada sabda Rasulullah s.a.w. berikut ini :

Abu Dzar r.a. berkata : “ Rasulullah s.a.w. meninggalkan kami, tidaklah ada burung yang mengepakkan sayapnya di udara melainkan beliau telah memberitahukan kepada kita ilmunya, lalu beliau berkata : lalu Rasulullah s.a.w. bersabda : “ tidak ada satu perkarapun yang tertinggal yang dapat mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka , melainkan telah dijelaskan kepada kalian “ ( H.R. Thabrani No. 1647 dalam Mu’jamul Kabir Juz 2 hal 155).

Telah menceritakan kepadaku (Yahya) dari Malik telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (H.R. Imam Malik Dalam Al-Muwatha’ No. 1395)

Perkataan di atas adalah benar adanya dari segi keyakinan atau aqidah yang bersifat normatif. Dimana sebagai muslim memang kita meyakini segala perkara di dunia ini dapat kita carai penyelesaiannya dalam diin Islam yang agung ini. Namun mereka salah paham bahwa yang dimaksud bukanlah segala sesuatu kemudian ada penjelasannya secara tekstual. Karena perkara di dunia ini senantiasa berkembang dan urusan manusia juga bertambah. Jika Allah berkehendak memerinci semuanya itu maka akan seperti apa tebalnya Al-Qur’an? Jika Rasulullah s.a.w. mau menjabarkan semuanya maka entah berapa milyar sabda beliau yang akan dicatat orang. Sedangkan saat ini saja dari 1 juta hadits yang dikumpulkan Imam Ahmad hanya 9.000 atau 7.000 saja yang dimasukkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Shahihnya. Itupun belum semuanya kita baca.

Apa-apa yang jelas ada ayat atau sabda Rasulullah s.a.w. dengan makna yang qoth’i maka itu adalah perkara yang Allah dan RasulNya telah jelaskan duduk perkaranya. Namun Allah dan RasulNya tidak memerinci semuanya, melainkan ditinggalkan bagi kita berupa manhaj dan metodologi untuk memecahkan perkara-perkara yang tidak dijelaskan hukumnya. Maka yang kita ikuti dalam hal ini adalah metodanya

Apakah segala hal baru yang tidak ada landasan dalilnya dari Al-Qur’an maupun Hadits otomatis tergolong bid’ah yang sesat?  Kita tidak bahas perkara-perkara yang jelas-jelas ada ayatnya yang qoth’i. Kita juga tidak bertanya perihal yang jelas-jelas ada haditsnya. Walaupun yang jelas ada ayatnya dan ada haditsnya pun tidak menutup kemungkinan berbeda penafsiran, berbeda menangkap maksudnya. Ada yang menangkap maksud berdasarkan zhahir teks dalil.

Maka apakah ini yang Anda maksud ada landasan dalilnya dari Al-Qur’an maupun Hadits? Lalu bagaimana dengan perkataan Rasulullah s.a.w. :

Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) (H.R. Bukhari Muslim)

Berarti ada perkara yang abu-abu (samar) yang tidak jelas haram atau halalnya itu memang ada.

Lalu bagaimana dengan perkataan perkataan Rasulullah s.a.w. dalam hadits ini :

“… dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah” (H.R. Al-Hakim dan Al-Bazzar)

Berarti ada perkara yang didiamkan oleh Allah?? Kami tahu bahwa yang dihalalkan atau diharamkan oleh Allah dan RasulNya pasti ada nash dalilnya dari Kitabullah atau Hadits. Tapi bagaimana bentuk apa-apa yang didiamkan Allah? Bukankah yang didiamkan Allah itu adalah yang tak ada teks dalilnya? Jika ada teks dalilnya berarti itu tidak didiamkan Allah.

Lalu bagaimana dengan definisi bahwa “segala sesuatu yang tidak ada landasan dari Al-Qur’an maupun Hadits itu pasti bid’ah yang dlolalah? Bukankah ada hal –hal yang didiamkan oleh Allah? Lalu apa-apa yang didiamkan oleh Allah itu termasuk ada landasannya atau tidak?? Lalu bagaimana status hukumnya dengan perkara yang didiamkan ini? Apakah didiamkan itu artinya haram? Atau kah apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan? Ataukah apa-apa yang didiamkan ini berarti masih perlu kajian oleh manusia? Lalu bagaimana jika hasil kajian manusia itu menyimpulkan hal ini haram? Beranikah manusia mengharamkan perkara yang didiamkan Allah? Beranikah manusia menghalalkan perkara yang didiamkan Allah? Apakah yang didiamkan itu cenderung haram? Ataukah yang didiamkan itu berarti mubadh (boleh) ? Ataukah yang didiamkan itu belum ditentukan hukumnya, artinya diserahkan pada manusia untuk meng-elaborasi hukumnya melalui ijtihad? Sehingga hasil ijtihad itu bisa haram wajib sunnah makruh atau mubah. Dalam hal ini ulama pun berbeda pendapat

Lalu bagaimana dengan perkataan pertanyaan Rasulullah s.a.w. dalam hadits ini :

“Bagaimana engkau memutuskan hukum?” ia (Mu’adz) menjawab; Aku memutuskan hukum dari apa yang terdapat di dalam kitabullah. Beliau s.a.w. bertanya lagi: “Jika tidak ada di dalam kitabullah?” ia (Mu’adz) menjawab; Dengan sunnah Rasulullah s.a.w.. Beliau bertanya: “Jika tidak terdapat di dalam sunnah Rasulullah s.a.w.??” Ia menjawab; Aku akan berijtihad dengan pendapatku. Beliau mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah s.a.w..”  (H.R. Tirmidzi  No. 1249)

Lalu bagaimana dengan perkataan perkataan Umar bin Khattab r.a. dalam atsar ini :

“….Jika tidak ditemukan dalam Kitabullah, tidak pula dalam sunah Rasulullah s.a.w. dan orang-orang shalih juga tidak memutuskan ketetapan hukumnya, …”(Atsar R.Nasa’i dalam Sunan No. 5304) Nashiruddin Al-Albani mengatakan atsar ini sanadnya shahih sampai pada Umar bin Khattab r.a..

Artinya memang ada hal-hal yang tidak terdapat landasan dalilnya dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya dong?  Padahal definisi orang-orang yang bersemangat tadi menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak ada landasan dari Al-Qur’an maupun Hadits itu pasti bid’ah (maksud mereka adalah bid’ah yang dlolalah) ? Lalu akan kita temukan di dunia maya ini bantahannya : Ya, itu bukan bid’ah. Itu adalah Ijtihad beda dengan bid’ah.  Yang disebut bid’ah itu adalah mengadakan-adakan hal yang baru untuk perkara-perkara yang sudah jelas ada dalilnya. Sedangkan untuk perkara-perkara yang tidak ada dalilnya maka itu adalah lapangan ijtihad !

Lho? Jadi apa Anda akan menjilat kembali semua perkataan dan tulisan Anda yang panjang dan berlembar-lembar tadi? Bukankah berkali-kali Anda tegaskan bahwa segala perkara baru yang tidak ada landasan dari Al-Qur’an maupun Hadits itu pasti bid’ah? Lalu sekarang Anda memerinci lagi bahwa Yang disebut bid’ah itu adalah mengadakan-adakan hal yang baru untuk perkara-perkara yang sudah jelas ada dalilnya. Sedangkan untuk perkara-perkara yang tidak ada dalilnya maka itu adalah lapangan ijtihad ?

Oke, berarti Anda sudah mentakhsish dua kali, pertama Anda mentakhsish (mengkhususkan) bahwa yang dimaksud bid’ah adalah dalam perkara agama. Lalu kini Anda mentakhsish (mengkhususkan) bahwa yang dimaksud bid’ah adalah hal yang baru untuk perkara-perkara yang sudah jelas ada dalilnya. Sedangkan untuk perkara-perkara yang tidak ada dalilnya, itu bukan bid’ah melainkan ijtihad . Baiklah, tampaknya lambat laun perbedaan pendapat ini tidak terlalu berbeda lagi.

Bid’ah  ialah  setiap  yang  bertentangan  dengan  sunnah  dari  jenis  perkataan  (ucapan) perbuatan  (amalan)  atau  akidah  (pegangan/kepercayaan)  sekalipun  melalui  usaha  ijtihad.” (Lihat: Ihkamu Janaiz wal bid’ah  Hal. 306. Muhammad Nashiruddin Al-Albani)

Bukankah di sini ada kontradiksi dan lingkaran tak berujung? Berdasarkan hadits Rasulullah s.a.w, ijtihad itu diterapkan untuk hal-hal yang tak ditemukan nash dalil nya dalam Kitabullah dan Hadits. Tapi katanya yang tak ada nash dalil nya dalam Kitabullah dan Hadits termasuk bid’ah walaupun itu adalah ijtihad…??

Sebagian pemuda Islam yang sedang semangat menyala ingin berislam di segala sektor tentu menyenangi retorika yang heroik dan simple, mudah dipahami, namun mereka lupa bahwa ini hanya berkutat pada tataran teori saja tanpa mencoba menukik pada aplikasi praktis di lapangan. Mereka yang terlalu bersemangat dalam beragama, hanya membahas aspek normatif  saja.  Pokoknya ikuti sunnah Rasul dan sunnah khulafa’u rasyidin. Pokoknya mengikuti sunnah para sahabat. Bagaimana jika para sahabat berbeda pendapat? Mereka menjawab : Gampang saja, “jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” (Q.S. An-Nisaa’ [4] : 59). Lha semua yang berbeda pendapat itu juga masing-masing merasa berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul kok.

Mereka tidak menyadari bahwa kenyataan di lapangan tidak semudah konsep dan slogan normatif. Tak usahlah persoalan pada masa kini, bahkan persoalan pada masa Rasulullah s.a.w dan masa sahabat pun terjadi ikhtilaf (beda pendapat) lalu mana yang kita pilih? Jika Anda pilih salah satunya berarti Anda mengkafirkan sahabat lainnya? Lha iya, jika salah satu sahabat melakukan bid’ah yang dlolalah, berarti mereka sesat dan mereka masuk neraka. Padahal Rasulullah telah menjamin Khulafa’  Ar-Rasyidin dan termasuk 10 sahabat lainnya masuk surga.

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 5)

APA YANG DIMAKSUD MENYERUPAI SYARIAT ?

Oleh : Abu Akmal Mubarok

Image

Pada takhshish ke-2 kita menyimpulkan bahwa suatu perkara baru (muhdats) akan disebut sebagai bid’ah jika menyerupai syari’at. Namun apa yang dimaksud menyerupai syariat?

Berdasarkan batasan dari Imam Asy-Syathibiy dalam kitab Al-I’tishaam mendefinisikan bid’ah sebagai berikut; “Suatu jalan baru (thariqah) di dalam agama yang dibuat-buat serupa dengan syariat, dimana, tujuan melakukan perbuatan itu adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah swt“.

Walaupun makna bid’ah secara istilah menurut Imam Syatibi di atas dianggap definisi yang terbaik, namun ternyata masing-masing orang masih memiliki penafsiran yang berbeda-beda tentang maksud “menyerupai syari’at” di sini.

Jika Diyakini Sebagai Ibadah Mahdhoh (Ritual), Maka Itu Menyerupai Syari’at

Jika sebuah perkara baru diyakini merupakan bagian dari ibadah mahdhoh (ritual), maka hal itu termasuk perkara agama, sehingga menjadi obyek penelitian apakah termasuk bid’ah yang dlolal atau tidak.

Apa cirinya hal itu dianggap ibadah mahdhoh (ritual) ?

  1. Menganggap hal itu disyariatkan dan diperintahkan Allah atau NabiNya
  2. Menganggap hal itu untuk menyembah atau mengabdi pada Allah
  3. Menganggap hal itu merupakan cara pendekatan diri (taqarub) kepada Allah
  4. Menganggap hal itu berdosa jika tidak melakukannya
  5. Menganggap hal  itu mempengaruhi hidup mati dirinya
  6. Menganggap hal itu akan mendatangkan sial jika tidak melakukannya

Apa cirinya hal itu dianggap bukan ibadah mahdhoh (ritual) ?

