PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 4)

APA YANG DIMAKSUD DENGAN PERKARA AGAMA DALAM KONTEKS BID’AH?

Oleh : Abu Akmal Mubarok

  Belajar Qur'an 05

Orang yang paling ngotot dengan perkataan “kullu bid’atin dlolalah (semua bid’ah yaitu dalam makna bahasa maksudnya adalah semua yang baru yang tak ada contoh sebelumnya, adalah sesat) ketika dikatakan bagaimana dengan mobil? Bagaimana dengan telepon? Bagaimana dengan pesawat terbang? Apakah semua itu bid’ah? Mereka akan menjawab : “Itu kan bukan perkara agama, maka ya tidak bid’ah”.

Lho katanya “kullu”? Katanya “setiap dan semua?” Jadi sekarang hanya dibatasi masalah agama saja? Oke, berarti kita sepakat bahwa makna bid’ah di sini minimal telah ditakhsish (dikhususkan dan dikecualikan) hanya dalam perkara agama saja.

Sudah jelas? Selesai ?! Tentu saja masih jauh dari kata “selesai”. Apa yang dimaksud dengan perkara agama? Sebagian orang confused (rancu) tercampur baur antara perkara yang benar-benar perkara agama dengan hal-hal yang berkonotasi agama atau “diduga” atau “disangka” sebagai agama. Padahal orang yang melakukannya tidak bermaksud demikian dan hanya bersifat tradisi saja. Sementara orang yang menghakiminya melihat dari tampilan luar lantas menyimpulkan bahwa hal ini adalah perkara agama.

Apa Yang Dimaksud Dengan Perkara Agama Dalam Konteks Bid’ah?

Kita telah membatasi bahwa yang dimaksud perkara baru (muhdats) dalam pembahasan bid’ah adalah terbatas pada perkara baru di bidang agama. Kelihatannya definisi ini sederhana dan mudah dipahami. Namun kadangkala orang berbeda pendapat apakah suatu perkara termasuk perkara agama atau tidak. Oleh karena itu mari kita bahas masalah ini secara lebih detil.

Istilah agama adalah bahasa sansekerta. Dalam bahasa Al-Qur’an urusan agama ini disebut dengan “diin”. Dan dalam konteks pembicaraan bid’ah ini, patokan yang menunjukkan bahwa perkara baru yang disebut bid’ah atau bukan bid’ah diisyaratkan  dengan perkataan“fii amrina” dan “laisa alaihi amruna” (urusanku atau urusan kami).

Dalam hadits lain jelas-jelas Rasulullah s.a.w. mengaitkan “muhdats” dengan kata “ad-diin” (agama).

Dari Al Hasan Rasulullah s.a.w. bersabda “Apabila kamu ingin tidak tertahan dijembatan Shiratul Mustaqim, walaupun sekejap mata, hingga kamu masuk surga, falaa tahdatsu fii diinillah maka janganlah kamu membuat sesuatu yang baru dalam agama Allah dengan pendapatmu (H.R. Imam Syatibi menyebutkan dalam Al-Ittsihom hal 58)

Jika kita mengambil makna diin di sini maka batasannya akan luas dan bahkan sangat luas. Maka untuk menjawab apa yang dimaksud dengan perkara diin di sini, kita harus bertanya kapan Rasulullah s.a.w.mengatakan “ini adalah urusanku”? Ataukah kapan Rasulullah s.a.w. menuntut untuk mengembalikan suatu persoalan itu kepada beliau?

Petunjuk mengenai hal ini terdapat dalam beberapa hadits sebagai berikut :

Suatu ketika para sahabat yang melakukan perjalanan dengan Rasulullah s.a.w. lalu bangun kesiangan dan terlambatnya shalat subuh, lalu sebagian mereka terus menyesali perkara itu dan terus mengatakan “kita telah menyia-nyiakan shalat kita”

Selanjutnya Rasulullah S.a.w. naik kendaraan dan kami pun naik. Sebagian dari mereka berkata kepada yang lain; ‘Kita telah menyia-nyiakan shalat kita.’ Rasulullah S.a.w. bersabda: ” maa taqulun (apa yang kamu katakan?) Inkana amro dunyakum fasya-anukum wa inkana amro diinikum fa-ilayya (Bila urusan dunia, itu terserah kalian, tapi bila urusan agama, maka kembalikanlah kepadaku).” (H.R. Ahmad No. 21506) Hadits ini maushul (bersambung sampai Nabi) dan seluruh perawinya tsiqoh.

