PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 10)
Oleh : Abu Akmal Mubarok
PRAKTEK KEAGAMAAN PARA SAHABAT SELAIN KHULAFA’ AR-RASYIDAH
Atsar Sahabat (Selain Khulafa’ Ar-Rasyidin ) Adalah Termasuk “Landasan Dalam Syari’at”
Kita pasti sering mendengar bahwa landasan syari’at itu adalah Al-Qur’an dan Hadits, karena Allah bersabda :
“Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul” (Q.S. An-Nuur [24] : 54)
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)” (Q.S. An-Nisaa [4]: 59)
Dan Rasulullah s.a.w. pun juga bersabda :
“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian berpegang teguh dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah-ku.” (H.R. Al-Hakim dan Daruquthni )
“Aku tinggalkan kepadamu dua perkara yang mana kamu tidak aakn tersesat, selama kamu berpegang pada keduanya yaitu Kutabullah dan sunnah Nabinya” (H.R. Malik dalam Al Muwatha Juz 2 Hal 899 dan Imam Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir Hadits No. 2934)
Hal ini diamini dan diikuti oleh para sahabat misalnya :
Dari Juwairiyah Bin Qudamah dia berkata; “Aku melaksanakan ibadah haji, kemudian pada tahun Umar mendapat musibah aku datang ke Madinah, ” Juwairiyah berkata; “Umar berkhutbah dan berkata “Berpegang teguhlah kepada kitab Allah (Al Qur’an), sebab kalian tidak akan tersesat selama kalian mengikutinya.” (H.R. Ahmad No. 342)
Namun apa yang dimaksud “kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah”? Apa yang dimaksud dengan “ada landasannya dalam kitabullah dan sunnah??” Hal ini adalah pernyataan umum yang bersifat normatif yang perlu diperinci lebih lanjut, karena di situ ada perkataan para sahabat karena di situ terdapat kaidah-kaidah yang apabila orang tidak paham akan langsung menuduh para sahabat menyelisihi sunnah. Sahabat ini ada banyak. Salah satunya adalah khalifah yang 4 yang disebut Khulafa’ Ar-Rasyidin .
Selain Khulafa’ur Rasyidin, juga terdapat sahabat lainnya. Maka ucapan dan ijtihad para sahabat selain Khulafaur Rasyidin harus kita perhatikan juga dan termasuk bagian dari sunnah Rasulullah s.a.w. Artinya jika kita mengikuti sebagian pendapat sahabat , maka bisa dikatakan telah berlandaskan syari’at.
Dalam sebuah atsar dari Ibnu Mas’ud r.a. dikaitkan antara “mengikuti peninggalan kami (yaitu fikih para sahabat Nabi s.a.w) dengan perkara bid’ah
Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a. berkata : “Ikutilah peninggalan- peninggalan kami (para sahabat Nabi s.a.w) dan janganlah kalian berbuat bid’ah karena ajaran- ajaran telah dicukupkan bagimu.” (Hadits ini disebutkan oleh Imam Syatibi dalam Al-Ittishom hal 65)
Siapa yang dimaksud kami di sini? Yaitu Ibnu Mas’ud r.a. dan kawan-kawannya, yaitu para sahabat Rasulullah s.a.w.
Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash r.a. , bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda : “Bagaimana keadaanmu dan dengan putaran zaman —atau beliau berkata: Hampir-hampir tiba suatu zaman— yang akan membuat manusia binasa dengan kebinasaan yang tak terhingga, dan yang tersisa adalah kelompok manusia yang hina, yang melanggar perjanjian dan amanat yang ada pada diri mereka. Mereka berselisih sehingga menjadi seperti ini.” beliau mengaitkan jari-jemari tangannya. Para sahabat lalu bertanya, “Apa yang harus kami lakukan wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Hendaklah kalian mengambil perkara yang kalian ketahui dan hendaklah kalian meninggalkan perkara yang kalian ingkari. Wa tuqbiluuna ‘alaa amri khoshotikum (Hendaklah kalian mengerjakan perkara orang-orang khusus kalian) Wa tadzaruuna amri ammatikum ( dan hendaklah kalian meninggalkan perkara orang-orang umum dari kalian).” (H.R. Ath-Thahawiy Imam Syatibi menyebutkan dalam Al-Ittishom hal. 61)
Siapa yang dimaksud dengan orang-orang khusus di sini? Yaitu para sahabat yang dikenal senior dan faqih dalam agama. Dan siapa yang dimaksud orang umum? Yaitu orang ammah yaitu yang awam (tidak paham) terhadap agama.
Jika cermati, para sahabat Rasulullah s.a.w. tidak sama, derajatnya dan keutamaannya. Di antara mereka ada yang mula-mula masuk Islam, yang mula-mula berhijrah, yang mula-mula ikut berperang di perang Badar. Allah bersabda tentang mereka :
“Dan orang-orang yang terdahulu yang petama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dengan mereka dan mereka ridho kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (Q.S. At-Taubah [9] : 100)
Merekalah orang-orang khusus itu. Ketika ada persoalan,dan pengangkatan khalifah maka orang-orang khusus ini bertindak sebagai ahlul hali wal aqdi (semacam DPR) yang dimintai pendapat dan melakukan musyarah. Jadi mereka adalah semacam majelis syuro.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ telah menceritakan kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Hushain dari Hilal bin Yasaf dari Abdullah bin Dlalim Al Mazini dari Sa’id bin Zaid bin ‘Amru bin Nufail bahwa dia berkata; “Saya bersaksi terhadap sembilan orang yang telah dijamin masuk surga dan sekiranya aku bersaksi terhadap sepuluh orang, maka aku tidak akan berdosa.” Dikatakan; “Bagaimana bisa begitu?.” Dia menjawab; “Kami pernah bersama Rasulullah s.a.w. di (goa) Hira’, lalu beliau bersabda: “Tenanglah wahai (goa) Hira’, tidaklah orang yang ada di atasmu melainkan seorang Nabi, orang yang shiddiq (membenarkan) atau orang yang syahid.” Dikatakan; “Siapakah mereka?” Dia menjawab; (mereka adalah) Rasulullah s.a.w. , Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad dan Abdurrahman bin ‘Auf.” Dikatakan; “Siapa yang kesepuluh?” Dia menjawab; “Saya.” (H.R. Tirmidzi No. 3690)
Maka perhatikanlah bahwa Rasulullah s.a.w. sendiri menjuluki mereka selain dari diri Nabi, yaitu orang2 yang shiddiq dan yang syahid, mereka adalah Abu Bakar r.a. , Umar r.a., Utsman r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Thalhah r.a., Zubair r.a.m Abdurrahman bin Aur r.a. dan Zaid.
