HUKUM KB DAN ALAT KONTRASEPSI DALAM PANDANGAN ISLAM (JILID 3)

HUKUM KB DAN ALAT KONTRASEPSI DALAM PANDANGAN ISLAM (JILID 3)

Oleh : Abu Akmal Mubarok
Image

PEMBATASAN KELAHIRAN KARENA ALASAN EKONOMI

Walaupun banyak anak harus diikuti dengan kemampuan ekonomi, namun hal itu tidak boleh dijadikan alasan kekhawatiran. Allah menyatakan menjamin sekiranya mereka miskin dan tidak mampu menikah, maka Allah akan memberikan rezeki kepada mereka.

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (Q.S. Ath-Thalaaq [65] : 7)

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (jomblo) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (nikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya (Q.S. An-Nuur [24] : 32)

Oleh karena itu dalam proses selanjutnya pun ketika orang yang telah menikah itu memiliki keturunan, maka tidak perlu khawatir akan tidak memperoleh rezeki. Allah lah yang akan memberi rezeki kepada anak tersebut dan tidak boleh membunuh anak karena tidak kuat menanggung beban ekonomi :

“….dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepada mu…” (Q.S. Al-An’aam [6] : 151)

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar …” (Q.S. Al-Israa’ [17] : 31)

Ibnu Abbas, Qatadah dan As-Saddi mengartikan kata imlaq dalam ayat di atas adalah kemiskinan.

Terkait ayat ini Abdullah bin Mas’ud pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. : “Dosa apa yang paling besar ? Rasulullah s.a.w. menjawab : bila kamu menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia yang menciptakanmu. Abdullah bin Mas’ud bertanya : “Lalu apa lagi?” Rasulullah s.a.w. menjawab : “Bila kamu membunuh anakmu karena takut anakmu ikut makan bersamamu” (H.R. Bukhari Muslim)

Ayat di atas memang berbicara mengenai kebiasaan bangsa Arab jahiliyah yang merasa malu dan aib jika mendapat bayi perempuan, dan kemudian membunuhnya atau menguburnya hidup-hidup. Ayat ini bisa diterapkan untuk orang yang membunuh anaka atau bayi karena khawatir tidak kuat membesarkan nya misalkan seorang ibu yang menggugurkan kandungannya atau menjual bayinya.

Namun dalam masalah KB, upaya pencegahan kehamilan tidak bisa diqiyaskan (dianalogikan) sebagai kasus membunuh. Upaya pencegahan kehamilan tidak sampai pada derajat membunuh.

PENDAPAT BAHWA KB ADALAH PEMBUNUHAN TERSELUBUNG

Ada orang yang berpendapat bahwa KB adalah pembunuhan janin, mengambil dalil berdasarkan sebuah hadits yang menyatakan bahwa azl adalah pembunuhan terselubung :

Judzamah Bintu Wahab r.a. berkata: Aku pernah menyaksikan Rasulullah s.a.w. di tengah orang banyak, beliau bersabda: “Aku benar-benar ingin melarang ghilah (menyetubuhi istri pada waktu ia hamil), tapi aku melihat di Romawi dan Parsi orang-orang melakukan ghilah dan hal itu tidak membahayakan anak mereka sama sekali.” Kemudian mereka bertanya kepada beliau tentang ‘azl (menumpahkan sperma di luar rahim). Maka Rasulullah s.a.w. bersabda: “Itu adalah pembunuhan terselubung (H.R. Muslim)

Berdasarkan hadits di atas, maka ada pihak yang memperluas makna dengan mengatakan bahwa segala upaya untuk menghalangi pertemuan sperma dengan sel telur (temasuk dalam hal ini kondom, pil KB, IUD, spiral dan alat kontrasepsi lainnya) adalah haram karena merupakan pembunuhan sperma yang nantinya menjadi janin.
Saya termasuk yang dulu berpendapat ekstrim seperti di atas. Namun pendapat ini tidak benar karena banyak hadits lain yang juga shahih yang menyatakan bahwa azl (coitus interuptus) bukanlah pembunuhan terselubung.