Pada hadits berikutnya terjadi ketika masalah menyetek atau mengawinkan pohon kurma :

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Affan berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad berkata, telah menceritakan kepada kami Tsabit dari Anas bin Malik dan Hisyam bin Urwah dari Bapaknya dari ‘Aisyah berkata; “Nabi s.a.w. mendengar suara-suara, beliau lalu bertanya, “Suara apa ini?” para sahabat berkata, “Kurma yang mereka kawinkan.” Beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan (tetap) baik.” Maka, pada tahun itu para sahabat tidak lagi mengawinkan hingga kurma-kurma mereka rusak. Mereka kemudian menyampaikan hal itu kepada Nabi s.a.w. beliau lalu bersabda: Inkaana syaian min amro dunyakum fasya-anukumbih wa inkaana min amro diinikum fa-ilayya” (segala sesuatu menyangkut urusan dunia kalian maka itu urusan kalian, tetapi jika menyangkut urusan agama kalian maka kembalikanlah kepadaku).” (H.R. Ibnu Majah No. 2462) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih

Telah menceritakan kepada kami Affan, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, dai berkata; telah mengabarkan kepada kami Tsabit dari Anas dan Hisyam bin ‘Urwah dari ‘Urwah dari Aisyah bahwa Nabi s.a.w. pernah mendengar suara-suara, maka beliau bersabda: Inkaana syaian min amro dunyakum fasya-anukumbih wa inkaana min amro diinikum fa-ilayya “(segala perkara dunia kalian, maka terserah kalian, namun dari perkara agama kalian maka kembalikanlah kepadaku)” (H.R. Ahmad No. 23773) Hadits ini maushul (bersambung sampai Nabi) dan semua perawinya tsiqoh

Dari hadits ini kita dapat menangkap bahwa apa-apa yang menyangkut perkara agama adalah urusan Rasulullah s.a.w atau hal ini sama dengan perkataan “fii amrina” atau “amruna”. Sedangkan yang apa-apa yang Rasulullah s.a.w. tidak ikut campur (karena tak ada pengaturan Allah di situ) maka hal itu diserahkanpada kita, dan bukan termasuk perkara agama.

Apa-Apa Yang Ada Pengaturan Allah dan RasulNya di situ Maka Itu Termasuk Agama atau Syari’at

Maka apa yang dimaksud dengan “perkara agama” di sini maksudnya adalah hal-hal yang tasyri’ (hal-hal yang ada aturan syari’at di dalamnya) baik itu urusan ibadah mahdhoh (ritual) atau pun ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Sedangkan hal-hal yang tidak tak terdapat aturan syariat di dalamnya (ghoiru tasyri), maka hal itu diserahkan pada kita dan bukan termasuk urusan agama. Jadi yang diserahkan pada kita adalah hal-hal yang Allah mendiamkannya dan tidak mengaturnya.

Rasulullah s.a.w.bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban , maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan, maka jangan kamu langgar dia; (H.R. Daraquthni)

Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir r.a. dia berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w.  bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. (H.R. Bukhari Muslim)

Apakah pakaian termasuk perkara agama? Ya dan tidak. Model pakaian bukan perkara agama, teknologi membuat pakaian bukan perkara agama. Namun batasan menutup aurat dan aturan kesopanan dalam berpakaian, karena ada aturan Allah di situ, maka itu termasuk perkara agama.

Apakah makanan termasuk perkara agama? Ya dan tidak. Jenis makanan yang dimakan ada aturannya maka itu termasuk perkara agama. Sedangkan bagaimana cara memasak, apa bumbunya, bagaimana mengawetkannya, dan hal-hal lain yang di situ tak terdapat aturan syari’at maka hal itu bukan termasuk perkara agama.

Sebagai contoh Umar mengaitkan urusan makan dengan perkara menyelisihi sunnah

Diriwayatkan dari Ibnu Al Mubarak dari Umar bin Khaththab r.a. : “Bahwa Yazid bin Abu Sufyan pernah makan beraneka ragam makanan, maka Umar berkata kepada maulanya —bernama Yarfa’—, “Jika kamu mengetahui waktu makan malamnya telah tiba, beritahu aku.” Ketika ia menghidangkan makan malamnya, ia pun memberitahu Umar dan Umar mendatanginya sambil mengucapkan salam kepadanya, kemudian meminta izin untuk masuk dan ia diizinkan masuk. Makan malamnya lalu dihidangkan, yang terdiri dari bubur dan dagjng, maka Umar ikut makan bersama dengannya. Kemudian dihidangkan daging tulang hasta, maka Yazid mengulurkan tangannya (untuk mengambil), namun Umar menahannya sambil berkata, “Demi Allah, wahai YazkJ bin Abu Sufyan, apakah diajarkan makan setelah makan? Demi Dzat yang jiwa Umar ditangan-Nya, apabila kamu menyelisihi Sunnah mereka maka kamu akan dipalingkan dari jalan mereka.”  (Disebutkan oleh Imam Syatibi dalam Al-Ittishom hal 67)