Abu Isa (Tirmidzi) berkata; “Hadits ini adalah hadits hasan shahih.” Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih.
Itulah 10 orang yang dijamin masuk surga. Sementara itu di tempat lain Rasulullah s.a.w. memuji keutamaan para sahabat :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab bin Abdul Majid berkata, telah menceritakan kepada kami Khalid Al Hadzdza` dari Abu Qilabah dari Anas bin Malik ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: “Umatku yang paling penyayang terhadap umatku adalah Abu Bakar, yang paling tegas di antara mereka adalah Umar, yang paling benar rasa malunya adalah Utsman, yang paling tepat keputusannya adalah Ali bin Abu Thalib, yang paling bagus bacaannya terhadap kitabullah adalah Ubai bin Ka’ab, yang paling tahu terhadap perkara yang halal dan yang haram adalah Mu’adz bin Jabal, dan yang paling paham terhadap ilmu Fara’idl adalah Zaid binTsabit. Ketahuilah bahwa setiap umat itu mempunyai orang yang terpercaya, dan orang terpercaya umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al Jarrah.” Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Sufyan dari Khalid Al Hadzdza` dari Abu Qilabah seperti hadits di atas. Hanya saja Ibnu Qudamah menyebutkan; “bahwa Zaid adalah yang paling tahu terhadap ilmu fara’idl.” (H.R. Ibnu Majah No. 151)
Perhatikanlah bahwa Ali bin Abi Thalib dikatakan paling tepat keputusannya, Mu’adz adalah orang yang paling tahu terhadap halal dan haram, lalu Zaid bin Tsabit adalah yang paling paham perkara fara’idl. Hal ini perlu kami tegaskan agar tak ada keraguan dan nantinya mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak paham agama, dan mereka telah menyelisihi sunnah, sembari berkata kami orang pada masa sekarang ini lebih paham dibanding mereka. Kita berlindung pada Allah dari anggapan semacam ini.
A. Modifikasi Ibadah Mahdhoh oleh Sahabat (Selain Khulafa’ur Rasyidin) Saat Rasululah s.a.w. Masih Hidup
Beberapa sahabat pernah merintis suatu perbuatan yang berbeda dengan yang biasa dilakukan Rasulullah s.a.w. atau memodifikasi tata cara ibadah yang dicontohkan Rasulullah s.a.w. Namun hal ini tidak disalahkan oleh Rasulullah s.a.w. bahkan dinyatakan sebagai hal yang baik.
1. Mu’adz bin Jabal Memulai Perubahan Mengganti Shalat Yang Tertinggal
Abdurrahman bin Abi Laila berkata : “Pada masa Rasulullah s.a.w bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah maka orang-orang yang lebih dahulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani sehingga orang itu mengerjakan rakaat yang tertinggal itu lebih dulu baru menyusul masuk berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal r.a. datang terlambat lalu orang-orang mengisyaratkan padanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, tetapi Mu’adz langsung masuk dalam jamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah s.a.w. menyelesaikan shalat berjamaah, Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal. Setelah Rasulullah s.a.w. menyelesaikan shalat mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaaan mereka. Lalu beliau s.a.w. menjawab : “Mu’adz telah mempelopori cara yang baik buat shalat kalian. Dalam riwayat lain dikatakan : Beliau s.a.w. bersabda : “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian, begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan” (H.R. Abu Daud, Imam Ahmad Juz 5 Hal 233, Imam Ibnu Abi Syaibah , Thabrani dalam Al Mu’jam Kabir juz 20 Hal 271. Ibnu Hazm dan Ibnu Daqiiq Al-‘Id mengatakan hadits ini shahih)
2. Seseorang Sahabat Menambahkan Doa Setelah Ruku
Dari Rifa’ah ibn Rafi’, r.a. berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah s.a.w.. Ketika beliau bangun setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata: Rabbana walakalhamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih. Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah” Lalu Rasulullah berkata: “Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.(H.R. Bukhari No. 799 Nasa’i No 1016, Abu Daud No. 770, Ahmad No. 19018, Ibnu Khuzaimah No. 614)
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Nu’aim bin ‘Abdullah Al Mujmir dari ‘Ali bin Yahya bin Khallad Az Zuraqi dari Bapaknya dari Rifa’ah bin Rafi’ Az Zuraqi berkata, “Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi s.a.w. . Ketika mengangkat kepalanya dari rukuk beliau mengucapkan: ‘SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Semoga Allah mendengar punjian orang yang memuji-Nya) ‘. Kemudian ada seorang laki-laki yang berada di belakang beliau membaca; ‘RABBANAA WA LAKAL HAMDU HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI (Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala pujian, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh berkah) ‘.” Selesai shalat beliau bertanya: “Siapa orang yang membaca kalimat tadi?” Orang itu menjawab, “Saya.” Beliau bersabda: “Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berebut siapa di antara mereka yang lebih dahulu untuk menuliskan kalimat tersebut.” (H.R. Bukhari No. 757)
Bacaan tersebut jelas sesuatu yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. sehingga beliau bertanya siapa yang membaca seperti itu tadi? Namun Rasulullah s.a.w. tidak mengecam dan menyalahkan orang tersebut lantaran mengucapkan doa yang belum pernah beliau ajarkan