Dari Abu Said Al-Khudri r.a. bahwa ada seseorang berkata: “Wahai Rasulullah, aku mempunyai seorang budak perempuan, aku melakukan ‘azl padanya karena aku tidak mau ia hamil, namun aku menginginkan (bersetubuh) sebagaimana yang diinginkan orang kebanyakan. Tapi orang Yahudi mengatakan bahwa perbuatan ‘azl adalah pembunuhan kecil. Beliau bersabda: “Orang Yahudi bohong. Seandainya Allah ingin menciptakan anak (dari hasil persetubuhan itu), maka engkau tidak bakal mampu mengeluarkan air mani di luar rahim.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Nasa’i dan Ath-Thahawy). Lafadznya menurut Abu Daud. Hadits ini seluruh perawinya tsiqoh (terpercaya).

Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Amru Al Asy’atsi telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Sa’id bin Hasan dari Urwah bin Iyadl dari Jabir bin Abdullah dia berkata; Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi s.a.w.; “Saya melakukan azl saat berhubungan dengannya?” Maka Rasulullah s.a.w. menjawab: “Sesungguhnya yang demikian itu tidak akan mampu mencegah sesuatu yang telah ditetapkan Allah.” (H.R. Muslim No. 2607)

Dalam hadits di atas diungkapkan pernyataan bahwa sahabat suatu ketika tidak menginginkan adanya kehamilan dan hal ini didiamkan atau tidak ada kecaman dari Rasulullah s.a.w. kecuali pernyataan yang intinya bahwa apapun upaya manusia jika Allah menghendaki kehamilan akan terjadi juga kehamilan itu. Maka pernyataan seperti ini bukan mencela atau melarang upaya pencegahan kehamilan.

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim. Ishaq berkata : telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar berkata : Telah menceritakan Sufyan dari Amru dari ‘Atha’ dari Jabir ia berkata : “Kami biasa melakukan azl di saat Al-Qur’an masih turun” Ishaq menambahkan : “Sekiranya azl dilarang tentu Al-Qur’an akan melarang perbuatan kami” (H.R. Muslim No. 2608)

Dari hadits di atas jelas menyatakan bahwa upaya pencegahan kehamilan dengan cara azl (coitus interuptus) tidak dilarang oleh Allah. Sekiranya hal itu dilarang maka akan diturunkan ayat yang melarangnya karena hal itu terjadi di masa wahyu masih turun. Padahal Azl hakikatnya sama saja upaya untuk mencegah sperma bertemu dengan sel telur. Maka jika azl boleh, berarti upaya menghalangi sperma bertemu dengan sel telur dengan metoda pencegahan kehamilan lainnya juga boleh.

Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa yang jadi masalah boleh dan tidak boleh bukan soal menghalangi sperma bertemu dengan sel telur, dan bukan upaya mencegah kehamilannya, melainkan motivasinya karena apa. Jika motivasinya karena zina dan tidak ingin hamil, maka zinanya itu sendiri sudah haram. Jika motivasinya karena takut miskin maka hal itu adalah tercela. Jika motivasinya tidak ingin anak sama sekali itu juga hal yang dibenci.

PEMBATASAN KELAHIRAN KARENA ALASAN KESEHATAN

Berbeda dengan pembatasan kelahiran karena alasan politis yaitu sengaja bermaksud membatasi jumlah populasi umat Islam, adalah haram. Demikian pula pembatasan kelahiran karena hanya ingin bersenang-senang dengan jima’ (bersetubuh) namun tidak ingin punya anak adalah diharamkan. Sedangkan pembatasan kelahiran karena alasan kesehatan masih dibolehkan. Misalkan seorang wanita yang terkena kanker rahim sehingga rahimnya harus diangkat sehingga ia tidak bisa memiliki anak lagi. Maka hal ini adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari karena jika tidak demikian, penyakit kanker tersebut akan menyebar dan membahayakan jiwa wanita tersebut.