Dalam urusan jual beli, hal ini termasuk muamalah (hubungan antar manusia) sehingga termasuk ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Namun agama (diin) dalam hal ini ada mengatur di dalamnya. Ada larangan untuk riba, ada larangan untuk curang dalam timbangan, ada larangan menimbun barang, dan lain-lain aturan yang sangat  banyak. Maka untuk hal-hal yang di dalamnya ada aturan agama, itu adalah termasuk perkara agama.

Jadi yang disebut perkara agama bukan hanya ibadah ritual saja. Hampir semua hal ada bagian-bagian yang menjadi perkara agama dan ada bagian-bagian yang di situ agama mendiamkannya dan tidak campur tangan, dengan kata lain itu “terserah kalian”.

Apa-Apa Tentang Rukun Iman, Rukun Islam, Surga dan Neraka Adalah Perkara Agama

Rukun Iman yaitu terkait keyakinan dan aqidah yang benar terhadap Allah dan NabiNya, MalaikatNya, Surga dan Neraka, Hari Kiamat, Kitab-Kitabnya, Qadha dan Qadar merupakan perkara agama.

Rasulullah s.a.w. telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (H.R. Ath-Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir No. 1647)

Demikian pula rukun Islam, yaitu terkait dengan ibadah mahdhoh (ritual) yang bersifat ta’abudi (penghambaan) kepada Allah dan dimaksudkan untuk taqarrub (mendekatkan diri ) pada Allah adalah termasuk perkara agama. Sehingga perkara baru yang tidak ada landasannya dalam syari’at terkait rukun Islam ini adalah termasuk bid’ah yang dlolalah.

Sebagai contoh, Rasulullah s.a.w. mengaitkan masalah tatacara shalat dengan bid’ah :

Dari Sulaiman, dari Abdullah Rasulullah s.a.w bersabda “Akan ada orang-orang setelahku yang mengakhirkan shalat dari waktunya dan mereka membuat bid’ah.” Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bagaimana aku harus bersikap apabila aku mendapatkan mereka?” Beliau menjawab, “Kamu bertanya kepadaku wahai anak Ummu Abdullah seharusnya kamu bersikap? Tidak ada ketaatan kepada orang yang bermaksiat kepada Allah.” (H.R. Khaitsamah, Imam Syatibi menyebutkan dalam Al-Ittishom hal. 60)

Demikian juga sahabat yang lainnya mengaitkan ibadah yang terdapat pada rukun iman seperti shalat, zakat puasa, haji sebagai perkara agama yang menjadi obyek pembahasan bid’ah

Diriwayatkan dari Hisyam bin Hassan, ia berkata, “Allah tidak akan menerima puasa, shalat, haji, jihad, umrah, sedekah, dan semua amal yang wajib dan yang sunah, yang dilakukan oleh pelaku bid’ah. —Ibnu Wahab menambahkan— akan datang kepada manusia suatu zaman yang mencampuradukkan antara perkara yang hak dengan yang batil. Jika telah datang maka doa tidak lagi berarti kecuali seperti doa orang yang tenggelam.” (Atsar ini disebutkan oleh Imam Syatibi menyebutkan dalam Al-Ittishom hal. 77)

Rukun Dan Syarat Menuju Rukun Iman dan Rukun Islam Termasuk Perkara Agama

Syarat sahnya shalat ialah menutup aurat, bersuci, menghadap kiblat dan lain sebagainya. Maka komponen yang menjadi rukun shalat dan syarat sahnya shalat merupakan pokok bahasan agama. Karena di situ Allah dan RasulNya mengatur perkara rukun shalat dan syarat sahnya shalat,

Demikian pula untuk puasa, zakat dan haji, maka rukun-rukunnya dan syarat sahnya adalah termasuk perkara agama. Sehingga hal ini termasuk dalam lingkup pembahasan bid’ah atau tidak bid’ah. Jika ada orang yang membuat perkara baru dalam masalah zakat yang tak didasari dalil Al-Qur’an dan Hadits, maka hal itu merupakan bid’ah yang dlolalah.