3. Mu’adz bin Jabal Mengambil Zakat Berupa Tombak dan Kain
Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang harus ditunaikan, bahkan Allah berfirman dengan menggunakan kalimat perintah “khudz” (pungutlah) artinya sifatnya pro aktif memungut dan menagih, bukan menunggu orang menyerahkan zakat. Tujuan zakat adalah membersihkan harta dari hak-hak fakir miskin di dalamnya. Karena di dalam harta yang kita peroleh dititipi hak rejeki fakir miskin dan orang yang berhak lainnya.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkandan mensucikan mereka “ (Q.S. At-Taubah [9] : 103)
Maka Rasulullah s.a.w. memberi petunjuk teknis (kaifiyat) pengambilan zakat ini :
Telah menceritakan kepada kami Amru bin Sawwad Al Mishri berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb berkata, telah mengabarkan kepadaku Sulaiman bin Bilal dari Syarik bin Abu Namir dari ‘Atha bin Yasar dari Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah s.a.w. mengutusku ke Yaman dan bersabda kepadanya: “Ambillah biji dari biji, domba dari kambing, unta dari unta dan sapi dari sapi.” (H.R. Ibnu Majah No. 1804)
Namun Muadz bin Jabal r.a. melakukan inisiatif yang menyelisihi perintah Rasulullah s.a.w ketika diutus ke Yaman. Ia memungut zakat berupa tombak dan pakaian.
Dari Thawudz dari Mu’adz bin Jabal r.a. ia berkata : “Berikan kepada saya tombak atau pakaian (yang mereka bikin sendiri) sebagai ganti jagung dan gandum yang harus saya pungut dari kalian, jarena hal itu lebih meringankan laian dan lebih bermanfaat bagi orang-orang Muhajirin di Madinah” (Atsar R. Bukhari dan Baihaqi)
Secara sepintas Mu’adz telah menyelisihi perintah Rasul. Namun Mu’adz berani melakukan modifikasi ini dengan pertimbangan bahwa maqoshid syar’i dari zakat tetap terpenuhi yaitu untuk membersihkan dan mensucikan harta, walaupun bentuknya tidak persis seperti perintah Rasulullah s.a.w. Apakah hal ini ada dalilnya? Jelas tak ada dalil hadits yang memerintahkan memungut dalam bentuk tombak dan pakaian. Namun apakah ini bid’ah yang dlolal? Tentu saja bukan bid’ah. Apakah ini tetap tegak di atas sunnah? Tentu saja hal ini termasuk tetap tegak di atas sunnah walaupun menyelisihi perintah Rasululllah s.a.w. Terbukti Rasulullah s.a.w juga tidak menyalahkan Mu’adz.
4. Ammar bin Yasir Mencampur Surat ini Dan Itu
Secara umum dikatakan di dalam Al-Qur’an bahwa :
“Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah hati dan suara lembut. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang meampaui batas” (Q.S. Al-A’raaf [7] : 55)
“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara” (Q.S. Al-A’raaf [7] : 105)
Demikian pula di dalam hadits Rasulullah s.a.w. bersabda :
: Hai manusia sesungghnya zat yang kamu seru itu tidak tuli dan tidak jauh, sesungguhnya Tuhan yang kamu seru itu ada di antara kamu dan di antara leher kendaraan kamu (H.R. Bukhari Muslim)
Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a., dia berkata, Rasulullah s.a.w. pernah beri’tikaf di masjid lalu beliau mendengar mereka mengeraskan suara bacaan al-Qur’an, lalu beliau membuka tabir pemisah seraya bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya masing-masing dari kalian bermunajat kepada Rabb-nya. Oleh karena itu, janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian lainnya, dan janganlah sebagian mengangkat suara atas yang lainnya dalam membaca al-Qur’an.” (H.R. Abu Daud)
Namun sahabat Umar bin Khattab r.a. punya alasan sendiri untuk membaca Al-Qur’an dengan suara yang keras (disamping memang karakter Umar r.a. yang garang dan keras). Lalu sahabat Ammar bin Yasr juga menyusun redaksi doa sendiri dengan mencampur ayat ini dan ayat itu dari berbagai surat Al-Qur’an
Ali r.a. berkata : “Abu Bakar bila membaca Al-Qur’an dengan suara lirih sedangkan Umar dengan suara keras. Dan Ammar bila membaca Al-Qur’an mencampur surat ini dan itu. Kemudian hal itu dilaporkan kepada Nabi s.a.w. sehingga beliau bertanya kepada Abu Bakar : “Mengapa kamu membaca dengan suara lirih?” Ia menjawab : “Allah dapat mendengar suaraku walaupun lirih”. Lalu beliau bertanya kepada Umar: “Mengapa kamu membaca dengan suara keras ?” Umar menjawab : “Aku mengusir setan dan menghilangkan kantuk”. Lalu beliau bertanya pada Ammar : “Mengapa kamu mencampur surat ini dengan surat itu?” Ammar menjawab : “Apakah engkau pernah mendengar aku mencampurnya dengan selain Al-Qur’an?” Beliau s.a.w. menjawab : “Tidak” Lalu beliau bersabda : “Semua itu baik” (H.R. Ahmad No. 865 ) Al-Haistami berkata isnad hadits ini tsiqat / terpercaya (Majma’u Zawaid Juz 2 hal 544)
Namun kita lihat Rasulullah s.a.w. tidak menyalahkan ijtihad para sahabatnya ini dan menganggap hal itu baik. Jika kita tanyakan : Apakah hal ini pernah dilakukan Rasulullah s.a.w.? Jawabannya belum pernah, oleh karena itulah Rasulullah s.a.w. mempertanyakan mengapa melakukan ini dan itu. Dan belum pernah Rasulullah s.a.w. mengajarkan hal sedemikian itu. Maka dapat kita katakan bahwa apa yang dilakukan sahabat ini adalah bid’ah (perkara baru) dalam agama. Namun apakah mereka melakukan bid’ah yang dlolalah (sesat) atau madzmumah (tercela)? Ternyata Nabi s.a.w. mengatakan “semuanya baik”. Berarti ini adalah inovasi (muhdats) dalam agama yang masih dianggap baik (hasanah).