  1. Menganggap hal itu tradisi saja dan tidak disyariatkan dan diperintahkan Allah atau NabiNya
  2. Menganggap hal itu bukan bentuk penyembahan atau pengabdian pada Allah
  3. Menganggap hal itu bukan bentuk pendekatan diri (taqarub) kepada Allah
  4. Tidak Menganggap hal itu berdosa jika tidak melakukannya
  5. Tidak Menganggap hal  itu mempengaruhi hidup mati dirinya
  6. Tidak Menganggap sial jika hal itu tidak dilakukan

Sebagai contoh : Seseorang dalam melakukan pernikahan mengadakan upacara injak telor. Tentu saja para sesepuh dengan panjang lebar menjelaskan makna simbol di dalamnya. Untuk menjawab hal ini bid’ah yang dlolal atau tidak, pertanyaannya apakah hal ini termasuk perkara agama? Jawabnya : ya, menikah adalah perkara agama karena disitu terdapat perintah atau kewajiban. Hal yang ada perintah dan larangan adalah perkara agama. Lalu dalam proses menikah juga terdapat petunjuk Rasulullah s.a.w. dalam ijab qabul, bagaimana lafadz ijabnya, apa saja syarat sah nikahnya, siapa yang berhak jadi walinya dll. Maka jelas apa-apa yang terdapat ketentuan Allah dan RasulNya merupakan bagian dari syariat.  Lalu, apakah injak telor tidak ada pada jaman Rasulullah s.a.w.? Jawabnya : Jelas tidak ada, apalagi telor ayam, di padang pasir jarang ada ayam. Maka kita menginjak pada pertanyaan uji terakhir. Apakah ada dalilnya dari Qur’an dan sunnah? Jawabnya : tidak ada. Jika kita berhenti sampai di sini kesimpulannya tentu ini adalah bid’ah.

Namun jika kita menggunakan batu uji rincian dari apa yang dianggap syariat (rincian takhshih ke-2)  Apakah mereka (yang melaksanakan prosesi injak telor itu) menganggap hal itu disyari’atkan oleh Allah ? Apakah mereka merasa berdosa jika tidak menjalankan hal ini?  Apakah mereka meyakini ini sebagai bentuk peribadatan, penyembahan dan pengabdian kepada Allah? Atau pengabdian pada kekuatan lain yang dianggap Tuhan selain Allah? Apakah mereka menganggap akan sial jika tidak melakukan hal ini? Maka semua jawaban itu tergantung niat dan keyakinan dalam hati.

Jika mereka tidak meyakini ini semua dan menganggap tidak apa-apa jika tidak melakukannya, tidak meyakini adanya dosa dan sial jika tidak melakukannya, hanya saja mereka mempertimbangkan menghormati budaya, maka mereka menganggap hal ini sebagai tradisi dan bukan ritual atau syari’at. Maka apakah hal ini termasuk bid’ah yang dlolal, atau bid’ah yang masih mubah (boleh2 saja) tergantung dari niatnya. Kalaupun ini adalah bid’ah (dalam arti bahasa yaitu tak ada pada masa Nabi s.a.w.) maka tidak termasuk bid’ah yang dlolal (sesat) juga tidak termasuk yang mahmudah (terpuji) karena jika terpuji akan ada pahala di dalamnya. Ini adalah termasuk yang mubah (boleh saja) dan tak ada pahala jika melakukannya dan tak ada dosa jika meninggalkannya, juga tak ada pahala jika meninggalkannya. Hanya saja kebetulan dalam contoh ini sebaiknya telornya jangan dibuang karena merupakan mubadzir. Dan mubadzir itu dosa.

Namun jika mereka ada keyakinan bahwa hal ini dilakukan agar langgeng pernikahan mereka, agar lancar rezekinya (padahal rezeki itu dilapangkan dan disempitkan atas kuasa Allah) maka hal ini bisa menjadi bid’ah yang dlolalah (sesat). Hal ini sesuai dengan perkataan imam Syatibi :

Imam Syatibi mengatakan : “Jika  penyamaan  itu  adalah  dengan  perkara-perkara  yang  tidak disyariatkan maka  ia bukan bid‘ah.  Ia  termasuk dalam perbuatan-perbuatan adat kebiasaan. (lihat  Al-Syatibi, Al-I’tishom  hal 28)

Jika Diyakini Mendatangkan Pahalanya, Belum Tentu Menunjukkan Menyerupai Syari’at

Pada penjelasan di atas dijelaskan bahwa jika seseorang menganggap sebuah perbuatan itu jika tidak dilakukan mendapatkan dosa, maka dia telah menganggap perbuatan itu menyerupai syariat. Namun hal ini tidak berlaku sebaliknya. Jika seseorang meyakini sebuah perbuatan itu mendatangkan pahala, belum tentu hal itu termasuk menyerupai syari’at. Kecuali hadir di dalamnya perintah atau kewajiban dari Allah dan RasulNya. Karena berbuat baik apa saja secara umum mendatangkan manfaat bagi orang dan bisa mendatangkan pahala. Maka sah saja jika ia menganggap hal itu mendatangkan pahala. Namun itu tidak otomatis tindakannya menyerupai syariat. Sehingga ini di luar willayah pembahasan bid’ah. Atau bisa bisa jadi sebenarnya orang itu meyakini perbuatannya mendapat pahala padahal itu termasuk perkara mubah (yang boleh boleh saja). Jika dilakukan tidak mendapat pahala dan jika ditinggalkan pun tidak mendapat dosa. Namun tidak ada salahnya orang itu mengira perbuatan mubah itu mendatangkan pahala. Dan itu tetap bukan menyerupai syari’at.

Sebagai contoh : seseorang membuat nasi tumpeng untuk merayakan pindah rumah baru, atau naik pangkat. Lalu nasi tumpeng itu dibagikan kepada tetangganya. Ia meyakini dengan cara demikian akan mendatangkan pahala dan wujud dari rasa syukur dia. Apakah hal ini bid’ah yang dlolalah? Mari kita uji. Apakah hal ini termasuk perkara agama? Jawab : Hmm.. mungkin. Karena masih ragu, maka kita perinci dengan takhshish ke-2. Agar kita tahu ini termasuk perkara agama atau tidak, maka apakah hal ini menyerupai syari’at? Jawab : Tergantung, apakah ia meyakini ini disyari’atkan? Jawab : Tidak. Apakah ia meyakini ini sebagai bentuk taqorub pada Allah? Jawab : bisa jadi karena ini wujud rasa syukur. Apakah ia meyakini jika ini tidak dikerjakan akan berdosa? Jawabnya : Tidak, tapi ia meyakini jika ini dilaksanakan akan mendatangkan pahala dan rezeki dia akan lebih banyak. Hal ini ada benarnya, karena tumpeng yang dimakan orang banyak Insya Allah merupakan shodaqoh dan ada pahalanya. Maka kesimpulannya ini bukan termasuk perbuatan menyerupai syari’at sehingga di luar lingkup pembahasan bid’ah.

Jika kita tanya : Apakah hal ini adal di masa Rasulullah s.a.w.? Jawabnya : Jelas tidak. Apakah ini ada landasan dalil dari Kitabullah dan Sunnah? Jawab : bisa saja jika ini dianggap sebagai shodaqoh. Walaupun bukan pada fakir miskin (karena tetangganya komplek elit dan kaya semua) namun tetap saja apapun itu bernilai shodaqoh. Sedangkan memberi makan anak istri dan nasi yang tercecer dimakan seranggapun ada nilai shodaqohnya. Namun pertanyaan ini sebenaranya tidak relevan karena memasuki takhshih ke-3 dan ke-4. Sedangkan pada takhshish ke-2 saja sudah gugur dan dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai tindakan menyerupai syari’at. Maka tak perlu dilanjutkan pada batu uji takhshish ke-3 dan ke-4

Mengubah Perincian Ibadah, Tidak Selau Menunjukkan Menyerupai Syari’at

Sebagian ulama mengatakan bahwa bid’ah dalam ibadah itu cirinya apabila menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan. Contohnya menambah shalat Dhuhur atau shalat ashar menjadi 5 rakaat. Dalam contoh kasus ini kami setuju.

Ada juga ulama yang membagi bahwa bid’ah dalam ibadah itu terbagi menjadi bid’ah terhadap ibadah mutlak,  yaitu  suatu  ibadah  yang  tidak  ditentukan  secara  khusus  oleh Rasulullah kaifiyatnya (cara teknis pelaksanaannya), jumlahnya, waktunya, tempatnya, maupun sifatnya. Contohnya adalah menebar salam dan tersenyum. Dan ada juga bid’ah terhadap ibadah muqoyyad yaitu suatu  ibadah  yang  ditentukan  secara  khusus  oleh Rasulullah kaifiyatnya (cara teknis pelaksanaannya), jumlahnya, waktunya, tempatnya, maupun sifatnya secara khusus dan terperinci. Maka menambahi dan mengurangi dari perincian ini semua merupakan tindakan bid’ah yang dlolalah.

Sebagai contoh : Syaikh ‘Utsaimin misalnya memerinci komponen dari ibadah mahdhoh yang apabila diubah dari bisa menjerumuskan seseorang  pada bid’ah yaitu meliputi 6 hal : asbab-nya, jenisnya, kadar atau jumlah bilangannya, kaifiyat (caranya), waktunya dan tempatnya (kitab Al-Ibtida’ fi kamal Asy-Syar’i)

Namun kami katakan di sini bahwa jika demikian yang syaikh katakan, niscaya semua sahabat Nabi s.a.w. adalah mubtadi (pelaku bid’ah) karena semua Khulafa’ur Rasyidin dan sahabat yang lainnya pernah mengubah perincian ibadah entah dengan pertimbangan situasional, dengan pertimbangan maslahat dan mafsadat, dengan pertimbangan skala prioritas, dengan pertimbangan strategi dakwah dan lain halnya yang tidak kita ketahui.

Baiklah mari kita ambil contoh satu persatu.

Mengubah Perincian Ibadah, Dari Sisi Asbab (Sebab Melakukan Ibadah)

Syaikh ‘Utsaimin mencontohkan,  jika  suatu ibadah  dilakukan dengan  sebab  yang  tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan mardud (tertolak).  Contoh : seseorang

yang melakukan sholat tahajjud pada malam 27 Rajab, dengan alasan bahwa malam tersebut

adalah malam mi’raj Rasulullah s.a.w., maka itu adalah bid’ah, dikarenakan sholat tahajjudnya  dikaitkan  dengan  sebab  yang  tidak  ditetapkan  dengan  syari’at, walaupun  sholat tahajjud  itu sendiri adalah sunnah. Namun karena dikaitkan dengan sebab yang  tidak syar’i, sholatnya menjadi bid’ah.

Hal ini benar demikian sepanjang terdapat dalil yang qoth’iy  jelas menunjukkan kemutlakan asbabnya. Adapun hal ini tidak dapat diterapkan pada hal-hal yang khilafiyah (masih bisa berbeda pendapat) karena pemahaman dan penafsiran seseorang bisa saja berbeda. Misalnya dalam perdebatan tentang asbab atau illat dibolehkannya men-jamak shalat. Dalam Al-Qur’an mengatakan Apabila kamu berjalan di muka bumi, maka tidak ada halangan bagi mu untuk meng-qoshor sholat, (Q.S. An-Nisaa’ : 101) Sebagian orang menganggap safar lah yang menjadi asbab dibolehkannya jamak dan qoshor.

Namun dalam hadits Ibnu Abbas Ra. berkata : ‘Rasulullah s.a.w.  pernah menjama’ sholat dzuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya’ di Madinah tanpa disebabkan faktor takut diserang (khauf) atau hujan. Beliau ditanya apa sebabnya, lalu beliau menjawab : “agar tidak menyulitkan umatnya” (H.R. Muslim).

Maka tidak boleh men-jamak shalat pada asbab lain selain safar. Sedangkan yang lainnya mengatakan sebagaimana diisyaratkan dalam hadits bahwa asbab dibolehkannya men-jamak  shalat adalah “agar tidak menyulitkan umat ku”. Maka yang menjadi asbab adalah “kesulitannya”. Maka men-jamak  shalat dibolehkan jika timbul kesulitan seperti kesibukan misalnya operasi pasien, peperangan yang dahsyat, cuaca sangat dingin, dll. Hal ini sebenarnya dibuktikan dengan adanya hadits-hadits mengenai hal ini. Namun tetap saja ada pro dan kontra dengan alasannya masing-masing. Maka kita tidak boleh membid’ahkan pihak lain yang tidak setuju dengan asbab dari sebuah ibadah, karena masing-masing boleh dikatakan memiliki pijakan dalil.

