MEMINTA JABATAN APAKAH HARAM?

MEMINTA JABATAN APAKAH HARAM?

Oleh : Abu Akmal Mubarok

Image

Apakah meminta jabatan itu adalah haram? Dan apakah mengharapkan atau mengincar sebuah jabatan itu adalah sesuatu yang haram? Permasalahan ini kemudian merembet pada masalah lain yaitu tuduhan bahwa kampanye adalah sebagai bentuk mempromosikan diri dan meminta jabatan, sehingga kampanye, pemilu dan pilkada itu haram. Dan orang yang mengincar kursi wakil rakyat adalah termasuk orang yang meminta jabatan.

Memang secara zhahir dalil, kita jumpai beberapa hadits yang mengisyaratkan tidak disukainya orang yang berambisi meminta jabatan.

Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar telah menceritakan kepada kami ‘Abdl Warits telah menceritakan kepada kami Yunus dari Al Hasan mengatkan telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Samurah mengatakan, Rasulullah s.a.w. bersabda kepadaku: “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan dengan meminta, maka kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu diberi dengan tanpa meminta, maka kamu akan diotolong.”(H.R. Bukhari No. 6614 dan No. 6132 Muslim No. 3120 dan No. 3401)

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al ‘Ala` telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Buraid dari Abu Burdah dari Abu Musa r.a. mengatakan : “Aku menemui Nabi s.a.w. bersama dua orang kaumku, lantas satu diantara kedua orang itu mengatakan; ‘Jadikanlah kami pejabat ya Rasulullah? ‘ orang kedua juga mengatakan yang sama. Secara spontan Rasulullah s.a.w. bersabda; “Kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada orang yang memintanya, tidak juga kepada orang yang ambisi terhadapnya.” (H.R. Bukhari No. 6616)

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Muhammad bin Ala’ dia berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Buraid bin Abdullah dari Abu Burdah dari Abu Musa dia berkata, “Saya dan dua orang anak pamanku menemui Nabi s.a.w., salah seorang dari keduanya lalu berkata, “Wahai Rasulullah, angkatlah kami sebagai pemimpin atas sebagian wilayah yang telah diberikan Allah Azza Wa Jalla kepadamu.” Dan seorang lagi mengucapkan perkataan serupa, maka beliau bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan bagi orang yang meminta dan yang rakus terhadapnya.” (H.R. Muslim No. 3402)

Namun di sisi lain ketidak bolehan ini bukan berarti bahwa tindakan meminta dipilih untuk menduduki suatu jabatan itu adalah sesuatu yang haram sama sekali. Maksudnya ialah jika ia meminta jabatan itu semata karena ambisi dunia dan tidak disertai dengan keterampilan dan pengetahuan yang memadai guna mengemban jabatan itu, dan ia tidak memiliki moral dan integritas diri yang baik yang diperlukan sebagai seorang yang amanah dalam menduduki jabatan itu.

Sedangkan jika orang yang beriman, memiliki integritas diri yang baik, yakin dirinya memiliki keahlian dan mampu memegang jabatan itu, maka hal itu tidaklah terlarang dalam meminta jabatan.

Hal ini pernah dilakukan oleh Nabiyullah Yusuf a.s. ketika meminta dirinya ditunjuk sebagai bendahara negeri Mesir.

Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan (Q.S. Yusuf [12] : 55)

Ada dua hal sebagai catatan di sini, ketika itu Mesir diperintah oleh Fir’aun yang kafir. Namun Nabiyullah Yusuf a.s. bersedia mengabdi menjadi pegawai negeri Fir’aun yang kafir. Kedua, Nabiyullah Yusuf a.s. mengajukan dirinya agar dipilih menjadi menteri keuangan, namun bukan dengan niat buruk ingin menguasai harta negeri Mesir, melainkan justru karena beliau yakin dengan integritas keimanan beliau sehingga tidak akan tergoda dengan harta duniawi dan tidak mungkin korupsi. Hal ini tercermin dari perkataan Nabi Yusuf a.s. :

sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga… (Q.S. Yusuf [12] : 55)

Hafiz artinya ia adalah orang yang amanah.