B. Modifikasi oleh Sahabat (Selain Khulafa’ur Rasyidin) Saat Rasululah s.a.w. Sudah Wafat
Ada yang membantah perubahan kaifiyat (perincian teknis) ibadah mahdhoh oleh sahabat dimungkinkan karena belum selesai masa penetapan syari’at, yaitu karena Rasulullah s.a.w. masih hidup. Lalu apakah setelah Rasulullah s.a.w wafat tidak pernah ada perubahan pada ibadah mahdhoh? Ternyata pada masa berikutnya setelah Rasulullah s.a.w. wafat pun beberapa sahabat melakukan modifikasi pada ibadah mahdhoh. Contoh sebagai berikut :
1. Ibnu Umar r.a. Menambahkan Bacaan Tasyahud
Doa-doa yang dilafalkan selama sholat adalah telah jelas ketentuan dan petunjuknya dari Rasulullah s.a.w. Sebagian ulama masa kini mengatakan bahwa perubahan pada kaifiyat ibadah mahdhoh merupakan bid’ah yang terlarang. Namun kenyataannya Ibnu Umar r.a. pernah menambahkan doa tasyahud yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali telah menceritakan kepadaku ayahku telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abu Bisyr aku mendengar Mujahid menceritakan dari Ibnu Umar r.a. dari Rasulullah s.a.w. tentang tasyahud, yaitu: “Attahiyyatu lillah Asshalawatut-thayyibat Assalamu ‘alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakatuh” Ibnu Umar berkata bahwa ana zidtuha (aku menambahkan) “wahdahu la syarikalah wa asyhadu anna muhammadan abduhu warasuluh”(tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah).” (H.R. Abu Daud No. 826)
Apakah masalah tasyahud masalah agama? Ya jelas bacaan sholat adalah perkara agama. Apakah doa yang dibaca dalam sholat adalah masalah kaifiyat ibadah? Ya jelas, itu adalah kaifiyat ibadah. Apakah hal ini belum ada di jaman Nabi s.a.w.? Ya jelas belum ada. Berarti ini muhdats (perkara baru). Lalu apakah muhdats ini ada landasannya dari kitabullah dan sunnah? Jawabannya : tidak ada landasannya bahkan menyelisihi sabda Nabi s.a.w.
Lalu ada yang membantah : “Ah, itukan pendapat Ibnu Umar. r.a. yang menjadi patokan adalah Nabi s.a.w” Kami katakan : Memang itu adalah yang dilakukan Ibnu Umar r.a. Namun yang ingin kami tanyakan adalah : “Apakah menurut Anda Ibnu Umar r.a. dalam hal ini telah melakukan bid’ah? Jika ya, apakah Ibnu Umar r.a. telah melakukan bid’ah dlolalah? (sesat) dan masuk neraka? Jika benar Ibnu Umar r.a. melakukan bid’ah namun tidak dlolal (sesat) berarti ada bid’ah yang tidak sesat. Hal itu menunjukkan ada bid’ah yang hasanah. Dan mengubah kaifiyat ibadah belum tentu otomatis sebagai bid’ah yang dlolal (sesat).
2. Ibnu Umar Menambahkan Doa Talbiyah Ketika Haji
Haji Termasuk salah satu rukun Islam dan termasuk salah satu ibadah mahdhoh. Maka menurut sebagian ulama, mengubah kaifiyat (perincian teknis) tata cara pelaksanaan ibadah haji adalah terlarang dan bid’ah.
Namun dalam khazanah sejarah kita dapati bahwa Ibnu Umar r.a. pernah menambahkan bacaan talbiyah dari apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah s.a.w.
Ibnu Umar r.a. meriwayatkan doa talbiyah yang diajarkan Rasulullah s.a.w. adalah “Labaikallahumma labaik, Labaika Laa Syarika laka labaik, Innal Hamda wa ni’mata laka wal mulk laa syarikalak” Lalu Ibnu Umar (menambahi) berdoa : “Labaikalabaika wa saidaika wal khairu biyadaik labaik warraghba’u ilaika wal ‘amal” (Atsar.R. Bukhari Juz 2 Hal 170, Muslim No. 1184, Abu Daud No. 1812)
Dalam atsar Ibnu Umar r.a. di atas jelas bahwa Ibnu Umar menambahkan doa karangan sendiri setelah doa talbiyah yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. tentu saja doa ini tidak ada pada masa Rasulullah s.a.w. Maka ini jelas modifikasi atas kaifiyat ibadah yang telah jelas ada petunjuknya dari Rasulullah s.a.w. Lalu apakah ini perkara agama? Jawabnya : Ya. Apakah ini belum pernah dilakukan Nabi s.a.w.? Jawab : Ya, belum pernah. Lalu apakah ini ada landasan dalilnya? Jawabnya : Tidak, ini adalah inisiatif Ibnu Umar r.a. Lalu apakah ini bid’ah yang dlolalah? Jawabnya : Jika Ibnu Umar r.a. melakukan bid’ah dlolalah berarti ia sesat dan masuk neraka, padahal ia adalah salah satu sahabat yang dijamin masuk surga.