Mengubah Perincian Ibadah, Dari Sisi Jenisnya, Belum Tentu Bid’ah Dlolalah

Syaikh ‘Utsaimin mencontohkan ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya, jika tidak, maka termasuk bid’ah (maksudnya bid’ah dlolalah).    Contoh  :  seseorang  menyembelih  kuda  untuk  kurban  adalah  tidak  sah,  karena menyelisihi  syari’at  dalam  ketentuan  jenis  hewan  kurban,  yang  disyari’atkan  hanyalah  unta, sapi dan kambing.

Kami sepakat bahwa petunjuk syariat perihal perincian jenis harus dipertahankan, sepanjang situasi memungkinkan terlaksananya hal itu. Namun bagaimana jika di suatu wilayah tidak dikenal ada unta sapi dan kambing? Andaikan ada umat Islam di wilayah kutub utara atau Alaska (memang ada umat Islam di Alaska) yang di situ hanya ada kijang? Apakah mereka harus mengimpor sapi dan kambing dulu baru bisa melaksanakan qurban?

Maka dalam situasi demikian, syari’at dituntut untuk fleksibel karena agama ini diturunkan bukan untuk menyulitkan umatnya. Kaidah ushul fiqih mengatakan : taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminati wa al-amkan (perubahan hukum dimungkinkan karena perubahan tempat dan waktu)

Dan hal ini lah yang dilakukan oleh Sahabat Rasulullah yaitu Mu’adz bin Jabal r.a.

Dari Abu Namir dari ‘Atha bin Yasar dari Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah s.a.w. mengutusnya ke Yaman dan bersabda kepadanya: “Ambillah biji dari biji, domba dari kambing, unta dari unta dan sapi dari sapi.” (H.R. Ibnu Majah No. 1804)

Namun pertimbangan situasi mungkin karena desa yang didatangi bukan petani dan peternak melainkan penenun. Selain itu penduduk Madinah sudah tercukupi dalam hal pangan dan ternak, namun masih kekurangan dalam sandang (pakaian). Maka Muadz bin Jabal r.a. melakukan inisiatif yang menyelisihi perintah Rasulullah s.a.w ketika mengutusnya ke Yaman. Ia memungut zakat berupa tombak dan pakaian.

Dari Thawudz dari Mu’adz bin Jabal r.a. ia berkata : “Berikan kepada saya tombak atau pakaian (yang mereka bikin sendiri) sebagai ganti jagung dan gandum yang harus saya pungut dari kalian, jarena hal itu lebih meringankan laian dan lebih bermanfaat bagi orang-orang Muhajirin di Madinah” (Atsar R. Bukhari dan Baihaqi)

Secara sepintas Mu’adz telah menyelisihi perintah Rasul. Namun Mu’adz berani melakukan modifikasi ini dengan pertimbangan bahwa maqoshid syar’i (tujuan diberlakukan hukum) dari zakat tetap terpenuhi yaitu untuk membersihkan dan mensucikan harta, walaupun bentuknya tidak persis seperti perintah Rasulullah s.a.w. Apakah hal ini ada dalilnya? Jelas tak ada dalil hadits yang memerintahkan memungut dalam bentuk tombak dan pakaian. Namun apakah ini bid’ah yang dlolal? Tentu saja bukan bid’ah. Apakah ini tetap tegak di atas sunnah? Tentu saja hal ini termasuk tetap tegak di atas sunnah walaupun menyelisihi perintah Rasululllah s.a.w.

Orang yang gagal memahami hal ini akan serta merta menuduh bid’ah jika ada hal baru dari segi jenis. Misalnya saja ada yang menganggap bid’ah zakat memakai uang kertas karena uang kertas baru ada setelah kekhilafahan Utsmani runtuh dan tidak ada contohnya pada zaman Nabi s.a.w. maupun zaman Khulafaur Rasyidin dan Tabi’in

Mengubah Perincian Ibadah, Dari Sisi Kadar Bilangannya Belum Tentu Bid’ah Dlolalah

Syaikh Utsaimin memberi contoh bahwa kadar (bilangan) ibadah harus sesuai dengan bilangan / kadarnya yang ditunjukkan oleh nash syariat, jika menyelisihinya maka  termasuk  bid’ah.  Contoh  :  seseorang  sholat  dhuhur  5  rakaat,  dengan  menambah  bilangan sholat tersebut. Dalam contoh kasus shalat memang harus demikian adanya.

Namun untuk masalah lain, seperti misalnya masalah jarak dibolehkannya men-jamak shalat dalam kondisi musafir, terdapat banyak dalil yang berbeda-beda. Dari mulai 3 mil, 5 farsakh sampai 80 kilometer, bahkan ada yang hanya mengambil patokan batas kota. Masing-masing berpijak pada dalil. Maka salah satu pihak tidak boleh menganggap pihak lain sebagai pelaku bid’ah, gara-gara merasa penafsirannyalah yang berada di atas sunnah, sedangkan penafsiran orang lain dianggap tidak memiliki dalil.

Demikian pula hal ini tidak bisa diterapkan dimana ada hal-terjadi ke-samar-an dalam dalil yag ada, Dalam beberapa kasus ada jelas contohnya dari Rasulullah s.a.w.  namun karena pertimbangan tertentu, pada suatu situasi dan masa tertentu berbeda pelaksanaannya. Hal ini terjadi pada para sahabat Nabi s.a.w.

Misalnya dalam kasus hukuman  cambuk bagi  peminum   khamr. Pada masa Rasulullah s.a.w menderanya / mencambuk pemabuk dengan 40 kali. Namun pada masa Khalifah Umar bin Khattab-atas saran Abdurrahman bin ‘Auf menderanya 80 kali. Karena saat itu dianggap orang masih kurang jera dengan cambuk 40 kali.

Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun telah memberitakan kepada kami Sa’id bin Abu ‘Arubah dari Abdullah Ad Danah dari Hudhain bin Al Mundzir bin Al Harits bin Wa’lah bahwa Al Walid bin Uqbah mengimami orang-orang pada shalat subuh empat raka’at, kemudian dia menoleh kepada mereka dan berkata; “Saya sengaja menambahnya.” Hal itu disampaikan kepada Utsman, maka dia menyuruh agar dijilid. Ali berkata kepada Al Hasan bin Ali; “Bangunlah Wahai Hasan! dan jilid!” Dia menyanggahnya; “Kenapa dengan anda?” Ali menjawab; “Kenapa kamu lemah dan loyo? Wahai Abdullah bin Ja’far, jilidlah dia!” Abdullah bin Ja’far bangkit dan menjilidnya, sedang Ali menghitungnya. Tatkala sampai pada hitungan empat puluh, dia berkata; “Tahan!” lalu dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memukul pada masalah minum khamer empat puluh kali, Abu Bakar juga demikian, dan Umar sampai pada masa pertengahan kekhilafahannya, kemudian dia menyempurnakannya menjadi delapan puluh kali keduanya adalah sunnah.” (H.R. Ahmad 1167)

Demikian pula dalam kasus diyat (denda) untuk pengganti qishash terpotongnya jari-jari,

Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda tentang diyat jari-jari kedua tangan dan kaki: “Diyatnya sama yaitu sebesar sepuluh ekor unta pada setiap jari.” (H.R. Tirmidzi No, 1311) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih.

Maka pendapat Rasulullah ini diikuti oleh Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Musayyab,  Sufyan Ats-Tsauri, Imam Syafi’i, Imam Ahmad ,Ibnu Ishaq dll dimana diyat 10 unta untuk 1 jari, 20 unta untuk 2 jari, 30 unta untuk 3 jari dst. Namun suatu ketika Umar bin Khattab r.a. membedakan diyat antara satu jari dengan jari lainnya, untu jari tengah 10 unta untuk jari manis 9 unta dan jari kelingking hanya 6 unta. Demikian pula Muhahid menetapkan 15  unta untuk diyat terpotongnya Ibu Jari. (Ibnu Rusydi,  Bidayatul Mujtahid Bab Ad-Diyat , Juz III hal 594)

Contoh di atas merupakan Ijtihad para sahabat yang menyelisihi nash dalil yang jelas dari Rasulullah s.a.w. Namun ijtihad sahabat terlebih yang termasuk Khulafa’ur Rasyidin tidak bisa dianggap sebagai bid’ah walaupun ia menyelisihi nash, karena beliau mungkin memiliki alasan lain yang kita tidak paham dan ilmu beliau jauh berada di atas generasi berikutnya. Selain itu karena Rasulullah s.a.w. terlah bersabda bahwa hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin (Khalifah yang mendapat petunjuk), gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R. Tirmidzi No. 2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No 16522) atau kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin (H.R. Darimi No. 95) Jika Anda menganggap beliau melakukan bid’ah yang dlolal berarti beliau akan masuk neraka. Padahal Rasulullah s.a.w menjamin Umar bin Khattab r.a. masuk surga.

Mengubah Perincian Ibadah, Dari Sisi Kaifiyatnya Belum Tentu Bid’ah Dlolalah

Syaikh Utsaimin memberi contoh dalam kasus kaifiyat  (cara) berwudlu ,  seandainya  seseorang  berwudhu  dengan  cara  membasuh  kaki  terlebih  dahulu kemudian tangan, maka tidak sah wudhunya, karena menyelisihi kaifiyat wudhu’.

Kami sepakat dengan hal ini sepanjang semua dalil yang ada menunjukkan atau menjelaskan satu macam kaifiyat (tata cara) ibadah saja tanpa bisa ditafsirkan lain. Sayangnya, dalam masalah detil teknis pelaksanaan ibadah (sebagaimana juga masalah fiqih lainnya) terdapat rincian kaifiyat yang berbeda-beda.

Perbedaan itu ada beberapa kemungkinan :

  1. Daya tangkap dan penafsiran sahabat Nabi s.a.w. yang berbeda-beda
  2. Proses penyampaian hadits yang bisa jadi sebagian berubah atau tidak utuh lagi
  3. Bisa jadi, Rasulullah s.a.w. kadang melakukan begini dan di waktu lain melakukan dengan cara yang berbeda, maka hal ini merupakan pilihan dan keleluasaan serta keluwesan Islam.
  4. Bisa jadi, Rasulullah s.a.w. kadang melakukan begini dan di waktu lain berbeda karena situasi yang berbeda

Namun dalam hal tertentu kita jumpai kasus dimana , petunjuk kaifiyatnya sudah jelas dari Nabi s.a.w. namun sahabat Nabi s.a.w. melakukan inovasi dan modifikasi, dan hal itu tidak disalahkan oleh Nabi s.a.w. padahal hal itu merupakan ibadah mahdhoh yang termasuk rukun Islam yang 5.

Shalat  Ashar di Bani Quraidzhah

Sebagai contoh : perbedaan penafsiran antara yang berpegang pada zhahir teks dalil dan yang berpegang pada konteks (makna tersirat).

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Asma’ berkata, telah menceritakan kepada kami Juwairiyah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar berkata, “Nabi s.a.w. bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari perang Ahzab: “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian shalat ‘Ashar keculi di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka masih di jalan, sebagian dari mereka berkata, ‘Kami tidak akan shalat kecuali telah sampai tujuan’, dan sebagian lain berkata, ‘Bahkan kami akan melaksanakan shalat, sebab beliau tidaklah bermaksud demikian’. Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi s.a.w., dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka.” (H.R. Bukhari No. 894)

Pada hadits di atas dapat kita lihat bahwa perbedaan pendapat dalam penafsiran dalil bisa terjadi, bahkan ketika Rasulullah s.a.w. masih hidup. Para ulama pun berbeda pendapat mana yang lebih benar dari dua kelompok sahabat ini? Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa yang benar adalah yang shalat ashar di jalan (yaitu yang berpegang pada konteks bukan pada zhahir teks).

