MENG-QADHA SHOLAT

MENG-QADHA SHOLAT

 Oleh :  Abu Akmal Mubarok

Image

Sebagian orang yang berpendapat bahwa tidak ada qodho dalam masalah sholat berpatokan pada ke-umum-an dalil dari ayat Al-Qur’an bahwa sholat itu sudah tertentu waktunya sehingga jika dilaksanakan di luar waktunya itu tidak sah dan tak mendapat pahala.

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (Q.S. At-Taubah [9] :4)

Orang yang berpendapat bahwa tidak ada qodho dalam masalah sholat juga berpatokan logika bahwa jenis ibadah yang ditetapkan waktunya harus dilaksanakan pada waktunya, dan apabila telah lewat waktunya sudah menjadi tidak masyru’ lagi sehingga tak bisa diganti diwaktu lain. Mereka memberi contoh seperti sholat Jum’at tak bisa dilakukan pada hari Sabtu. Demikian pula wuquf Arofah pada saat haji tak dapat dilakukan pada waktu yang lainnya.

Alasan dan logika di atas seolah benar secara umum. Namun kita tidak boleh memutuskan berdasarkan logika kita sendiri melainkan harus meninjau praktek  masalah mengqodho sholat yang dilakukan Rasulullah s.a.w. dan para sahabat. Misalnya kita menjumpai bahwa Rasulullah s.a.w. pernah kesiangan melaksanakan shalat subuh yaitu pada hadits berikut ini :

Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi s.a.w. ketika kembali dari perang Khaibar beliau berjalan satu malam sampai ketika beliau mengantuk, beliau berhenti untuk istirahat dan bersabda kepada Bilal r.a. : “Malam ini berjagalah kamu untuk kami”. Lalu Bilal sholat semampunya sedangakan Rasulullah s.a.w. dan para sahabat tidur. Menjelang subuh, Bilal bersandar ke kendaraannya lalu dia pun tertidur. Rasulullah SAW tidak bangun, tidak pula Bilal dan tak seorang sahabatpun bangun sampai mereka diterpa sinar matahari. Lalu Rasulullah s.a.w. terkejut dan bersabda : “Hai Bilal!”. Bilal menjawab : “Bapak dan ibuku sebagai penebusmu ya Rasulullah, telah mengalahkan diriku apa yang telah mengalahkan pada dirimu” Lalu mereka menuntun kendaraan masing-masing satu per satu kemudian Rasulullah s.a.w. berwudlu dan memerintahkan Bilal beriqomah. Lalu Rasulullah s.a.w. shalat subuh bersama mereka. Ketika Beliau telah selesai dari sholatnya beliau bersabda : “Barangsiapa yang lupa akan sholatnya hendaklah ia melakukan sholat ketika dia ingat, karena sesungguhnya Allah berfirman : Dirikanlah sholat untuk mengingat Aku (Q.S. Thaha : 115)”(H.R. Muslim)

Rasulullah s.a.w. juga pernah lupa atau terhalang shalat ashar karena sibuk dalam perang Khandaq

Dan telah menceritakan kepadaku Abu Ghassan Al Misma’i dan Muhammad bin Al Mutsanna dari Mu’adz bin Hisyam. Abu Ghassan mengatakan; telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam telah menceritakan kepadaku Ayahku dari Yahya bin Abu Katsir, katanya; telah menceritakan kepada kami Abu Salamah bin Abdurrahman dari Jabir bin Abdullah, bahwa pada perang Khandaq, Umar bin Khattab mencela habis-habisan terhadap orang kafir Quraisy dan berujar; “Wahai Rasulullah, demi Allah, hampir saja aku tidak shalat Ashar hingga matahari nyaris tenggelam.” Maka Rasulullah s.a.w. bersabda; “Demi Allah, aku akan mendirikannya  sekarang, ” Ketika kita singgah di Bathan, Rasulullah s.a.w. mengambil air wudlu’ dan kami pun berwudlu’, lalu Rasulullah s.a.w. shalat ashar setelah matahari terbenam, kemudian beliau shalat maghrib sesudahnya” (H.R. Muslim No. 1000 Bukhari No. 563)

Bahkan dalam riwayat lain dikatakan bahwa dalam perang Khandaq itu bukan hanya shalat Ashar yang tertinggal melainkan shalat fardhu lainnya juga dan semuanya dirapel / diqodho pada satu waktu :

Dari Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud dari ayahnya “bahwa orang-orang musyrik telah menyebabkan Nabi s.a.w. lupa empat shalat pada peperangan Khandaq,  sampai habis sebagian malam kemudian beliau s.a.w. menyuruh bilal kemudian bilal mengumandangkan adzan dan iqamat, kemudian Nabi s.a.w. shalat Zuhur lalu Bilal iqamat lalu Nabi s.a.w. shalat Ashar kemudian Bilal iqamat lalu Nabi Shalat Maghrib lalu Bilal iqamat, lalu Nabi s.a.w. shalat Isya” (H.R. Ahmad, Tirmidzi dan Nasa’i dicantumkan dalam Nailul Authar Jilid 1 Hal 361) Tirmidzi berkata hadits ini sanadnya Abu Ubaidah tidak mendengar dari Abdullah

Maka dari kedua hadits di atas, Rasulullah s.a.w. tetap melaksanakan shalat yang tertinggal walaupun sudah lewat dari batas waktunya. Hal ini dikarenakan ketiduran, lupa atau disibukkan karena suatu masalah.