Selain keimanan dan integritas diri yang kokoh, beliau juga yakin dengan keterampilan ilmu keuangan yang beliau miliki, dan beliau mengetahui bahwa Negeri Mesir akan dilanda bencana kekeringan dan paceklik, maka pengajuan diri beliau menjadi menteri keuangan adalah dalam rangka menjamin negeri Mesir tidak kelaparan, karena di negeri Mesir terdapat kaumnya yaitu Bani Israil, yang otomatis ikut terjamin keselamatannya, terjamin kesejahteraannya jika posisi menteri keuangan dipimpin oleh dirinya yang beriman. . Hal ini tercermin dari perkataan Nabi Yusuf a.s. :

……lagi berpengetahuan (Q.S. Yusuf [12] : 55)

Ibnu Katsir dalamTafsirnya mengatakan : “Yusuf memuji dirinya sendiri,hal ini diperbolehkan jika lawan bicaranya tidak mengetahui mengenai dirinya, padahal inia dalah sesuatu yang penting untuk diketahui. Yusuf a.s. menyebutkan dirinya adalah orang yang pandai menjaga yakni sebagai bendaharawan (menteri keuangan) yang dapat dipercaya (amanah) ..lagi berpengetahuan, yakni memiliki ilmu yang luas dan berpengalaman dalam pekerjaan yang ditanganinya. Yusuf meminta jabatan itu karena merasa memiliki pengetahuan dan menguasai bidang tersebut dan ia mampu menanganinya dan akan membawa kemaslahatan bagi manusia. Sesungguhnya Yusuf a.s. meminta kepada raja agar mendudukkannya di jabatan kebendaharaan negara yang saat itu bermarkas di piramida piramida sebagai lumbung tempat mengumpulkan bahan makanan. Hal ini untuk menghadapi muslim paceklik akan datang yang diberitakan oleh Yusuf a.s. melalui tafsir mimpinya. (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 13 hal 5)

Syaibah Ibnu Nu’amah meriwayatkan dari Abu Hatim yang mengatakan lafadz hafidz pada ayat itu artinya adalah dapat menjaga apa yang dititipkan kepadanya, dan lafadz ‘aalim artinya memiliki pengetahuan akan datangnya muslim paceklik yang akan datang dan hal ikhwalnya.

Hal ini untuk membantah sebagian kalangan muslim yang terlalu bersemangat dan secara membabi buta mengharamkan kaum muslimin untuk bekerja sebagai pegawai di pemerintahan yang tidak berdasarkan hukum Islam. Menurut As-Saddi dan Abdurrahman Ibnu Zaid Ibnu Aslam, Yusuf a.s. berkuasa penuh di negeri Mesir dan dapat pergi kemanapun yang ia kehendaki. Menurut Ibnu Jarir Nabi Yusuf a.s. ketika itu dapat memilih tinggal di mana saja yang ia sukai di negeri Mesir sesudah mengalami masa kesempitan, dipenjara dan menjadi tawanan / budak. (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 13 hal 6)

Hal ini untuk membantah pendapat bahwa meminta dipilih menduduki sebuah jabatan itu adalah sebuah keharaman secara mutlak kapanpun dalam situasi apapun. Sangat berbahaya jika memahami dari satu dua hadits saja terlebih jika memahaminya secara harfiyah atau lahiriyah dari zhahir teks dalil saja. Untuk memahami aplikasi sebuah dalil perlu wawasan tentang sejarah dan penerapannya oleh para Nabi dan para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in dari waktu ke waktu.

Rasulullah s.a.w. menolak seseorang yang meminta jabatan jika dalam dirinya tidak terdapat kafa-ah (kemampuan) yang memadai untuk mengemban jabatan tersebut sebagaimana Rasulullah s.a.w. menolak Abu Dzar yang meminta jabatan sementara dirinya dipandang lemah oleh Rasulullah s.a.w.

Telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Syu’aib bin Laits telah menceritakan kepadaku bapakku Syu’aib bin Laits telah menceritakan kepadaku Laits bin Sa’ad telah menceritakan kepadaku Yazid bin Abu Habib dari Bakr bin ‘Amru dari Al Harits bin Yazid Al Hadhrami dari Ibnu Hujairah Al Akbar dari Abu Dzar dia berkata, saya berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat)?” Abu Dzar berkata, “Kemudian beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau seraya bersabda: “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar.” (H.R. Muslim No. 3404)

Maka kami sampaikan di sini, bahwa pada masa kini, pemilihan suatu jabatan tidak bisa dilakukan dengan menunggu ditunjuk. Bagaimana mungkin raja atau perdana menteri memilih seseorang jika tidak tahu reputasi orang tersebut, padahal pada zaman sekarang ini jumlah manusia berkali lipat dibanding jaman dulu. Misalkan di negeri yang berpenduduk 200 juta orang seperti Indonesia, bagaimana orang bisa dikenal jika tidak memperkenalkan diri?