Mandi Junub Bagi Yang Sakit

Contoh kedua terjadi pada kasus mandi junub, dimana kebanyakan sahabat berpegang pada makna harfiyah atau zhahirnya dalil, dimana orang yang junub harus mandi.

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Abdurrahman Al-Anthaki telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah dari Az-Zubair bin Khuraiq dari ‘Atha` dan Jabir dia berkata; Kami pernah keluar dalam sebuah perjalanan, lalu salah seorang di antara kami terkena batu pada kepalanya yang membuatnya terluka serius. Kemudian dia bermimpi junub, maka dia bertanya kepada para sahabatnya; Apakah ada keringanan untukku agar saya bertayammum saja? Mereka menjawab; Kami tidak mendapatkan keringanan untukmu sementara kamu mampu untuk menggunakan air, maka orang tersebut mandi dan langsung meninggal. Ketika kami sampai kepada Nabi s.a.w., beliau diberitahukan tentang kejadian tersebut, maka beliau bersabda: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak mengetahui, karena obat dari kebodohan adalah bertanya! Sesungguhnya cukuplah baginya untuk bertayammum dan meneteskan air pada lukanya -atau- mengikat lukanya.” (H.R. Abu Daud No. 284)

Kita tidak mengingkari dan mencela orang yang terpaku dan tidak berkutik di hadapan makna harfiyah dari teks dalil. Karena terbukti orang-orang seperti ini ada, dan hal itu sudah terjadi sejak jaman sahabat dan Rasulullah s.a.w. masih hidup. Pada kasus di atas zhahir teks dalil Q.S. Al-Maidah : 6 hanya menunjukan asbab diberlakukan tayamum karena tidak ada air, tak ada petunjuk bahwa tayamum boleh diterapkan pada orang yang sakit. Maka sahabat berfatwa bahwa ia harus tetap mandi karena masih ada air. Maka ternyata penafsiran sahabat ini salah.

Hanya saja pada kasus di atas, kesalahan penafsiran bisa langsung dikoreksi oleh Nabi s.a.w. sebagai otoritas pembuat syari’at. Sedangkan kini, tidak ada satupun yang berhak mengklaim dirinya sebagai pemegang otoritas tunggal dalam menafsiri teks dalil. Maka kita tidak bisa membid’ahkan seseorang yang berbeda pemahaman dan berbeda penafsiran, sepanjang dia masih memiliki sandaran pada nash syari’at.

Seseorang Menambahkan Doa Karangan Sendiri Saat Bangkit Dari Ruku

Dari Rifa’ah ibn Rafi’, r.a. berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah s.a.w.. Ketika beliau bangun setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata: Rabbana walakalhamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih.  Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah” Lalu Rasulullah berkata: “Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.(H.R. Bukhari No. 799 Nasa’i No 1016, Abu Daud No. 770, Ahmad No. 19018, Ibnu Khuzaimah No. 614)

Pada hadits di atas Rasulullah s.a.w. mendengar seseorang berdoa dalam shalatnya dan terdapat isyarat bahwa doa ini belum pernah diajarkan atau dicontohkan Rasulullah s.a.w. sebelumnya, terbukti dari perkataan pada hadits ini bahwa Nabi s.a.w. bertanya  “ siapa di antara kalian tadi yang berbicara begitu?” Bila hal itu sesuatu yang diketahi orang banyak dan telah diajarkan Nabi s.a.w. maka pasti Nabi tidak perlu bertanya apa-apa padad orang  orang. Dan ternyata Nabi s.a.w. membenarkan bahkan memuji doa itu karena redaksinya memang baik.

Lalu apakah ini perkara agama? Jawabnya : Ya. Apakah ini belum pernah dilakukan Nabi s.a.w.? Jawab : Ya, belum pernah. Lalu apakah ini ada landasan dalilnya? Jawabnya : Tidak, ini adalah inisiatif Mu’adz r.a. Lalu apakah ini bid’ah yang dlolalah? Jawabnya : Jika Mu’adz r.a. melakukan bid’ah dlolalah berarti ia sesat dan masuk neraka, padahal ia adalah salah satu sahabat yang dijamin masuk surga.

Ibnu Umar r.a. Menambahkan Doa Karangan Sendiri Saat Talbiyah

Ibnu Umar r.a. meriwayatkan doa talbiyah yang diajarkan Rasulullah s.a.w. adalah “Labaikallahumma labaik, Labaika Laa Syarika laka labaik, Innal Hamda wa ni’mata laka wal mulk laa syarikalak” Lalu Ibnu Umar berdoa : “Labaikalabaika wa saidaika wal khairu biyadaik labaik warraghba’u ilaika wal ‘amal” (Atsar.R.  Bukhari Juz 2 Hal 170, Muslim No. 1184, Abu Daud No. 1812)

Dalam atsar Ibnu Umar r.a. di atas jelas bahwa Ibnu Umar menambahkan doa karangan sendiri setelah doa talbiyah yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. tentu saja doa ini tidak ada pada masa Rasulullah s.a.w. Maka ini jelas modifikasi atas kaifiyat ibadah yang telah jelas ada petunjuknya dari Rasulullah s.a.w. Lalu apakah ini perkara agama? Jawabnya : Ya. Apakah ini belum pernah dilakukan Nabi s.a.w.? Jawab : Ya, belum pernah. Lalu apakah ini ada landasan dalilnya? Jawabnya : Tidak, ini adalah inisiatif Ibnu Umar r.a. Lalu apakah ini bid’ah yang dlolalah? Jawabnya : Jika Ibnu Umar r.a. melakukan bid’ah dlolalah berarti ia sesat dan masuk neraka, padahal ia adalah salah satu sahabat yang dijamin masuk surga.

Mengubah Perincian Ibadah, Dari Sisi Waktu Pelaksanaan, Belum Tentu Bid’ah Dlolalah

Syaikh Utsaimin mencontohkan bid’ah dari segi raktu, yaitu seandainya ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama  bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, karena waktunya tidak sebagaimana yang diperintahkan.  Kami sepakat pada kasus ini. Untuk ibadah-ibadah yang telah ditetapkan waktunya maka hal itu tak dipungkiri lagi tidak boleh diubah. Kecuali memang ada petunjuk lain, misalnya dalam kasus shalat, jika situasi tertentu boleh dijamak.

Namun untuk hal tertentu dimana dalil mengenai ketetapan waktu itu dipahami bukan sebagai kewajiban melainkan sebagai mustahab (lebih disukai) maka hal ini boleh diubah sesuai kondisi dan situasi. Misalkan waktu pelaksanaan jumroh dimana disunnahkan setelah dzuhur, namun jika 3-4 Juta orang serentak melaksanakan pada waktu yang sama, akan terjadi musibah seperti tragedi terowongan Mina. Maka tidak mengapa jika penguasa mengatur penjadwalan pelaksanaan jumroh dari sejak subuh (setelah mabit di Mina) hingga waktu dzuhur. Hal ini demi mempertimbangkan kemaslahatan dan keselamatan umum. Demikian pula hal ini demi memenuhi maqoshid syar’i yaitu terwujudnya keselamatan jiwa.

Demikian pula untuk pelaksanaan shalat jum’at dan shalat ‘Id, di negeri-negeri yang jumlah muslimnya minoritas, dan sarana ibadah sangat terbatas, maka dapat dilakukan penyesuaian seperlunya dengan tetap mengindahkan dalil syar’i. Misalnya shalat jum’at dilaksanakan 2X di Pakistan. Atau shalat ‘Id di London dilaksanakan 8 X dengan waktu berbeda. Namun itu semua masih dalam koridor waktu yang dimungkinkanmenurut dalil syar’i. Dan tentu ini bukanlah bid’ah dlolalah (sesat)

Mengubah Perincian Ibadah, Dari Sisi Tempat Pelaksanaan, Belum Tentu Bid’ah Dlolalah

Syaikh Utsaimin mencontohkan bid’ah dari segi tempat, seandainya seseorang beri’tikaf bukan di Masjid, maka tidak sah I’tikafnya, karena I’tikaf hanyalah disyari’atkan di masjid, tidak pada selainnya.  Kami sepakat pada kasus ini sepanjang hal itu memungkinkan untuk diterapkan.

Sedangkan dalam kasus situasi tidak memungkinkan untuk dilaksanakan karena perubahan zaman dan waktu, terlebih jika menyangkut keselamatan dan kemaslahatan umum, tidak menutup kemungkinan syari’at dapat melakukan penyesuaian.

Contohnya pada pelaksanaan tempat miqot pada ibadah haji. sesuai hadits Rasulullah s.a.w. orang yang berhaji datang dari arah timur harus melakukan miqot (start dengan cara mandi, shalat 2 rakaat lalu memakai pakaian ihram ) di Yalamlam sebuah bukit di Thuhaah 80 km  sebelah Timur Mekah

Dari Ibnu Abbas r.a. : “Rasulullah s.a.w. telah menentukan tempat wajib ihram bagi tiap-tiap pihak yaitu bagi ahli MAdinah dari Zul Hulaifah, bagi ahli Syam dari Juhfah, bagi Ahli Najdi (Nejd) dari Qarnul Manazil dan bagi Ahli Yaman dari Yalamlam. Beliau s.a.w. bersabda : “Tempat empat itu untuk penduduk negeri-negeri tersebut da orang yang datang ke negeri-negeri itu bermaksud untuk beribadah haji dan umarah. Adapun orang yang negerinya lebih dekat ke Mekah maka miqatnya dari negerinya masing-masing sehingga bagi ahli Mekah miqat mereka adalah negeri Mekah” (H.R. Bukhari Muslim)

Dan para sahabat sejak dahulu tidak ada yang berani mengubah ketentuan miqot ini

Ibnu Al Arabi menceritakan dari Az-Zubair bin Bakkar, ia berkata: Aku mendengar Malik bin Anas berkata —ketika seseorang bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abdullah! Dari mana aku harus berihram?’ Dijawab: “Dari Dzul Khulaifah, bagaimana Rasulullah SAW berihram dari tempat tersebut.” Orang itu lalu berkata, “Aku ingin berihram dari masjid.” Ia berkata,” Jangan kamu lakukan.” Orang tersebut berkata, “Aku ingin berihram dari masjid di dekat makam.” Ia berkata, “Jangan kamu lakukan, karena aku khawatir akan turun fitnah atas dirimu.” Orang itu bertanya, “Fitnah apa? Bukankah aku hanya menambah beberapa mil.” Ia menjawab, “Fitnah apa yang lebih besar dari dirimu yang telah mendahului keutamaan yang tidak diperintahkan Rasulullah s.a.w.? Sesungguhnya aku mendengar Allah berfirman, ‘Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih’.” (Disebutkan oleh Imam Syatibi dalam Al-Ittishom hal 138)

Namun pesawat masa kini melewati Yalamlam dan mendarat di Jeddah. Apakah ia kembali berjalan dari Jeddah ke Yalamlam Ataukah ia miqot di Jeddah? Atau ia miqot di atas pesawat?? Maka hal ini jelas perkara bid’ah tidak hanya belum ada di masa Nabi s.a.w. namun juga menyelisihi syari’at.

Jika kita bersikeras untuk miqot saat berada di titik Yalamlam, maka pada saat bersamaan (sekitar 400 s/d 600 orang dalam pesawat) harus mengantri mandi, shalat 2     rakaat dan memakai pakaian ihram, sedangkan kamar mandi di pesawat hanya ada 6 s/d 8 buah. Jelas hal ini tidak mungkin dilaksanakan. Maka diambilah keringanan dan kaidah dalam ushul fiqih yang disebut dengan “istishan” (memilih 2 qiyas/analogi  yang lebih baik).

Maka dengan kaidah istishan ini dibolehkan untuk miqot dari Jeddah atau Riyadh sesuai dengan tempat mendarat pesawat. Hal ini dengan mengqiyaskan seolah jamaah haji itu setelah mendarat di airport maka dia dianggap jamaah dari negeri sekitar mekah yaitu berasal dari Riyadh atau Jeddah sehingga boleh miqot dari kota itu, dan bukan dianggap jamaah dari Indonesia walaupun passportnya dari Indonesia. Maka hal ini sesuai dengan sabda Rasul s.a.w

Adapun orang yang negerinya lebih dekat ke Mekah maka miqatnya dari negerinya masing-masing sehingga bagi ahli Mekah miqat mereka adalah negeri Mekah” (H.R. Bukhari Muslim)

Mengkhususkan Dan Merutinkan Sesuatu Bukan Selalu Menyerupai Syari’at

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan memerinci bid’ah dalam ibadah mahdhoh salah satu ciri nya adalah menghususkan suatu ibadah yang disyari’atkan (apalagi yang tidak disyaria’atkan), sedangkan syari’at tidak pernah mengkhususkan hal itu.