3. Abu Hurairah Berwudlu Karena Makan Keju / Susu Kering
Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Az Zuhri dari Umar bin Abdul Aziz dari Ibrahim bin Abdullah bin Qarizh, dia berkata: “Saya bertemu dengan Abu Hurairah yang sedang berwudlu, maka dia berkata; “Apakah kamu tahu kenapa saya berwudlu setelah memakan sepotong susu kering? sesungguhnya saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Berwudhulah kalian dari apa saja yang tersentuh oleh api.” (H.R. Ahmad No. 7287)
Hal di atas adalah pendapat Abu Hurairah r.a. karena pernah mendengar sabda Rasulullah s.a.w. demikian. Namun mungkin Abu Hurairah belum pernah mendengar bahwa tidak semua makanan yang dibakar harus berwudlu, terbukti untuk kambing bakar tidak perlu berwudlu.
Telah menceritakan kepada kami Abu Kamil Fudhail bin Husain al-Jahdari telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Utsman bin Abdullah bin Mauhab dari Ja’far bin Abi Tsaur dari Jabir bin Samurah bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah s.a.w. “Apakah kami harus berwudhu karena makan daging kambing?” Beliau menjawab, “Jika kamu berkehendak maka berwudhulah, dan jika kamu tidak berkehendak maka janganlah kamu berwudhu.” Dia bertanya lagi, “Apakah harus berwudhu disebabkan (makan) daging unta?” Beliau menjawab, “Ya. Berwudhulah disebabkan (makan) daging unta.” (H.R. Muslim No. 539)
dari Ibnu Al Munkadir dari Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil dari Jabir, sesungguhnya Nabi s.a.w. makan daging kemudian sholat dengan tidak berwudlu lagi. Abu Bakar makan daging kemudian sholat tanpa berwudlu lagi. ‘Umar makan daging kemudian sholat tanpa berwudlu lagi. (H.R. Ahmad No. 13780)
Maka mana saja dari perkara ini adalah memiliki landasan syar’i dan baik yang berwudlu maupun tidak berwudlu keduanya bisa diakatakan berada di atas sunnah.
4. Mu’awiyah r.a. Membatalkan Qishash Orang Gila Yang Membunuh
Secara umum dikatakan bahwa orang membunuh tanpa haq harus dikenai hukuman qishash, yaitu dibalas sesuai perbuatannya kecuali ahli waris korban setuju menerima diyat (denda atau tebusan) Namun Mu’awaiyah pernah membatalkan hukuman qishash karena diduga pembunuhnya adalah orang gila
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Yahya bin Sa’id bahwa Marwan bin Al Hakam menulis surat kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan, bahwa pernah dihadapkan kepada orang gila yang telah membunuh seseorang. Maka Mu’awiyah menjawab; “Ikatlah dia dan jangan engkau balas semisal dengan perbuatannya, karena orang gila itu tidak boleh diqishas.” (H.R. Imam Malik dalam Muwatha’ No. 1340)
5. Ibnu Umar r.a. Mengunjungi Muhashib Sebagai Sunnah Dalam Berhaji
Dalam berbagai hadits diceritakan bahwa ketika Rasulullah s.a.w melaksanakan haji, beliau berkunjung ke Muhashib
Telah menceritakan kepada kami Ashbagh bin Al Faraj telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb dari ‘Amru bin Al Harits dari Qatadah bahwa Anas bin Malik radliallahu ‘anhu menceritakan kepadanya bahwa Nabi s.a.w. melaksanakan shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya’ kemudian Beliau tidur sejenak di Al Muhashib (tempat melempar jumrah di Mina) lalu Beliau menunggang tunggangannya menuju ke Ka’bah Baitullah lalu thawaf disana“. (H.R. Bukhari No. 1637 dan No. 1643)
Maka hal ini diikuti oleh Umar bin Khattab r.a. dan juga Ibnu Umar r.a. mereka berdua mengangap hal ini sebagai bagian dari sunnah Rasul dalam melaksanakan haji
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Abdul Wahhab telah menceritakan kepada kami Khalid bin Al Harits berkata; ‘Ubaidullah ditanya tentang Al Muhashshab”. Maka ‘Ubaidullah menceritakan kepada kami dari Nafi’ berkata: “Rasulullah s.a.w. pernah berhenti singgah disana, begitu juga ‘Umar dan Ibnu ‘Umar”. Dan dari Nafi’ bahwa Ibnu’Umar r.a. pernah di sana, yaitu di Al Muhashshab, shalat Zhuhur, dan ‘Ashar”. Dan aku (Nafi) menduga dia berkata: “dan shalat Maghrib.” Khailid berkata: “Aku tidak meragukan tentang shalat ‘Isya’, lalu dia tidur sejenak disana”. Lalu dia menyebutkan bahwa hal itu dari Nabi s.a.w. (H.R. Bukhari No. 1647)
Namun Aisyah r.ah. mengatakan bahwa hal itu bukanlah merupakan bagian dari rukun haji
Aisyah r.ah. berkata : “Al Muhashshab bukan lah apa-apa ia adalah tempat yang pernah dikunjungi Rasulullah s.a.w. maksudnya agar lebih mudah untuk keluar dari kota Madinah karena tempat itu luas dan ramai” (Atsar R. Bukhari)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Hisyam dari ayahnya dari Aisyah, ia berkata; “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. singgah di Al Muhashshab agar beliau mudah untuk keluar, hal tersebut bukanlah perkara yang sunnah. Maka barangsiapa yang ingin singgah padanya, ia boleh singgah, dan barangsiapa yang tidak ingin singgah padanya, maka ia boleh tidak singgah”. (Atsar. R. Abu Daud No. 1717)
Namun kita tetap menghargai pendapat Umar bin Khattab r.a. dan Ibnu Umar r.a.