Kita sering mengecam para pejabat yang korup dan pemerintahan yang bobrok. Lalu kemana orang-orang yang beriman? Kemanakah kaum muslimin yang memiliki yang jujur dan tidak mau korupsi? Bagaimana mungkin orang-orang yang beriman dan jujur ini hanya berteriak mengkritik saja dari kejauhan ? Jangan salahkan jika posisi penting pemerintahan negara diisi oleh orang yang bobrok bahkan non muslim sedangkan kaum muslimin sendiri mengharamkan kampanye, mengharamkan pilkada dan pemilu dengan alasan demokrasi itu adalah sistem kafir.

Siapa bilang bahwa meminta ditunjuk menempati jabatan adalah selamanya haram? Bahkan Umar bin Khattab r.a. dan Abu Ubaidah bin Jarrah pun meminta ditunjuk menduduki suatu jabatan kepada Abu Bakar r.a. ketika terpilih menjadi khalifah

Dalam kitab Bidayah wa Nihayah Ibnu Katsir menceritakan sebuah atsar : Sejak Abu Bakar diberi gaji setengah kambing dan dijamin pakaian dan sandang pangan (sebagai gaji seorang Khalifah) maka Umar r.a. berkata : “Biarlah aku yang menjadi qadhi (hakim pengadilan)” selanjutnya Abu Ubaidah bin Jarrah berkata : “serahkan kepadaku urusan pajak” Lalu Umar berkata : “Sejak aku menjadi qadhi di peradilan selama sebulan penuh aku menganggur tidak satu pun terjadi persengketaan antara dua orang (Atsar.R. Baihaqi dalam Sunan Al-Kubro Juz 1 hal 87 dan Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat Al Kubro Juz 3 hal 184, Al-Hafidz berkata dalam Al-Fath Juz 13 hal 129 sanadnya kuat )

Suatu saat Utsman bin Abul Ash meminta dijadikan Imam dan Rasulullah s.a.w. tidak mengecamnya, melainkan hanya berpesan kepadanya agar tidak terlalu panjang bacaan shalatnya serta mencari muadzin yang tidak perlu dibayar

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Musa telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Sa’id Al Jurairi dari Abul ‘Ala` dari Mutharrif bin Abdullah bahwa Utsman bin Abul Ash berkata, “Wahai Rasulullah, jadikanlah aku sebagai Imam bagi kaumku.” Beliau bersabda: “(Sesuaikanlah panjang shalatmu) dengan orang yang paling lemah dari mereka dan tunjuklah seorang mu`adzin yang ia tidak meminta bayaran atas adzannya.” (H.R. Ahmad No. 17230) semua perawi hadits ini dalam tiap tabaqot (generasi) adalah tsiqoh (terpercaya)

Maka jika orang beriman merasa dirinya beriman kemudian memiliki pengetahuan yang cukup untuk menduduki jabatan publik, dibolehkan untuk mengajukan dirinya. Tentu saja tidak serta merta ia akan terpilih. Penguasa dan pihak yang berkompeten akan mengujinya dan melakukan serangkaian test untuk mengetahui apakah benar yang bersangkutan pantas menduduki sebuah jabatan. Pada jaman sekarang dikenal dengan istilah fit and proper test. Proses ini pula yang diisyaratkan dalam firman Allah sebelum Nabiyullah Yusuf a.s. diangkat menjadi menteri keuangan.

Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami (Q.S. Yusuf [12] : 54)

One thought on “MEMINTA JABATAN APAKAH HARAM?

  1. Tulisan anda bagaikan orang berdoa “atina fiddunya hasah wafil akhirati hasanah” dan bukan sebagai orang yang sedang bermimpi sedang hidup di zaman nabi dan berada di lingkungannya.

Leave a comment