Namun dalam contoh kasus lainnya, misalkan seseorang mengkhususkan menghafal Al-Qur’an setiap malam senin, maka membaca Al-Qur;an adalah ibadah, namun pengkhususan pada hari tertentu itu bukan diniatkan untuk menjadikan ia menyerupai syari’at dan jelas hal ini memang tidak ada dalilnya. Melainkan pengkhususan dan perutinan itu hanyalah  masalah  penjadwalan saja dalam aktifitas hidupnya. Maka ini bukanlah bid’ah yang dlolalah.

Dalam kasus lain dikisahkan Ibnu Taimiyah telah mengkhususkan dan merutinkan suatu cara ia berdoa sementara hal itu belum pernah dilakukan oleh orang lain sebelumnya.

Salah seorang murid Ibnu Taimiyyah bernama Umar bin Ali Al-Bazzar berkata : “Apabila Ibnu Taimiyyah selesai shalat subuh maka ia berdzikir kepada Allah bersama jamaah dengan doa yang datang dari Nabi s.a.w. yaitu : “Allahumma antas salaam wa minkas salaam tabarakta ya dzaljalali wal ikrom. Lalu beliau menghadap kepada jamaah lalu membaca tahlil-tahlil yang datang dari Nabi s.a.w. lalu tasbih, tahmid dan takbir masing-masing 33 kali, dan diakhiri dengan tahlil sebagai bacaan yang keseratus. Ia membacanya bersama jamaah yang hadir. Kemudian ia berdoa kepada Allah ta’ala untuk dirinya dan jamaah serta kaum muslimin. Kebiasaan Ibnu Taimiyyah sudah dimaklumi, ia sulit diajak bicara setelah shalat subuh kecuali terpaksa. Ia akan terus berdzikir pelan cukup didengar sendiri dan terkadang dapat didengar oleh orang yang ada di sampingnya. Di tengah-tengah dzikir itu ia sering mengarahkan pandangannya ke langit dan ini kebiasaannya hingga matahari naik dan waktu larangan shalat habis. Aku selama tinggal di Damaskus selalu bersamanya siang dan malam. Ia sering mendekatkan ku kepadanya sehingga aku duduk di sampingnya. Pada saat itu aku selalu mendengar apa yang dibacanya dan yang dijadikannya sebagai dzikir. Aku melihatnya membaca Al-Fatihah mengulang-ulangnya dan menghabiskan seluruh waktunya dengan membacanya yakni dengan mengulang-ulang Al-Fatihah sejak selesai shalat subuh hingga matahari naik. Dalam hal ini aku merenung mengapa ia hana rutin membaca Al-Fatihah dan tidak yang lainnya ? Akhirya aku tahu bahwa ia bermaksud menggabungkan antara keterangan dalam berbagai hadits dan apa yang disebutkan para ulama yaitu : “Apakah pada saat itu disunnahkan mendahulukan dzikir dzikir yang datang dari Nabi s.a.w. daripada Al-Qur’an atau sebaliknya?” Beliau berpendapat bahwa dalam membaca dan mengulang-ulang Al-Fatihah ini berarti menggabungkan antara dua pendapat dan meraih dua keutamaan, ini termasuk bukti kecerdasan dan pandangan hatinya yang jitu “ (Al-A’lam Al-‘Aliyyah fii Manaqib Ibnu Taimiyyah Hal 37-39)

Bersambung Jilid 6…

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 4)

APA YANG DIMAKSUD DENGAN PERKARA AGAMA DALAM KONTEKS BID’AH?

Oleh : Abu Akmal Mubarok

  Belajar Qur'an 05

Orang yang paling ngotot dengan perkataan “kullu bid’atin dlolalah (semua bid’ah yaitu dalam makna bahasa maksudnya adalah semua yang baru yang tak ada contoh sebelumnya, adalah sesat) ketika dikatakan bagaimana dengan mobil? Bagaimana dengan telepon? Bagaimana dengan pesawat terbang? Apakah semua itu bid’ah? Mereka akan menjawab : “Itu kan bukan perkara agama, maka ya tidak bid’ah”.

Lho katanya “kullu”? Katanya “setiap dan semua?” Jadi sekarang hanya dibatasi masalah agama saja? Oke, berarti kita sepakat bahwa makna bid’ah di sini minimal telah ditakhsish (dikhususkan dan dikecualikan) hanya dalam perkara agama saja.

Sudah jelas? Selesai ?! Tentu saja masih jauh dari kata “selesai”. Apa yang dimaksud dengan perkara agama? Sebagian orang confused (rancu) tercampur baur antara perkara yang benar-benar perkara agama dengan hal-hal yang berkonotasi agama atau “diduga” atau “disangka” sebagai agama. Padahal orang yang melakukannya tidak bermaksud demikian dan hanya bersifat tradisi saja. Sementara orang yang menghakiminya melihat dari tampilan luar lantas menyimpulkan bahwa hal ini adalah perkara agama.

Apa Yang Dimaksud Dengan Perkara Agama Dalam Konteks Bid’ah?

Kita telah membatasi bahwa yang dimaksud perkara baru (muhdats) dalam pembahasan bid’ah adalah terbatas pada perkara baru di bidang agama. Kelihatannya definisi ini sederhana dan mudah dipahami. Namun kadangkala orang berbeda pendapat apakah suatu perkara termasuk perkara agama atau tidak. Oleh karena itu mari kita bahas masalah ini secara lebih detil.

Istilah agama adalah bahasa sansekerta. Dalam bahasa Al-Qur’an urusan agama ini disebut dengan “diin”. Dan dalam konteks pembicaraan bid’ah ini, patokan yang menunjukkan bahwa perkara baru yang disebut bid’ah atau bukan bid’ah diisyaratkan  dengan perkataan“fii amrina” dan “laisa alaihi amruna” (urusanku atau urusan kami).

Dalam hadits lain jelas-jelas Rasulullah s.a.w. mengaitkan “muhdats” dengan kata “ad-diin” (agama).

Dari Al Hasan Rasulullah s.a.w. bersabda “Apabila kamu ingin tidak tertahan dijembatan Shiratul Mustaqim, walaupun sekejap mata, hingga kamu masuk surga, falaa tahdatsu fii diinillah maka janganlah kamu membuat sesuatu yang baru dalam agama Allah dengan pendapatmu (H.R. Imam Syatibi menyebutkan dalam Al-Ittsihom hal 58)

Jika kita mengambil makna diin di sini maka batasannya akan luas dan bahkan sangat luas. Maka untuk menjawab apa yang dimaksud dengan perkara diin di sini, kita harus bertanya kapan Rasulullah s.a.w.mengatakan “ini adalah urusanku”? Ataukah kapan Rasulullah s.a.w. menuntut untuk mengembalikan suatu persoalan itu kepada beliau?

Petunjuk mengenai hal ini terdapat dalam beberapa hadits sebagai berikut :

Suatu ketika para sahabat yang melakukan perjalanan dengan Rasulullah s.a.w. lalu bangun kesiangan dan terlambatnya shalat subuh, lalu sebagian mereka terus menyesali perkara itu dan terus mengatakan “kita telah menyia-nyiakan shalat kita”

Selanjutnya Rasulullah S.a.w. naik kendaraan dan kami pun naik. Sebagian dari mereka berkata kepada yang lain; ‘Kita telah menyia-nyiakan shalat kita.’ Rasulullah S.a.w. bersabda: ” maa taqulun (apa yang kamu katakan?) Inkana amro dunyakum fasya-anukum wa inkana amro diinikum fa-ilayya (Bila urusan dunia, itu terserah kalian, tapi bila urusan agama, maka kembalikanlah kepadaku).” (H.R. Ahmad No. 21506) Hadits ini maushul (bersambung sampai Nabi) dan seluruh perawinya tsiqoh.

Pada hadits berikutnya terjadi ketika masalah menyetek atau mengawinkan pohon kurma :

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Affan berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad berkata, telah menceritakan kepada kami Tsabit dari Anas bin Malik dan Hisyam bin Urwah dari Bapaknya dari ‘Aisyah berkata; “Nabi s.a.w. mendengar suara-suara, beliau lalu bertanya, “Suara apa ini?” para sahabat berkata, “Kurma yang mereka kawinkan.” Beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan (tetap) baik.” Maka, pada tahun itu para sahabat tidak lagi mengawinkan hingga kurma-kurma mereka rusak. Mereka kemudian menyampaikan hal itu kepada Nabi s.a.w. beliau lalu bersabda: Inkaana syaian min amro dunyakum fasya-anukumbih wa inkaana min amro diinikum fa-ilayya” (segala sesuatu menyangkut urusan dunia kalian maka itu urusan kalian, tetapi jika menyangkut urusan agama kalian maka kembalikanlah kepadaku).” (H.R. Ibnu Majah No. 2462) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih

Telah menceritakan kepada kami Affan, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, dai berkata; telah mengabarkan kepada kami Tsabit dari Anas dan Hisyam bin ‘Urwah dari ‘Urwah dari Aisyah bahwa Nabi s.a.w. pernah mendengar suara-suara, maka beliau bersabda: Inkaana syaian min amro dunyakum fasya-anukumbih wa inkaana min amro diinikum fa-ilayya “(segala perkara dunia kalian, maka terserah kalian, namun dari perkara agama kalian maka kembalikanlah kepadaku)” (H.R. Ahmad No. 23773) Hadits ini maushul (bersambung sampai Nabi) dan semua perawinya tsiqoh

Dari hadits ini kita dapat menangkap bahwa apa-apa yang menyangkut perkara agama adalah urusan Rasulullah s.a.w atau hal ini sama dengan perkataan “fii amrina” atau “amruna”. Sedangkan yang apa-apa yang Rasulullah s.a.w. tidak ikut campur (karena tak ada pengaturan Allah di situ) maka hal itu diserahkanpada kita, dan bukan termasuk perkara agama.

Apa-Apa Yang Ada Pengaturan Allah dan RasulNya di situ Maka Itu Termasuk Agama atau Syari’at

Maka apa yang dimaksud dengan “perkara agama” di sini maksudnya adalah hal-hal yang tasyri’ (hal-hal yang ada aturan syari’at di dalamnya) baik itu urusan ibadah mahdhoh (ritual) atau pun ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Sedangkan hal-hal yang tidak tak terdapat aturan syariat di dalamnya (ghoiru tasyri), maka hal itu diserahkan pada kita dan bukan termasuk urusan agama. Jadi yang diserahkan pada kita adalah hal-hal yang Allah mendiamkannya dan tidak mengaturnya.

Rasulullah s.a.w.bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban , maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan, maka jangan kamu langgar dia; (H.R. Daraquthni)

Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir r.a. dia berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w.  bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. (H.R. Bukhari Muslim)

Apakah pakaian termasuk perkara agama? Ya dan tidak. Model pakaian bukan perkara agama, teknologi membuat pakaian bukan perkara agama. Namun batasan menutup aurat dan aturan kesopanan dalam berpakaian, karena ada aturan Allah di situ, maka itu termasuk perkara agama.

Apakah makanan termasuk perkara agama? Ya dan tidak. Jenis makanan yang dimakan ada aturannya maka itu termasuk perkara agama. Sedangkan bagaimana cara memasak, apa bumbunya, bagaimana mengawetkannya, dan hal-hal lain yang di situ tak terdapat aturan syari’at maka hal itu bukan termasuk perkara agama.