6. Ibnu Mas’ud Membolehkan Hibah Lebih Dari Sepertiga Harta
Telah mafhum di kalangan kaum muslimin bahwa hibah yang diperbolehkan maksimalkan adalah 1/3 dari keseluruhan harta dan tidak boleh lebih dari itu, karena akan menyisakan sedikit sekali bagi ahli waris.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari ‘Amir bin Sa’ad bin Abu Waqash dari bapaknya r.a. berkata; Rasulullah s.a.w. pernah mengunjungiku pada hari Haji Wada’ (perpisahan) saat sakitku sudah sangat parah, lalu aku berkata: ” Sakitku sudah sangat parah (menjelang kematianku) dan aku banyak memiliki harta sedangkan tidak ada yang akan mewarisinya kecuali anak perempuanku. Bolehkah aku menyedekahkan sepertiga dari hartaku ini?. Beliau menjawab: “Tidak boleh”. Aku katakan lagi: “Bagaimana kalau setengahnya?”. Beliau menjawab: “Tidak boleh”. Kemudian Beliau melanjutkan: “Sepertiga dan sepertiga itu sudah besar atau banyak. Sesungguhnya kamu bila meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan (kaya) itu lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka serba kekurangan sehingga nantinya mereka meminta-minta kepada manusia. (H.R. Bukhari No. 1213)
Namun Ibnu Hazm dalam Kitab Al-Muhalla mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud r.a. membolehkan hibah lebih dari sepertiga harta. Dan pendapat ini juga diikuti oleh Ubaidah Al Salmani (Al-Maqoshid Al Syari’ah Al- Islamiyyah Hal 30-39)
7. Shalawat Karangan Abdullah bin Mas’ud r.a.
Bacaan shalawat adalah sesuatu yang sudah jelas petunjuknya dari Nabi s.a.w. terdapat sekitar 3 atau 4 variasi pilihan bacaan shalawat yang diajarkan Nabi s.a.w. Namun Dalam sebuah atsar sahabat diceritakan Abdullah bin Mas’ud r.a. menyusun doa shalawat sendiri
Telah menceritakan kepada kami Al Husain bin Bayan berkata, telah menceritakan kepada kami Ziyad bin Abdullah berkata, telah menceritakan kepada kami Al Mas’udi dari Aun bin Abdullah dari Abu Fakhitah dari Al Aswad bin Yazid dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata; “Jika kalian membaca shalawat kepada Rasulullah s.a.w. maka baguskanlah, sebab kalian tidak tahu, bisa jadi shalawat itu dihadirkan di hadapannya (Rasulullah). ” Al Aswad berkata; “Orang-orang pun berkata Abdullah bin Mas’ud, “Ajarkanlah kepada kami, ” Abdullah bin Mas’ud berkata; “Bacalah; ALLAHUMMA IJ’AL SHALAATAKA WA RAHMATAKA WA BARAKA’ATIKA ‘ALA SAYYIDIL MURSALIIN WA IMAAMIL MUTTAQIIN WA KHAATAMIN NABIYYIN MUHAMMADIN ‘ABDIKA WA RASUULIKA IMAAMIL KHAIRI WA QAA`IDIL KHAIRI WA RASUULIR RAHMAH. ALLAHUMMAB’ATSHU MAQAAMAN MAHMUUDAN YAGHBITHUHU BIHIL AWWALIIN WAL AKHIRIIN. ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMADIN WA ‘ALA ALI MUHAMMADIN KAMAA SHALLAITA ‘ALA IBRAHIM WA ‘ALA ALI IBRAHIM INNAKA HAMIIDUN MAJIIDUN. ALLAHUMMA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA ALI MUHAMMADIN KAMAA BAARAKTA ‘ALA IBRAHIM WA ‘ALA ALI IBRAHIM INNAKA HAMIIDUN MAJIIDUN (Ya Allah, jadikanlah shalawat, rahmat dan berkah-Mu kepada pemimpin para Nabi yang diutus, imam orang-orang yang bertakwa dan penutup para Nabi, Muhammad, hamba dan rasul-Mu. Seorang imam dan pemimpin kebaikan, serta rasul pembawa rahmat. Ya Allah, bangkitkanlah ia pada kedudukan yang terpuji, kedudukan yang menjadikan iri orang-orang terdahulu dan yang akan datang. Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau memberi shalawat kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Ya Allah, berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. ” (Atsar .R. Ibnu Majah No. 896 Thabrani dalam Mu’jam Kabir Juz 9 Hal 115, Imam Abdurrazzaq No. 3109, Imam Abu Ya’la No. 5267)
Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini dla’if karena Ziyad bin Abdullah bin Ath-Thufail dikatakan dla’if oleh Nasa’i serta Abu Hatim mengatakan hadits Ziyad tidak bisa dijadikan hujah. Namun atsar Ibnu Mas’ud ini dijadikan hujjah oleh Ibnul Qoyyim (murid Ibnu Taimiyyah) dan disebutkan dalam Kitab Jada’ Al-Afham Hal 36 dan Hal 72.
8. Shalawat Karangan Abdullah bin Abbas r.a.
Dari Ibnu Abbas r.a. : “Apabila membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. beliau berkata : ‘Ya Allah kabulkanlah syafaat Muhammad yang agung, tinggikan derajatnya yang luhur, dan berilah permohonannya di dunia dan di akhirat sebagaimana Engkau kabulkan permohonan Ibrahim dan Musa” (Atsar Riwayat Abdullah bin Humaid, Imam Abdurrazzaq dalam Mushannaf No. 3104, Ismail Al Qadhi, Atsar ini juga disebutkan oleh Ibnul Qoyyim dalam Kitab Jada’ Al-Afham Hal 76)
9. Perubahan Lafadz Adzan Oleh Ibnu Abbas
Bacaan adzan adalah sesuatu yang sudah jelas petunjuknya dari Nabi s.a.w. Namun Dalam sebuah atsar sahabat diceritakan Ibnu Abbas r.a. berinisiatif sendiri ketika saat cuaca atau situasi tidak memungkinkan untuk shalat di masjid, justru menyerukan agar orang shalat di rumah, dan lafal ini disisipkan pada adzan.
Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad dari Ayyub dan ‘Abdul Hamid sahabat Az Zayadi, dan ‘Ashim Al Ahwal dari ‘Abdullah bin Al Harits berkata, “Pada suatu hari ketika jalan penuh dengan air dan lumpur (becek) akibat hujan, Ibnu ‘Abbas r.a. pernah menyampaikan khuthbah kepada kami. Ketika mu’adzin sampai pada ucapan: ‘Hayya ‘Alash shalaah (Marilah mendirikan shalat) ‘ ia perintahkan mu’adzin tersebut untuk menyerukan: ‘Shalatlah di tempat tinggal masing-masing’. Lalu orang-orang saling memandang satu sama lain karena heran. Maka Abdullah bin Al Harits pun berkata, “Hal yang demikian ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik darinya, dan itu merupakan kewajiban Mu’akkad (yang ditekankan).” (Atsar Riwayat Bukhari 581)
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Abdul Wahhab berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Hamid sahabatnya Az Zayadi, ia berkata, aku mendengar ‘Abdullah bin Al Harits berkata, “Pada suatu hari ketika jalan penuh dengan air dan lumpur akibat hujan, Ibnu ‘Abbas menyampaikan khuthbah kepada kami. Saat mu’adzin mengucapkan ‘Hayya ‘Alashshalaah’ (Marilah mendirikan shalat) ia perintahkan kepadanya untuk mengucapkan: ‘Shalatlah di tempat tinggal masing-masing’. Maka orang-orang pun saling memandang satu sama lain seakan mereka mengingkarinya. Maka Ibnu ‘Abbas berkata, “Seakan kalian mengingkari masalah ini. Sesungguhnya hal yang demikian ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku, yakni Nabi s.a.w.. Dan sesungguhnya itu merupakan keringanan (‘azimah) dan aku enggan untuk mengungkapkannya kepada kalian.” Dan dari Hammad dari ‘Ashim dari ‘Abdullah bin Al Harits dari Ibnu ‘Abbas seperti itu. Hanya saja ia menambahkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Aku tidak mau untuk membuat kalian berdosa, kalian mendatangi shalat sementara lutut kaki kalian penuh dengan lumpur.” (H.R. Bukhari No. 628)
Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Isma’il berkata, telah mengabarkan kepadaku ‘Abdul Hamid sahabatnya Az Ziyadi, berkata; telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al Harits anak pamannya Muhammad bin Sirin, Ibnu ‘Abbas berkata kepada Mu’adzinnya saat hari turun hujan, “Jika kamu sudah mengucapkan ‘ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAH’, janganlah kamu sambung dengan HAYYA ‘ALASHSHALAAH (Marilah mendirikan shalat) ‘. Tapi serukanlah, ‘SHALLUU FII BUYUUTIKUM (Shalatlah di tempat tinggal masing-masing) ‘.” Lalu orang-orang seakan mengingkarinya. Maka Ibnu ‘Abbas pun berkata, “Sesungguhnya hal yang demikian ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku. Sesungguhnya shalat Jum’at adalah kewajiban dan aku tidak suka untuk mengeluarkan kalian, sehingga kalian berjalan di tanah yang penuh dengan air dan lumpur.” (H.R. Bukhari No. 850)
Lafadz adzan seperti ini pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. namun mungkin banyak orang tidak mengetahuinya sehingga hal ini dianggap sebagai bid’ah
10. Doa Buka Puasa Karangan Abdullah bin Amru Al Ash r.a.
Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar berkata, telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata, telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ubaidullah Al Madini ia berkata; aku mendengar Abdullah bin Abu Mulaikah berkata; aku mendengar Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash ia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sungguh orang yang berpuasa mempunyai do`a yang dikabulkan dan tidak akan ditolak tatkala berbuka puasa. ” Ibnu Abu Mulaikah berkata, “Aku mendengar Abdullah bin Amru berdo`a saat berbuka puasa, “ALLAHUMMA INNI AS`ALUKA BIRAHMATIKAL LATII WASI’AT KULLA SYAI’IN AN TAGHFIRA LII (Ya Allah, sesungguhnya aku meminta-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi setiap sesuatu, agar Engkau mengampuniku). ” (H.R. Ibnu Majah No. 1743) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini dla’if. Namun banyak ahli hadits lain menshahihkan hadits ini. Hisyam bin Ammar dinyatakan shaduuq (jujur) oleh Ibnu Hajar Asqolani dan Daruquthni. Bahkan Yahya bin Ma’in yang terkenal ketat dalam penilaian rawi mengatakan ia tsiqoh. Al Walid bin Muslim dinyatakan shahih oleh Ibnu Hajar Asqolani dan Abu Hatim. Ishaq bin Ubaidillah dinyatakan maqbul oleh Ibnu Hajar Asqolani. Abdullah bin Ubaidillah bin Mulaikah dinyatakan tsiqoh faqih oleh Ibnu Hajar Asqolani
11. Muawiyah r.a. Shalat Witir Selalu Hanya Satu Rakaat
Telah bercerita kepada kami Ibnu Abu Maryam telah bercerita kepada kami Nafi’ bin ‘Umar telah bercerita kepadaku Ibnu Abu Mulaikah; “Pernah ditanyaan kepada Ibnu ‘Abbas, apakah anda punya pendapat tentang amirul mu’minin, Mu’awiyah, yang tidak shalat witir kecuali satu raka’at?”. Ibnu ‘Abbas menjawab; “Dia benar, karena dia seorang yang faqih (faham agama) “.