Demikian pula wanita yang menderita penyakit HIV dan penyakit lain yang belum ada obatnya, atau menderita talasemia, dan penyakit hereditas (keturunan) lainnya dimana keturunannya pasti tertular penyakit ibunya, maka boleh melakukan pembatasan kelahiran.

Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya (Q.S. Al-Baqarah [2] : 233)

Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Jabir dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tidak boleh membahayakan (orang lain) dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya.” (H.R. Ahmad No. 2719)

Ayat dan hadits di atas menjadi landasan bahwa menyelamatkan kesehatan dan kehidupan orang yang masih hidup lebih diprioritaskan daripada jiwa-jiwa yang belum terbentuk atau yang baru akan lahir. Karena manusia yang hidup bisa memproduksi manusia lainnya yang akan lahir. Namun manusia yang akan lahir tidak bisa menyelamatkan manusia yang hidup. Maka pembatasan kelahiran karena alasan kesehatan adalah dibolehkan.

PEMBATASAN KELAHIRAN KARENA TIDAK MAU PUNYA ANAK LAGI

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang muslim tidak boleh berniat untuk tidak mau memiliki anak sama sekali karena salah satu tujuan pernikahan adalah berketurunan dan Rasulullah s.a.w. menyuruh kita untuk banyak anak sehingga kelak di hari kiamat.akan berbangga dengan jumlah umatnya.

Walaupun demikian, boleh saja seseorang yang sudah dikaruniai sekian anak yang banyak kemudian memutuskan untuk tidak ingin menambah anak lagi. Namun yang belum punya anak tidak boleh bertekad tidak punya anak. Bolehnya pembatasan kelahiran semacam ini diisyaratkan dalam hadits berikut ini :

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami Abu Usamah telah menceritakan kepada kami Hisyam dari ayahnya dari Aisyah tentang firman Allah ‘azza wajalla: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya.” (Q.S. An-Nisaa`: 128) ….Ia berkata: (ayat ini) turun berkenaan tentang wanita yang hidup bersama suaminya, lalu ia tidak mau menambah anak lagi darinya, lalu ia (karena itu sang suami) ingin mencerainya, ia telah lama menemaninya dan telah punya anak, ia tidak ingin suaminya mencerainya lalu berkata: Engkau terbebas dari urusanku (yaitu memberikan giliran malamnya kepada isteri yang lain). (H.R. Muslim No. 5343)

Pada hadits di atas diisyaratkan adanya seorang isteri yang tidak mau dicampuri (tidak mau berhubungan badan) dengan suaminya karena tidak mau menambah anak lagi. Dan dalam hadits tersebut juga diceritakan bahwa wanita tersebut sebelumnya telah memiliki anak. Jadi bukannya sama sekali tidak menginginkan punya anak. Maka pembatasan jumlah anak seperti ini adalah diperbolehkan asalkan alasannya bukan karena khawatir tidak bisa memberi makan atau takut miskin.

Demikian pula pembatasan jumlah anak seperti ini bukan karena alasan politis seperti ditekan penguasa agar jumlah populasi umat Islam tidak berkembang pesat.
Alasan yang dibolehkan adalah karena alasan kesehatan, misalkan karena sang isteri sudah tua dan tidak sanggup lagi jika memiliki anak kecil atau memelihara bayi. Demikian pula karena sudah tua dikhawatirkan kehamilannya tidak sehat sehingga dikhawatirkan akan melahirkan bayi yang cacat atau kurang sehat.

BERSAMBUNG JILID 4…

2 thoughts on “HUKUM KB DAN ALAT KONTRASEPSI DALAM PANDANGAN ISLAM (JILID 3)

  1. Seriusly saya mula rasa cemburu dengan blog awak …
    coz… memang cantik laa 🙂

Leave a comment