Metoda Pengajaran Agama Bukan Termasuk Perkara Agama Itu Sendiri

Semua perkara aqidah, rukun iman dan rukun Islam termasuk perkara agama. Sehingga di situ kita boleh meneliti adanya bid’ah yang dlolalah atau tidak. Demikian pula pemahaman mengenai aqidah adalah termasuk perkara agama. Sehingga jika ada cara pandang dan pemahaman yang salah dalam masalah aqidah termasuk dalam penelitian bid’ah yang dlolalah atau tidak.

Namun metoda dan teknik pengajaran aqidah  bukan termasuk perkara agama.Sebagai contoh : Pembahasan ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah bagian dari aqidah dan termasuk perkara agama. Jika ada pemahaman yang salah mengenai Allah, misalnya meyakini bahwa Allah itu memiliki wajah seperti manusia, meyakini Allah itu berkelamin laki-laki, maka hal itu adalah perkara baru, karena Rasulullah s.a.w. belum pernah memiliki keyakinan seperti itu. Sehingga pemahaman Allah memiliki jism (anggota tubuh jasmani) adalah bid’ah dlolalah (sesat).

Namun metoda pengajaran untuk menjelaskan mengenai kekuasaan Allah dengan membagi tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah, tauhid ilahiyah dan tauhid asma wa sifat, itu hanyalah metoda pengajaran sehingga bukan termasuk perkara agama. Tidak perlu dibahas apakah dulu pada jaman Nabi s.a.w. tidak ada metoda pembagian seperti itu. Karena hal ini bukan termasuk wilayah pembahasan bid’ah.

Maka sungguh rancu sebagian pihak yang balik menyerang dengan mengatakan bahwa pembagian tauhid menjadi Tauhid Rububiyah, Tauhid Mulkiyah, Tauhid Uluhiyah serta Tauhid Asma wa Shifat adalah bid’ah karena tidak ada dalilnya. Maka masalah pembagian ini adalah masalah metoda saja dalam menjelaskan pelajaran tauhid. Tidak bisa disalah artikan dengan membagi bagi dzat Allah.

Apa-Apa Yang Allah Halalkan Dan Allah Haramkan Di Situ Ada Agama atau Syari’at

Dalam Al-Qur’an kita jumpai sebuah petunjuk apa yang dinamakan dengan agama

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (wa laa yadiinuna dinnal haqqi) (Q.S At-Taubah [9]: 29 )

Pada ayat di atas persoalan tidak mau mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan RasulNya disebut dengan tidak beragama secara benar wa laa yadiinuna dinnal haqqi. Maka jelas ada isyarat di sini yang dimaksud dengan perkara agama (diin) adalah dimana di situ ada masalah ketentuan halal haram

Kita kembali pada pembahasan yang telah lalu, mengenai penyebutan bid’ah bagi kaum nasrani pada masa Nabi Isa a.s. Allah menyebut mereka sebagai orang yang melakukan bid’ah maka pada ayat yang lain Allah berfirman :

Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa “. (Q.S At-Taubah [9]:31 )

Ketika Nabi ditanya apakah yang dimaksud dengan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah ? Sahabat bertanya, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“  Dalam riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (H.R.Tirmidzi)

Maka lihatlah mengapa Allah menyebut mereka menjadikan para rahib dan pendetanya sebagai Tuhan? Padahal mereka tidak bersujud dan menyembah rahib dan pendeta mereka? Maka Rasulullah s.a.w. menjelaskan bahwa mereka para rahib dan pendeta itu menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, dan para jamaah nya meng-amini saja, meng-iya-kan saja apa yang dilakukan oleh pemuka agama mereka.

Maka di sini dapat disimpulkan bahwa persoalan dimana di situ telah ditetapkan adanya yang halal dan haram oleh Allah, itu adalah syari’at dan itu adalah persoalan agama. Dan siapa yang mengubahnya tanpa landasan dalil syara, maka itu adalah bid’ah yang dlolal (sesat).

dan mereka (yang ) mengharamkan apa yang Allah telah rezki-kan pada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat (Q.S. Al-An’aam [6] : 140).

Jelas pada ayat di atas persoalan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dikaitkan dengan “mengada-adakan sesuatu terhadap Allah” sehingga ini adalah pembahasan bid’ah.