(H.R. Bukhari No. 3481)
Lihatlah bagaimana Ibnu Abbas r.a. ber-husnudzhon dan mengatakan bahwa shahabat Nabi s.a.w. Mu’awiyah adalah orang yang faham agama walaupun ia melakukan shalat witir mengkhususkan diri hanya 1 rakaat. Orang jaman sekarang mungkin berpendapat Mu’awiyah melakukan bid’ah karena Rasulullah s.a.w. tidak pernah mengkhususkan diri shalat witir selalu hanya 1 rakaat.
12. Khalid bin Walid r.a. Menolak Memberikan Harta Salab
Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa orang yang membunuh musuh dan memiliki saksi atau bukti bahwa dialah yang membunuhnya maka ia berhak atas harta yang melekat pada musuh tersebut. Hal ini disebut sebagai salab.
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah Al Qa’nabi, dari Malik dari Yahya bin Sa’id dari Umar bin Katsir bin Aflah, dari Abu Muhammad, mantan budak Abu Qatadah, dari Abu Qatadah, ia berkata : “Beliau s.a.w. mengatakan: “Barangsiapa yang membunuh seseorang dengan memiliki bukti maka baginya salabnya (segala yang melekat pada tubuhnya).” Abu Qatadah berkata; lalu aku berdiri kemudian aku katakan; siapakah yang memberikan persaksian untukku? Kemudian aku duduk, lalu beliau mengatakan hal tersebut yang kedua kalinya: “Barangsiapa yang membunuh seseorang dengan memiliki bukti, maka baginya salabnya (segala yang melekat pada tubuhnya).” (H.R. Abu Daud No. 2342)
Nabi s.a.w. bersabda : barang siapa membunuh orang kafir dalam peperangan maka harta yang dibawa atau dipakai oleh orang kafie tersebut adalah haknya (H.R. Muslim Juz III Hal. 1371)
Namun dalam sebuah kasus Khalid bin Walid menganggap harta salab itu terlalu banyak dan menyita sebagian harta itu. Orang-orang memprotes tindakan Khalid bin Walid dan menganggapnya menyalahi sabda Rasulullah s.a.w. hingga akhirnya hal ini diadukan ke Rasulullah s.a.w. Pada awalnya Rasulullah s.a.w. memerintahkan Khalid mengembalikan harta salab itu namun akhirnya Rasulullah s.a.w. mendiamkan hal ini dan menganggap hal ini sebagai masalah yang masih keruh (khilafiyah) dan adalah hak seorang pemimpin untuk berijtihad sesuai situasi dan kondisi.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim, ia berkata; telah menceritakan kepadaku Shafwan bin ‘Amr dari Abdurrahman bin Jubair bin Nufair, dari ayahnya dari ‘Auf bin Malik Al Asyja’i, ia berkata : “Aku keluar bersama Zaid bin Haritsah pada perang Mu’tah. Kemudian aku disertai bala bantuan dari penduduk Yaman dengan hanya membawa pedangnya. Kemudian salah seorang muslim menyembelih unta dan seorang bala bantuan meminta kulit unta tersebut, kemudian ia memberikan kepadanya. Lalu orang-orang tersebut menjadikannya seperti tameng. Dan kami berjalan dan bertemu dengan orang-orang Romawi, dan diantara mereka terdapat seorang laki-laki yang menunggang kuda berwarna blonde padanya terdapat pelana emas serta senjata yang dilapisi emas. Kemudian orang Romawi tersebut menyerang muslimin dengan tiba-tiba. Kemudian seorang bala bantuan tersebut menunggunya di balik batu besar, kemudian orang Romawi tersebut lewat, lalu orang bala bantuan tersebut memotong kaki kudanya, maka orang Romawi tersebut terjatuh dan salah seorang bala bantuan tersebut membunuhnya dan mengumpulkan kuda serta senjatanya. Kemudian tatkala Allah ‘azza wajalla memenangkan untuk orang-orang muslim, khalid bin Al Walid mengirim utusan kepadanya dan mengambil sebagian dari salab tersebut. ‘Auf berkata; kemudian aku mendatangi Khalid dan berkata; wahai Khalid, bukanlah engkau telah mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w. memutuskan bahwa salab adalah untuk orang yang yang membunuh? Ia berkata; benar. Akan tetapi aku menganggapnya terlalu banyak. Maka aku katakan; sungguh engkau kembalikan kepadanya aku akan memberitahukanmu di hadapan Rasulullah s.a.w.. Kemudian ia enggan untuk mengembalikannya. ‘Auf berkata; kemudian kami berkumpul di sisi Rasulullah s.a.w., lalu aku ceritakan kisah orang bantuan tersebut kepada beliau dan apa yang dilakukan Khalid. Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata: “Wahai Khalid apa yang mendorongmu untuk melakukan apa yang telah engkau perbuat?” ia berkata; wahai Rasulullah, sungguh aku menganggapnya sudah terlalu banyak. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: “Wahai Khalid, kembalikan kepadanya apa yang telah engkau ambil!” Lalu aku katakan kepadanya; sebentar wahai Khalid, bukankah aku telah memenuhi janjiku kepadamu? Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata; apakah itu? Kemudian aku beritahukan kepada beliau. Kemudian Rasulullah s.a.w. marah dan berkata: “Wahai Khalid, jangan engkau kembalikan kepadanya! Apakah kalian akan meninggalkan para pemimpinku? Kalian mendapatkan urusan mereka yang telah bersih dan bagi mereka urusan yang masih keruh.” (H.R. Abu Daud No. 2344) Hadits ini dinyatakan shahih oleh Nashiruddin Al-Albani
Bersambug Jilid 11…