Sebagai contoh Umar mengaitkan urusan makan dengan perkara menyelisihi sunnah

Diriwayatkan dari Ibnu Al Mubarak dari Umar bin Khaththab r.a. : “Bahwa Yazid bin Abu Sufyan pernah makan beraneka ragam makanan, maka Umar berkata kepada maulanya —bernama Yarfa’—, “Jika kamu mengetahui waktu makan malamnya telah tiba, beritahu aku.” Ketika ia menghidangkan makan malamnya, ia pun memberitahu Umar dan Umar mendatanginya sambil mengucapkan salam kepadanya, kemudian meminta izin untuk masuk dan ia diizinkan masuk. Makan malamnya lalu dihidangkan, yang terdiri dari bubur dan dagjng, maka Umar ikut makan bersama dengannya. Kemudian dihidangkan daging tulang hasta, maka Yazid mengulurkan tangannya (untuk mengambil), namun Umar menahannya sambil berkata, “Demi Allah, wahai YazkJ bin Abu Sufyan, apakah diajarkan makan setelah makan? Demi Dzat yang jiwa Umar ditangan-Nya, apabila kamu menyelisihi Sunnah mereka maka kamu akan dipalingkan dari jalan mereka.”  (Disebutkan oleh Imam Syatibi dalam Al-Ittishom hal 67)

Dalam urusan jual beli, hal ini termasuk muamalah (hubungan antar manusia) sehingga termasuk ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Namun agama (diin) dalam hal ini ada mengatur di dalamnya. Ada larangan untuk riba, ada larangan untuk curang dalam timbangan, ada larangan menimbun barang, dan lain-lain aturan yang sangat  banyak. Maka untuk hal-hal yang di dalamnya ada aturan agama, itu adalah termasuk perkara agama.

Jadi yang disebut perkara agama bukan hanya ibadah ritual saja. Hampir semua hal ada bagian-bagian yang menjadi perkara agama dan ada bagian-bagian yang di situ agama mendiamkannya dan tidak campur tangan, dengan kata lain itu “terserah kalian”.

Apa-Apa Tentang Rukun Iman, Rukun Islam, Surga dan Neraka Adalah Perkara Agama

Rukun Iman yaitu terkait keyakinan dan aqidah yang benar terhadap Allah dan NabiNya, MalaikatNya, Surga dan Neraka, Hari Kiamat, Kitab-Kitabnya, Qadha dan Qadar merupakan perkara agama.

Rasulullah s.a.w. telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (H.R. Ath-Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir No. 1647)

Demikian pula rukun Islam, yaitu terkait dengan ibadah mahdhoh (ritual) yang bersifat ta’abudi (penghambaan) kepada Allah dan dimaksudkan untuk taqarrub (mendekatkan diri ) pada Allah adalah termasuk perkara agama. Sehingga perkara baru yang tidak ada landasannya dalam syari’at terkait rukun Islam ini adalah termasuk bid’ah yang dlolalah.

Sebagai contoh, Rasulullah s.a.w. mengaitkan masalah tatacara shalat dengan bid’ah :

Dari Sulaiman, dari Abdullah Rasulullah s.a.w bersabda “Akan ada orang-orang setelahku yang mengakhirkan shalat dari waktunya dan mereka membuat bid’ah.” Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bagaimana aku harus bersikap apabila aku mendapatkan mereka?” Beliau menjawab, “Kamu bertanya kepadaku wahai anak Ummu Abdullah seharusnya kamu bersikap? Tidak ada ketaatan kepada orang yang bermaksiat kepada Allah.” (H.R. Khaitsamah, Imam Syatibi menyebutkan dalam Al-Ittishom hal. 60)

Demikian juga sahabat yang lainnya mengaitkan ibadah yang terdapat pada rukun iman seperti shalat, zakat puasa, haji sebagai perkara agama yang menjadi obyek pembahasan bid’ah

Diriwayatkan dari Hisyam bin Hassan, ia berkata, “Allah tidak akan menerima puasa, shalat, haji, jihad, umrah, sedekah, dan semua amal yang wajib dan yang sunah, yang dilakukan oleh pelaku bid’ah. —Ibnu Wahab menambahkan— akan datang kepada manusia suatu zaman yang mencampuradukkan antara perkara yang hak dengan yang batil. Jika telah datang maka doa tidak lagi berarti kecuali seperti doa orang yang tenggelam.” (Atsar ini disebutkan oleh Imam Syatibi menyebutkan dalam Al-Ittishom hal. 77)

Rukun Dan Syarat Menuju Rukun Iman dan Rukun Islam Termasuk Perkara Agama

Syarat sahnya shalat ialah menutup aurat, bersuci, menghadap kiblat dan lain sebagainya. Maka komponen yang menjadi rukun shalat dan syarat sahnya shalat merupakan pokok bahasan agama. Karena di situ Allah dan RasulNya mengatur perkara rukun shalat dan syarat sahnya shalat,

Demikian pula untuk puasa, zakat dan haji, maka rukun-rukunnya dan syarat sahnya adalah termasuk perkara agama. Sehingga hal ini termasuk dalam lingkup pembahasan bid’ah atau tidak bid’ah. Jika ada orang yang membuat perkara baru dalam masalah zakat yang tak didasari dalil Al-Qur’an dan Hadits, maka hal itu merupakan bid’ah yang dlolalah.

Metoda Pengajaran Agama Bukan Termasuk Perkara Agama Itu Sendiri

Semua perkara aqidah, rukun iman dan rukun Islam termasuk perkara agama. Sehingga di situ kita boleh meneliti adanya bid’ah yang dlolalah atau tidak. Demikian pula pemahaman mengenai aqidah adalah termasuk perkara agama. Sehingga jika ada cara pandang dan pemahaman yang salah dalam masalah aqidah termasuk dalam penelitian bid’ah yang dlolalah atau tidak.

Namun metoda dan teknik pengajaran aqidah  bukan termasuk perkara agama.Sebagai contoh : Pembahasan ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah bagian dari aqidah dan termasuk perkara agama. Jika ada pemahaman yang salah mengenai Allah, misalnya meyakini bahwa Allah itu memiliki wajah seperti manusia, meyakini Allah itu berkelamin laki-laki, maka hal itu adalah perkara baru, karena Rasulullah s.a.w. belum pernah memiliki keyakinan seperti itu. Sehingga pemahaman Allah memiliki jism (anggota tubuh jasmani) adalah bid’ah dlolalah (sesat).

Namun metoda pengajaran untuk menjelaskan mengenai kekuasaan Allah dengan membagi tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah, tauhid ilahiyah dan tauhid asma wa sifat, itu hanyalah metoda pengajaran sehingga bukan termasuk perkara agama. Tidak perlu dibahas apakah dulu pada jaman Nabi s.a.w. tidak ada metoda pembagian seperti itu. Karena hal ini bukan termasuk wilayah pembahasan bid’ah.

Maka sungguh rancu sebagian pihak yang balik menyerang dengan mengatakan bahwa pembagian tauhid menjadi Tauhid Rububiyah, Tauhid Mulkiyah, Tauhid Uluhiyah serta Tauhid Asma wa Shifat adalah bid’ah karena tidak ada dalilnya. Maka masalah pembagian ini adalah masalah metoda saja dalam menjelaskan pelajaran tauhid. Tidak bisa disalah artikan dengan membagi bagi dzat Allah.

Apa-Apa Yang Allah Halalkan Dan Allah Haramkan Di Situ Ada Agama atau Syari’at

Dalam Al-Qur’an kita jumpai sebuah petunjuk apa yang dinamakan dengan agama

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (wa laa yadiinuna dinnal haqqi) (Q.S At-Taubah [9]: 29 )

Pada ayat di atas persoalan tidak mau mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan RasulNya disebut dengan tidak beragama secara benar wa laa yadiinuna dinnal haqqi. Maka jelas ada isyarat di sini yang dimaksud dengan perkara agama (diin) adalah dimana di situ ada masalah ketentuan halal haram

Kita kembali pada pembahasan yang telah lalu, mengenai penyebutan bid’ah bagi kaum nasrani pada masa Nabi Isa a.s. Allah menyebut mereka sebagai orang yang melakukan bid’ah maka pada ayat yang lain Allah berfirman :

Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa “. (Q.S At-Taubah [9]:31 )

Ketika Nabi ditanya apakah yang dimaksud dengan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah ? Sahabat bertanya, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“  Dalam riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (H.R.Tirmidzi)

Maka lihatlah mengapa Allah menyebut mereka menjadikan para rahib dan pendetanya sebagai Tuhan? Padahal mereka tidak bersujud dan menyembah rahib dan pendeta mereka? Maka Rasulullah s.a.w. menjelaskan bahwa mereka para rahib dan pendeta itu menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, dan para jamaah nya meng-amini saja, meng-iya-kan saja apa yang dilakukan oleh pemuka agama mereka.

Maka di sini dapat disimpulkan bahwa persoalan dimana di situ telah ditetapkan adanya yang halal dan haram oleh Allah, itu adalah syari’at dan itu adalah persoalan agama. Dan siapa yang mengubahnya tanpa landasan dalil syara, maka itu adalah bid’ah yang dlolal (sesat).

dan mereka (yang ) mengharamkan apa yang Allah telah rezki-kan pada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat (Q.S. Al-An’aam [6] : 140).

Jelas pada ayat di atas persoalan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dikaitkan dengan “mengada-adakan sesuatu terhadap Allah” sehingga ini adalah pembahasan bid’ah.

Rasulullah s.a.w.bersabda, “Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (H.R. Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi dan tercantum dalam hadits Arba’in)

Maka persoalan menghalalkan apa yang haram dan mengharamkan apa yang telah ditetapkan halal oleh Allah dan RasulNya itu adalah persoalan mengubah hukum Allah dan bukan persoalan yang sepele. Inilah yang termasuk pada membuat perkara baru (muhdats) dalam agama.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu (Q.S. Al-maidah [5] : 87)

Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu,  (demi) mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. At-Tahrim [66] : 1)

Dari Abu Darda’Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (H.R. Al Hakim dan Al Bazzar, beliau menshahihkannya)

Misalkan urusan jual beli, hal ini termasuk muamalah (hubungan antar manusia) sehingga termasuk ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Namun di situ ada aturan halal dan haram. Riba adalah haram, ada curang dalam timbangan adalah haram, menimbun barang adalah haram. Maka apa-apa yang diharamkan Allah adalah perkara agama dan di situ tak boleh diubah.

Dalam jual beli juga ada hal-hal yang halal, yaitu dihalalkan menjual binatang ternak, dihalalkan memberi melakukan penjualan secara kredit, dihalalkan untuk memberikan waktu khiyar selama 3 hari (boleh jadi atau batal membeli) Maka untuk hal-hal yang pernyataan dihalalkan tak boleh diharamkan,karena  itu termasuk perkara agama.

Sehingga jika ada orang yang menghalalkan riba, maka kita katakan itu adalah bid’ah (perkara baru). Apakah hal itu belum pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. ? Jawabnya : Ya, Rasulullah s.a.w. belum pernah menghalalkan riba. Lalu apakah itu bid’ah yang dlolalah? Jawabnya : Ya, karena ia telah menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Demikian pula jika ada orang yang mengharamkan penjualan secara kredit padahal Allah membolehkannya, maka hal itu juga merupakan bid’ah.

Apa Yang Di Situ Ada Perintah dan Larangan Allah dan NabiNya Maka Itu Termasuk Perkara Agama

Termasuk yang dimaksud dengan “urusan agama” adalah hal-hal dimana di situ ada perintah dan larangan baik dari Allah maupun RasulNya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman :

Dan Allah juga memberikan legitimasi (pengesahan) akan apa-apa yang dilarang oleh Rasul dan apa-apa yangdoperintakan oleh Rasul sebagai bagian dari syari’at.

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya) (Q.S. Al-Anfaal [8] : 20)

Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari’at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari’at) ini (Q.S. Al-Hajj [22] : 67)

Apa yang diberikan Rasul s.a.w. kepada kalian terimalah dan apa yang dilarangnya tinggalkanlah” (Q.S. Al-Hasyr [59] : 7)

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia (H.R. Daruqutni)

Maka apapun yang disitu ditempatkan perintah dan larangan Allah, maka hal itu merupakan perkara agama. Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menikah dan ini ibadah ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Rasul mengatakan menikah sebagai sunnahnya, dan barang siapa yang tidak menyukai sunnahku maka ia bukan umatku. Maka adanya perintah menikah ini adalah perkara agama. Sedangkan jima’ (bersetubuh) adalah ibadah ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Namun ada bagian tertentu di situ yang terdapat larangan Allah yaitu dilarang untuk menyetubuhi dari dubur, dan dilarang menyetubuhi wanita yang haid. Maka dalam hal larangan ini, jima’ merupakan perkara agama. Sedangkan hal-hal detil teknis lainnya, Allah dan RasulNya tidak ikut campur dan diserahkan pada kita, sehingga hal ini bukan perkara agama.