Rasulullah s.a.w.bersabda, “Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (H.R. Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi dan tercantum dalam hadits Arba’in)

Maka persoalan menghalalkan apa yang haram dan mengharamkan apa yang telah ditetapkan halal oleh Allah dan RasulNya itu adalah persoalan mengubah hukum Allah dan bukan persoalan yang sepele. Inilah yang termasuk pada membuat perkara baru (muhdats) dalam agama.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu (Q.S. Al-maidah [5] : 87)

Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu,  (demi) mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. At-Tahrim [66] : 1)

Dari Abu Darda’Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (H.R. Al Hakim dan Al Bazzar, beliau menshahihkannya)

Misalkan urusan jual beli, hal ini termasuk muamalah (hubungan antar manusia) sehingga termasuk ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Namun di situ ada aturan halal dan haram. Riba adalah haram, ada curang dalam timbangan adalah haram, menimbun barang adalah haram. Maka apa-apa yang diharamkan Allah adalah perkara agama dan di situ tak boleh diubah.

Dalam jual beli juga ada hal-hal yang halal, yaitu dihalalkan menjual binatang ternak, dihalalkan memberi melakukan penjualan secara kredit, dihalalkan untuk memberikan waktu khiyar selama 3 hari (boleh jadi atau batal membeli) Maka untuk hal-hal yang pernyataan dihalalkan tak boleh diharamkan,karena  itu termasuk perkara agama.

Sehingga jika ada orang yang menghalalkan riba, maka kita katakan itu adalah bid’ah (perkara baru). Apakah hal itu belum pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. ? Jawabnya : Ya, Rasulullah s.a.w. belum pernah menghalalkan riba. Lalu apakah itu bid’ah yang dlolalah? Jawabnya : Ya, karena ia telah menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Demikian pula jika ada orang yang mengharamkan penjualan secara kredit padahal Allah membolehkannya, maka hal itu juga merupakan bid’ah.

Apa Yang Di Situ Ada Perintah dan Larangan Allah dan NabiNya Maka Itu Termasuk Perkara Agama

Termasuk yang dimaksud dengan “urusan agama” adalah hal-hal dimana di situ ada perintah dan larangan baik dari Allah maupun RasulNya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman :

Dan Allah juga memberikan legitimasi (pengesahan) akan apa-apa yang dilarang oleh Rasul dan apa-apa yangdoperintakan oleh Rasul sebagai bagian dari syari’at.

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya) (Q.S. Al-Anfaal [8] : 20)

Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari’at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari’at) ini (Q.S. Al-Hajj [22] : 67)

Apa yang diberikan Rasul s.a.w. kepada kalian terimalah dan apa yang dilarangnya tinggalkanlah” (Q.S. Al-Hasyr [59] : 7)

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia (H.R. Daruqutni)

Maka apapun yang disitu ditempatkan perintah dan larangan Allah, maka hal itu merupakan perkara agama. Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menikah dan ini ibadah ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Rasul mengatakan menikah sebagai sunnahnya, dan barang siapa yang tidak menyukai sunnahku maka ia bukan umatku. Maka adanya perintah menikah ini adalah perkara agama. Sedangkan jima’ (bersetubuh) adalah ibadah ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Namun ada bagian tertentu di situ yang terdapat larangan Allah yaitu dilarang untuk menyetubuhi dari dubur, dan dilarang menyetubuhi wanita yang haid. Maka dalam hal larangan ini, jima’ merupakan perkara agama. Sedangkan hal-hal detil teknis lainnya, Allah dan RasulNya tidak ikut campur dan diserahkan pada kita, sehingga hal ini bukan perkara agama.

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (Q.S. Al-Hasyr [59] : 7)

Yang dimaksud mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui adalah menggunakan ra’yu (akalnya sendiri) tanpa mengindahkan nash dalil Al-Qur’an  dan hadits. Adapun metoda-metoda dalam memahami nash dalil pasti memerlukan akal juga seperti ilmu balaghoh, ilmu nahwu shorof, kaidah kaidah ushul fiqih, pertimbangan maqoshid syar’I, pertimbangan antara mudharat dan manfaat dll. Demikian pula metoda istinbath (menghasilkan) hukum fiqih itu semua itu tidak membuang atau mengabaikan sama sekali nash dalil Al-Qur’an maupun hadits bahkan semua kaidah itu digali dan dihasilkan dari metoda (cara) yang diajarkan Al-Qur’an juga ittiba’ (mengikuti) cara Rasulullah s.a.w. dalam memutuskan hukum fiqih. Yang  menjadi masalah pada masa sekarang ini adalah, sebagian orang ber-ittiba (mengikuti) dengan tampak luarnya saja, sedangkan sebagian yang lain mengikuti metode nya cara berfikirnya atau manhajnya dan bukan lahiriyah luarnya. Sehingga hal itu masih bisa dikatakan berada pada rel berlandaskan Al-Qur’an dan hadits.

Bersambung Jilid 5…

Leave a comment