Dari hadits Anas bin Malik r.a. berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : “Barangsiapa yang lupa akan shalatnya atau tertidur dari sholatnya maka kaffaratnya (tebusannya) adalah dia melaksanakan sholat pada saat ia sudah ingat” (H.R. Bukhari)

Lalu bagaimana dengan pernyataan bahwa masing-masing sholat itu sudah ditetapkan batas waktunya?  Misalnya tertidur atau lupa  sholat Ashar melewati waktu Maghrib atau Isya, kapankah batas waktu sholat Ashar itu? Semula sholat ashar itu batasnya sampai waktu maghrib tiba/ Jika dilaksanakan setelah Isya (karena tertidur) batas waktu sholat ashar itu sampai kapan?

Dalam masalah ini sebagian ulama mengatakan bahwa qodho sholat itu harus segera dilaksanakan segera setelah dia ingat. Segera itu tak ada batas waktu tertentu melainkan sesegera mungkin yang bisa kita lakukan. Dalilnya hadits dari Dari Abu Az-Zinad, dari Al A’raj dari Abu Hurairah r.a. Nabi bersabda : “Barangsiapa yang lupa akan sholatnya maka waktunya adalah ketika dia mengingatnya” (H.R. Baihaqi dan Daruquthni)

Jadi termasuk yang boleh meng-qadha sholat adalah bila ia lupa dan bukan karena menyengaja tidak melaksanakan shalat.

Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman Bin Mahdi telah menceritakan kepada kami al-Mutsanna Bin Sa’id dari Qatadah dari Anas dari Nabi s.a.w. bersabda, “Jika salah seorang dari kalian tertidur dan belum shalat atau lupa maka shalatlah ketika ingat, sesungguhnya Allah ‘azza wajalla berfirman: “Tegakkan shalat untuk mengingatKu”. (H.R. Ahmad No. 12442)

Jadi jatuh tempo waktunya adalah ketika ingat. Sebagian besar fuqaha (ahli fiqih) berpendapat harus segera melaksanakannya dan tak boleh ditunda. Pendapat ini adalah pendapat imam Ahmad, Imam abu Hanifah, Malik, Az-Zuhri, Yahya bin Sa’id Al-Anshori, dan Rabi’ah bin Abi Abdurrahman. Sedangkan Imam Syafi’I berpendapat boleh ditunda karena isyarat dalam hadits di atas bahwa Rasulullah menyuruh untuk menuntun kendaraannya menuju tempat lain sebelum akhirnya melaksanakan sholat subuh.

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah berkata; telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Tsabit Al Bunani dari Abdullah bin Rabah Al Anshari dari Abu Qatadah ia berkata; “Para sahabat menyebutkan kepada Nabi s.a.w. bahwa mereka ketinggalan shalat karena tidur, maka beliau pun bersabda: “Dalam tidur tidak ada istilah meremehkan, tetapi meremehkan itu ketika dalam keadaan sadar (tidak tidur). Maka jika salah seorang dari kalian lupa tidak mengerjakan shalat, atau ketiduran, maka hendaklah ia shalat ketika telah ingat.” (H.R. Tirmidzi No. 162)

Tirmidzi berkata; “Dalam bab ini juga ada riwayat dari Ibnu Mas’ud, Abu Maryam, Imran bin Hushain, Jubair bin Muth’im, Abu Juhaifah, Abu Sa’id, ‘Amru bin Umayyah Adl Dlamri dan Dzu Mikhbar, disebut juga dengan nama Dzu Mikhmar -yaitu anak laki-laki dari anak laki-laki An Najasyi-.” Abu Isa (Tirmidzi) berkata; “Hadits Abu Qatadah derajatnya hasan shahih. Para ulama berbeda pendapat mengenai seseorang yang lalai mengerjakan shalat karena ketiduran atau lupa, lalu ia terbangun atau ingat ketika waktu shalat telah habis, yaitu ketika matahari telah terbit atau telah terbenam. Sebagian dari mereka berkata; “Ia harus mengerjakannya jika telah bangun atau ingat, meskipun matahari ketika itu sedang terbit atau sedang terbenam.” Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, Syafi’i dan Malik. Sedangkan sebagian lain berkata; “Ia tidak boleh melaksanakan shalat hingga matahari terbit atau tenggelam.”