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (Q.S. Al-Hasyr [59] : 7)

Yang dimaksud mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui adalah menggunakan ra’yu (akalnya sendiri) tanpa mengindahkan nash dalil Al-Qur’an  dan hadits. Adapun metoda-metoda dalam memahami nash dalil pasti memerlukan akal juga seperti ilmu balaghoh, ilmu nahwu shorof, kaidah kaidah ushul fiqih, pertimbangan maqoshid syar’I, pertimbangan antara mudharat dan manfaat dll. Demikian pula metoda istinbath (menghasilkan) hukum fiqih itu semua itu tidak membuang atau mengabaikan sama sekali nash dalil Al-Qur’an maupun hadits bahkan semua kaidah itu digali dan dihasilkan dari metoda (cara) yang diajarkan Al-Qur’an juga ittiba’ (mengikuti) cara Rasulullah s.a.w. dalam memutuskan hukum fiqih. Yang  menjadi masalah pada masa sekarang ini adalah, sebagian orang ber-ittiba (mengikuti) dengan tampak luarnya saja, sedangkan sebagian yang lain mengikuti metode nya cara berfikirnya atau manhajnya dan bukan lahiriyah luarnya. Sehingga hal itu masih bisa dikatakan berada pada rel berlandaskan Al-Qur’an dan hadits.

Bersambung Jilid 5…

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 3)

KESALAHPAHAMAN MAKNA KULLU DAN SUNNAH

Oleh : Abu Akmal Mubarok

 Image

Anda akan menjumpai berbagai tulisan di dunia maya dari sebagian orang yang bersikeras bahwa makna bid’ah pada hadits “kullu bid’atin dlolalah” bersifat umum tanpa kecuali. Orang sulit untuk beranjak dari pemahaman dan kesan yang kuat bahwa perkataan “kullu bid’atin dlolalah” adalah “semua bid’ah itu sesat: bersifat umum karena memahami kata “kullu” berarti “setiap” atau “semua”. Sehingga mereka berkata “semua ya semua” kok pake ada yang dlolalah (sesat) dan ada yang hasanah (baik).  Oleh karena itu kita akan bahas bahwa tidak setiap kata “kullu” menunjukkan hal yang umum.

Dan seandainya kata “kullu” ini pun bermakna umum, maka kata “bid’ah” di sini bukanlah dalam makna asal / makna hakiki yaitu “hal yang baru” melainkan adalah hal yang definitif setelah di-takhsish (dikhususkan). Terlebih lagi jika ternyata kata “kullu” nya tidak bermakna umum dan kata “bid’ah” nya juga tidak bermakna umum.

Orang Salah Paham Dengan Keumuman Makna Bid’ah Karena Ada Kata “Kullu”

Salah satu akar permasalahan yang membuat kebanyakan orang salah paham adalah adanya kata “kullu” yang berarti “setiap” atau “semua”. Sehingga kalimat kullu bid’atin dlolalah artinya menjadi setiap bid’ah itu sesat atau semua bid’ah itu sesat.

Padahal semua itu tidak bisa disama-samakan. Sebuah kata kadang di sini maknanya beda dengan di sana. Sebagaimana kata bid’ah di sini beda dengan bid’ah di sana. Maka kata kullu di sini juga beda dengan kullu di sana. Memang kata kullu artinya “setiap” atau “semua” tapi tidak setiap “kullu” artinya sungguh-sungguh “semua”. Hal ini memang suatu hal yang biasa dalam gaya bahasa Arab (lihat tulisan kami yang menjelaskan hal ini) Maka terkadang kata “kufur” tidak bermaksud sungguh-sungguh kafir, kata fasiq tidak sungguh-sungguh fasik, maka ada pula “semua” yang tidak sungguh-sungguh “semua”.

Kaidah ini dalam ushul fiqih dikatakan bahwa hampir semua lafadz ‘aam (perkataan yang bermakna umum) menuntut adanya pengecualian (takkhsish) sehingga tidak ada suatu perkataan umum yang benar-benar umum (lihat tulisan kami yang membahas masalah lafadz ‘am dan lafadz khas).

Masalah ini telah aku (Nawawi) jelaskan dengan dalil-dalilnya yang luas dalam kitab “Tahziibul Asma’ wa-Lughat”. Apabila dimengerti apa yang telah aku sebutkan itu niscaya diketahuilah bahwa hadist Nabi itu termasuk hadist yang ‘am makshush (yang dikhususkan maknanya) dan begitu juga hadist-hadist yang serupa dengannya. Dalam keadaan hadist itu sebagai hadist yang ‘am makhsush (lafadznya umum namun maknanya khusus) tidaklah tercegah oleh sabda Nabi “kullu bid’atin” yang diperkuat dengan kata “kullu” melainkan tetap hal umum itu dimasuki oleh takhsis (ada pengecualian) walaupun bersama “kullu” seperti firman Allah : “Tudammiru kulla syai’in yang berarti “Angin taufan itu menghancurkan segala sesuatu” (namun kenyataannya tidak semua dihancurkan oleh angin topan) “(Tahziibul Asma’ wa-Lughat)”.

Tidak Semua Kata “Kullu” Sungguh-Sungguh Bermakna Semua (Umum)

Apakah kata “kullu” yang tidak sungguh-sungguh bermakna “semua” itu hanya ada pada hadits “kullu bid’atin dlaolalah?” Tentu tidak. Banyak sekali kalimat “kullu” baik pada ayat Al-Qur’an  maupun hadits yang tidak bermakna umum.

Misalnya pada firman Allah SWT berikut ini :

Wa ja’alna minal maa’i KULLA syai’in hayyin” (Dan dari air kami ciptakan segala sesuatu yang hidup) (Q.S. Al-Anbiya [21]:30)

Dari ayat ini kata kulla memiliki makna umum yaitu semua bahkan ditambah lagi kata syai’in yang artinya segala sesuatu, sehingga maknanya benar-benar umum dan tanpa kecuali. Namun kenyatannya keumuman ayat di atas di-takhshish (dikecualikan / dibatasi) oleh ayat-ayat lainnya :

Dan Dia menjadikan Jin dari nyala api” (Q.S. Ar-Rahman [55] : 15)

“Dan Kami ciptakan Al-Jan sebelum (adam) dari api yang sangat panas (Q.S. Al-Hijr :27)

Dari Urwah dari Aisyah Rasulullah SAW bersabda : malaikat diciptakan dari cahaya (nur) sedang kan jin diciptakan dari nyala api (mariij) dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan pada kalian (H.R. Muslim)

Maka dari ayat dan hadits di atas jelas kita pahami bahwa jin dan malaikat walau bukan makhluk kasat mata namun tergolong makluk yang hidup, namun mereka tidak terbuat dari air melainkan jin terbuat dari api dan malaikat terbuat dari cahaya. Maka ayat dan hadits ini men-takhshish (mengecualikan) keumuman dari ayat Q.S. Al-Anbiya [21]:30

Contoh lainnya adalah firman Allah tentang jawaban Nabi Khidir a.s. ketika ditanya oleh Nabi Musa a.s. mengapa ia melubangi perahu yang mereka tumpangi

“Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” (Q.S. Al-Kahfi [18]:71)

Maka Nabi Khidir a.s. menjawab :

“Karena di hadapan Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas semua bahtera (kulla safiinah)” (Q.S. Al-Kahfi [18]:79)

Tapi kenyataannya raja itu tidak merampas semua bahtera melainkan hanya bahtera yang masih bagus saja. Jika tidak, maka untuk apa Nabi Khidir a.s. melubangi perahu itu. Jika benar-benar kata “kulla” bermakna umum, maka semua perahu termasuk yang bocor pun akan dirampas oleh raja itu. Maka perkataan “kulla safiinah” (semua bahtera) pada ayat tersebut tidak sungguh-sungguh bermakna “semua”

Contoh lainnya lagi pada ayat :

“(Angin) yang menghancurkan segala sesuatu karena perintah Rabbnya, maka jadilah mereka tidak ada yang tersisa lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa” (Q.S. Al Ahqaf [46] : 25).

Ayat ini berbicara tentang kaum Nabi Hud a.s. yaitu kerabat kaum ‘Ad dan Tsamud. Namun kenyataannya tidak demikian, sisa-sisa peradaban kaum ‘Ad dan Tsamud yang dibinasakan Allah masih bisa dilihat sisa bangunannya dan menjadi pelajaran bagi umat yang kemudian

Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu.” (Q.S. As-Sajadah [32] : 26)

Sebagian ulama ada yang mengajukan dalil bahwa kata “kulla” bermakna umum pada kalimat

Kullu nafsin dzaiqotul maut (Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati) )” (Q.S. Ali-Imran [3] : 185)

Namun kenyataannya tetap saja ada yang dikecualikan yaitu pada ayat :

Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing). (Q.S. Az-Zumar [39] : 68)

Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri. (Q.S. An-Naml [27] : 87 )

Maka pada ayat itu ternyata ada beberapa makhluk hidup (yang pasti adalah malaikat yang meniup sangsakala dimana ia tidak ikut mati) padahal malaikat adalah makhluk yang berjiwa juga karena ia adalah makhluk yang hidup.

Kadang kala kalimat umum itu tidak mesti menggunakan kata kullu, misalnya pada ayat :

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai…” (Q.S. Al-Maidah [5] : 5)

Ayat di atas bermakna umum artinya bangkai apapun itu haram tanpa kecuali. Namun kenyataannya bangkai binatang dari laut tidak haram

Rasulullah s.a.w. bersabda : “Laut itu suci dan bangkainyapun halal” (H.R. Tirmidzi)

Contoh lain kalimat umum yang tidak menggunakan kata “kullu”  misalnya pada ayat :

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.(Q.S. Al-Baqarah [2] :228).

Pada ayat di atas lafadz al-mutholaqotu adalah isim jamak yang diikuti alif lam sehingga maknanya adalah umum (lafadz ‘am) sehingga artinya wanita manapun dalam kondisi bagaimanapun.

Namun lafadz ‘am ini di-takhshish (dibatasi / dikecualikan) dengan ayat lainnya yaitu :

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Q.S. At-Thalaq [ 65]:4)

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.(Q.S.Al-Ahzab [33]:49).

Maka keumuman ayat Al-Baqarah [2]:228 bahwa wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci, itu  dikecualikan untuk wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.

Maka dari sini para ulama mengatakan bahwa hampir tak ada lafadz umum yang bebas dari pengecualian, kecuali ayat-ayat yang berkaitan dengan kekuasaan Allah  yang memang bersifat mutlak dan tanpa kecuali.

Wahbah Zuhaili mengatakan : “Jumhur ulama berhujjah bawah setiap yang umum memiliki kecenderungan takhshish (pengecualian / pembatasan) sehingga telah tersebar di kalangan ulama (anggapan) bahwa tak ada yang umum kecuali telah dikhususkan (dari keumumannya) maka takhshish memang banyak tersebar pada hal-hal yang umum. Artinya bahwa tak ada yang bebas (suatu dalil umum) dari adanya takhshish melainkan sedikit saja” (Ushul Al-Fiqih Al-Islami Juz 1 Hal 245)

Demikian pula Muhammad bin Ali Asy Syaukani mengatakan : “Telah sepakat ahli ilmu baik salaf maupun kholaf bahwa takhshish bagi keumuman-keumuman itu adalah sesuatu yang ja’iz (boleh) dan tidak ada seorangpun dari orang-orang yang dipandang keilmuannya yang menentangnya, dan hal ini sudah diketahui termasuk bagian dari syari’at yang suci ini, tidak tersembunyi bahkan dari orang yang memiliki komitmen yang rendah terhadap syari’at sekalipun, sehingga dikatakan tidak ada dalil yang umum melainkan sudah dikhususkan kecuali firman Allah Ta’ala “dan Dia Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu” (Irsyadul Fuhuul Hal 246)

Demikian pula lah dalam pembahasan masalah hadits bid’ah :

kullu muhdatsatin bid’ah, wa kullu bid’atin dlolalah (setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat (H.R. Ibnu Majah)

Bahwa perkataan kullu pada hadits di atas tidak sungguh sungguh bermakna “semua” atau “setiap” melainkan hal itu telah dikecualikan (ada takhshish nya)

Qorinah (Petunjuk) Tentang Adanya Sunnah Hasanah dan Sunnah Sayyi’ah

Mereka yang bersikeras dengan keumuman bahwa semua bid’ah tanpa kecuali adalah dlolal, juga berkata bahwa pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah adalah tanpa dasar / dalil yang jelas kecuali hadits dari Umar bin Khattab r.a. ketika menyelenggarakan tarawih berjamaah dan berkata “hadza ni’matil bid’ah”  (ini adala bid’ah yang nikmat / bid’ah hasanah).

Orang-orang yang bersikeras dengan keumuman makna “kullu bid’atin dlolalah”  juga berkata bahwa takhshish (pengkhsususan / pembatasan) makna yang ‘aam (umum) tidak boleh sembarangan dilakukan beradasarkan akal-akal-an, melainkan harus berdasarkan qarinah (petunjuk / indikasi) yang jelas yang didukung nash / dalil naqli.

Kami sepakat dengan mereka bahwa : walaupun para ulama mengatakan telah masyhur di kalangan ulama adanya kaidah setiap yang ‘aam (umum) menuntut adanya takhshish, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan kuasa Allah, namun takhshish (pengkhsususan / pembatasan) makna yang ‘aam (umum) tadi harus berdasarkan qarinah (petunjuk / indikasi) yang jelas yang didukung nash / dalil naqli. Dan sama sekali tidak terbersit niat untuk akal-akal-an di sini. Demikian pula Imam Syafi’i, Ibnu Hajar Asqolani, Ibnu Atsir Jaziri dan ulama-ulama besar salafus sholih sejak jaman dahulu tak pernah akal-akal-an mencari-cari celah untuk melegal-kan perkara bid’ah.

Jika mereka berpendapat bahwa pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah tanpa dasar / dalil yang jelas kecuali hadits dari Umar bin Khattab r.a. ketika menyelenggarakan tarawih berjamaah maka jelas itu adalah pendapat yang salah besar. Karena sesungguhnya qorinah (petunjuk / indikasi) adanya pembagian bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah itu nyata benar adanya dari hadits-hadits Nabi s.a.w. sendiri sebagai berikut :

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul Malik bin Abu Syawarib berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Umair dari Al-Mundzir bin Jarir dari Bapaknya ia berkata Rasulullah s.a.w. bersabda : “man sanna sunnatan hasanatan fa’mila biha kaa na lahu ajruha (Barang siapa merintis sunnah yang baik kemudian sunnah itu dikerjakan, maka ia akan mendapatkan pahalanya) dan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Wa man sanna sunnatan sayyi-a-tan fa’mila biha kaa na ‘alaihi wizruhaa wa wizru man ‘amila biha (Dan barang siapa merintis suatu sunnah yang buruk kemudian dikerjakan maka ia menanggung dosa dan dosa orang-orang yang mengikutinya) tanpa mengurangi dosa mereka (yang mengikuti itu) sedikitpun” (H.R Ibnu Majah)

Perhatikanlah hadits di atas, bukankah jelas-jelas dalam redaksi hadits tersebut ada perkataan sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang baik) ? Hadits ini dengan redaksi yang sama diriwayatkan dari jalur yang lain sebagai berikut :

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim berkata telah menceritakan kepada kami Isma’il dari Al-Hakam dari Abu Juhaifah ia berkata Rasulullah s.a.w. bersabda : “man sanna sunnatan hasanatan fa’mila biha  ba’dahu (Barang siapa merintis sunnah yang baik kemudian dikerjakan oleh orang-orang setelahnya), maka ia akan mendapatkan seperti pahala mereka tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Wa man sanna sunnatan sayyi-a-tan fa’mila biha ba’dahu kaa na ‘alaihi wizruha wa mitslu (Dan barang siapa merintis suatu sunnah yang buruk kemudian dikerjakan oleh orang-orang setelahnya) maka ia menanggung dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka (yang mengikuti itu) sedikitpun” (H.R Abu Daud dan Ibnu Majah)

Maka jelas dalam hadits di atas bahwa orang yang merintis sunnah yang baik akan mendapat pahala atas kebaikan tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya. Kriteria membedakan apakah rintisan-nya itu baik atau buruk tentu adalah dari timbangan syari’at yaitu kesesuaian dengan Al-Qur’an, hadits, atsar sahabat, ijtihad sahabat atau ijma ulama.

Imam Syafi’i berkata : “Segala perbuatan baru yang memiliki dasar dalil-dalil syara’ maa bukan termasuk bid’ah (maksudnya bi’ah secara istilah) meskipun belum pernah dilakukan pada masa salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan hal tersebut terkadang karena suatu udzur yang terjadi saat itu (situasi kondisi yang tidak memungkinkan) atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, atau barangkali hal itu (perkara baru yang baik itu) belum terlintas di dalam pengetahuan mereka (sahabat nabi, tabi’in, para salaf)” (Al-Hafizh Ghumari, Itqon fii Tahqiiq Ma’ani Bid’ah Hal 5)

Orang Yang Mengatakan Bahwa “Sunnah” Di Situ Maksudnya Adalah Sunnah Nabi s.a.w. Yang Sudah Ada Di Jaman Nabi dan Bukannya Perkara Baru

Lagi-lagi orang-orang yang terlalu bersemangat ini (atau mungkin didorong oleh fanatisme kepada kelompoknya) menolak adanya qorinah (petunjuk) yang jelas tentang adanya bid’ah hasanah berupa hadits-hadits di atas. Mereka berargumen bahwa sunnah di situ adalah sunnah Nabi s.a.w. yaitu menghidupkan sunnah Nabi s.a.w. yang sudah lama ditinggalkan orang dan bukannya perkara baru yang diadakan orang. maka barang siapa yang menghidupkannya tentu akan mendapat pahala orang-orang yang mengikutinya.

Ada juga yang mengatakan bahwa hadits di atas asbabul wurudnya (latar belakang peristiwa timbulnya hadits) adalah anjuran untuk bersedekah. Maka maksud perkataan “sunnatan“ di situ adalah sunnah Rasulullah s.a.w. dan bukannya perkara baru.

Dalam menanggapi penyangkalan di atas, kami berusaha untuk husnu dzhon (berprasangka baik) dalam hal ini, mungkin saja mereka (yang menolak qorinah / petunju dalam hadits itu) terpengaruh dengan hadits dengan redaksi yang sangat mirip namun berbeda maknanya yatu :

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah berkata telah menceritakan kepada kami Zain bin Hulab berkata telah menceritakan kepada kami Katsur bin Amru bin Auf Al-Muzani berkata telah menceritakan kepdaku Bapakku dari Kakekku bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda : “Man ahyaa sunnatan min sunnatii fa’mila biha annaas kaa na lahu mistlu ajri min ‘amila biha (Barang siapa menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku kemudian orang-orang mengerjakannya maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya) tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Wa man abtada’a bid’atan fa’mila biha kaa na ‘alaihi au zaaru man ‘amila biha (Dan barang siapa membuat bid’ah kemudian bid’ah itu dikerjakan oleh orang-orang maka ia mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang yang mengerjakannya)” (H.R. Ibnu Majah)

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abu Uwais berkata telah menceitakan kepadaku Katsur bin Abdullah dari Bapaknya dari Kakeknya ia berkata : Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : “Man ahya sunnatan min sunnati qod amiitat ba’dii fainnalahu min ajri mitsli ajri man ‘amila biha minannaas (Barang siapa menghidupkan sunnahku yang telah ditinggalkan sepeninggalku maka ia akan mendapat pahala sebagaimana pahala orang yang mengamalkannya) tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Wa man abtada’a bid’atan laa yardlohaa Allah wa Rosuluhu fa inna ‘alaihi mitsla itsmi man ‘amila biha minannaas (Dan barang siapa membuat bid’ah yang Allah dan RasulNya tidak meridlainya, maka ia akan mendapatkan dosa orang yang melakukannya) tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun (H.R. Ibnu Majah)

Pada kedua hadits di atas sunnah di sini memang sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang ditinggalkan orang, hal ini ditandai dengan perkataan sunnatan min sunnati (sunnah dari sunnahku) maka akhiran “i” adalah kata ganti yang berarti “ku” dimana “ku” disini adalah Nabi Muhammad s.a.w. Oleh karena sunnah di sini adalah sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang sudah ada sebelumnya namun ditinggalkan oleh orang (tidak diamalkan lagi) maka yang melakukannya dikatakan dengan kata “man ahya” (barang siapa menghidupkan kembali).

Sedangkan pada hadits yang sebelumnya, perkataan sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang buruk)  bukanlah sunnah Nabi s.a.w. yang sudah ada, melainkan “perkara baru dalam agama yang diadakan”. Untuk itulah redaksi hadits tersebut tidak diawali dengan kata man ahya (barang siapa menghidupkan) melainkan “man sanna” yang artinya barang siapa merintis. Maka kata “man sanna” ini menunjukkan bahwa ini adalah perkara baru dalam agama yang belum ada sebelumnya atau tidak dicontohkan oleh Nabi s.a.w.

Selain itu jika perkataan sunnatan di sini adalah sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang sudah ada sebelumnya maka apakah sunnah yang diajarkan Nabi s.a.w.  itu ada sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan ada sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang buruk)?? Sehingga barang siapa yang melaksanakan sunnah Nabi s.a.w. yang buruk akan mendapat dosa?? Tentu menjadi kacau pengertian hadits ini jika perkataan sunnatan di sini diartikan sebagai sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang sudah ada sebelumnya.

Kesalahpahaman Makna Sunnah

Kami juga ber-husnudzhon bahwa mungkin saja ke-salah-paham-an dalam memahami makna sunnatan dalam hadits “man sanna sunnatan hasanatan (Barang siapa merintis sunnah yang baik) timbul karena ada dua pengertian sunnah dalam pembicaraan umum dan pembicaraan ilmu fiqih. Dua pengetian ini bisa saling tertukar atau sekilas membingungkan.

Secara pembicaraan umum, pengertian “sunnah” adalah sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan atau diterima orang untuk dilaksanakan. Secara makna bahasa atau makna lughoh dikatakan bahwa sunnah ialah : “at-thoriqoh mardhiyyatan kanat au ghoiro mardhiyyah” (perilaku yang diterima umum baik itu perbuatan baik yang diridhoi maupun yang tidak diridhoi). Maka  pengertian “sunnah” dalam pembicaraan umum tidak hanya perbuatan yang baik saja melainkan juga bisa meliputi perbuatan buruk yang sudah melembaga di masyarakat atau menjadi konsensus bersama untuk dilaksanakan.

Sedangkan dalam ilmu fiqih, definisi “sunnah” adalah : “ma ja’a ‘annin nabiyy shalallahu alaihi wa salam min qoulin au fi’lin au taqriir” (segala sesuatu yang datang dari Nabi s.a.w. baik itu perkataan, perbuatan maupun pengakuan). Sebagian ulama ada yang menambahkan pada definisi sunnah dengan “diamnya Nabi s.a.w.” artinya meliputi perkara-perkara yang didiamkan oleh Nabi s.a.w. karena hal itu menunjukkan adanya persetujuan Nabi s.a.w. atas perilaku tersebut. Nah pengertian sunnah dalam ilmu fiqih inilah yang lebih sering kita pegang ketika membahas masalah agama. Namun dalam pembicaraan hadits “man sanna sunnatan hasanatan (Barang siapa merintis sunnah yang baik) di atas, mengambil makna sunnah secara pembicaraan umum meliputi perbuatan baik dan perbuatan buruk yang telah diterima atau disepakati untuk dilaksanakan oleh masyarakat. Maka dari itulah ada sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan ada sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang buruk).

Bersambung Jilid 4…