Disebutkan juga bahwa Nabi s.a.w. dan para sahabat pernah melaksanakan shalat Ashar setelah Maghrib karena dahsyatnya peperangan yaitu pada saat perang Khandaq, sedangkan telah dimaklumi secara pasti bahwa mereka saat itu tidak tertidur dan tidak pula lupa (Ibnul Qayyim Fiqih Shalat hal 576)

Lalu sampai kapan bisa menunda itu apakah sama sekali tidak ada batas waktunya? Pada dasarnya sholat itu harus dilaksanakan segera setelah bangun dari tidur atau ingat. Dan batasnya adalah sampai masuk waktu sholat berikutnya.

Dari Abu Qatadah r.a. : “Bahwa sesungguhnya mereka mengadu kepada Nabi SAW mengenai ketiduran mereka dari shalatnya maka Beliau bersabda : “Tak ada penyia-nyiaan (shalat) dalam ketiduran. Apabila salah seorang dari kalian lupa akan shalatnya atau tidur, maka hendaknya dia shalat apabila sudah ingat dan tak ada kaffarat baginya kecuali itu” (H.R. Muslim)

Telah menceritakan kepada kami ‘Affan dan Bahz berkata; telah menceritakan kepada kami Hammam telah mengabarkan kepada kami Qatadah berkata; ‘Affan dalam haditsnya telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik, Nabi s.a.w. bersabda: “Siapa saja yang lupa shalat maka shalatlah tatkala dia ingat dan tidak ada kafarah dalam hal itu (H.R. Ahmad No. 13345)

Mengenai hal ini Abu Qatadah berkata : tak ada penyalahgunaan di dalam tidur, penyalahgunaan itu hanya atas orang-orang yang tidak melakukan sholat sampai datang waktu sholat lainnya” (Atsar R. Muslim)

Orang Yang Lemah Iman Dan Belang Betong Sholatnya

Pada jaman sekarang ini kita banyak menjumpai orang yang “belang betong” dalam shalatnya karena lalai atau dilalaikan oleh dunia. Maka sebagian berpendapat tak ada gunanya meng-qodho shalatnya. Dan ada pula yang berkata bahwa boleh meng-qodho sholat itu hanya bagi yang ketiduran saja namun tidak ada qodho bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat.

Namun jika kita cermati hadits-hadits di atas Rasulullah s.a.w. bersabda “Apabila salah seorang dari kalian lupa akan shalatnya atau tidur  Jelas bahwa “lupa akan sholatnya” berbeda dengan “tidur”. Maka termasuk pada katagori “lupa akan sholatnya” itu bisa karena hilang akal, mabuk, atau disibukkan oleh suatu hal yang darurat dan tak dapat ditinggalkan, seperti halnya kasus Rasulullah s.a.w. dan Umar bin Khattab r.a. yang sibuk berperang di perang Khandaq hingga lupa shalat Ashar sampai lewat matahari terbenam.

Maka dari sini sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa termasuk katagori “lupa” ialah orang yang dilalaikan oleh perdagangan dan kesibukan dunia lainnya.  Maka yang dimaksud hendaknya dia shalat apabila sudah ingat bisa juga termasuk apabila ia sudah sadar atau insyaf dari dilalaikannya kesibukan dunia. Bisa juga dianggap bahwa suatu ketika orang lemah imannya sehingga melalaikan shalat, maka ia boleh meng-qadha sekian banyak shalatnya yang pernah oa tertinggalkan.

Adapun mengenai apakah ia berdosa atau tidak, apakah sholatnya diterima atau tidak, sesungguhnya hanya Allah-lah yang lebih tahu dan berkuasa menetapkan dosa dan pahala. Dan bukan pada kapasitas kami untuk menentukan diterima atau tidaknya sholat Anda.

Maka hal ini berbeda dengan sebagian ulama garis keras yang berpendapat telah kafir dan murtad orang yang secara sengaja meninggalkan shalatnya walaupun hanya 1 X dalam hidupnya. Hal ini berdasarkan zhahir teks dari hadits berikut ini :

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal berkata, telah menceritakan kepada kami Waki’ berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Az Zubair dari Jabir ia berkata, “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Pemisah antara seorang hamba dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (H.R. Abu Daud No. 4058 dan Ibnu Majah No. 1070)

Berdasarkan survei hanya 28 % orang Islam shalat secara teratur. Maka jika pendapat ini diterapkan, jutaan orang akan dianggap kafir dan murtad. Yang menjadi masalah, konsekuensi menyatakan orang murtad dan keluar dari Islam akan berimplikasi secara pidana dan perdata. Karena dalam hukum pidana Islam, orang yang murtad dihukum dibunuh. Sedangkan secara perdata, istrinya harud diceraikan,  tidak ada hubungan ahli waris (jika yang murtad ayahnya, maka anak tidak mewarisi harta anaknya). Demikian pula jika anaknya perempuan,maka ayah yang murtad tidak berhak menjadi wali. Maka berapa juta keluarga muslim yang harus bercerai dan berapa juta anak yang harus dibesarkan dengan keluarga broken home, jika fatwa murtad ini diterapkan? Sungguh kekacauan yang akan terjadi.

Maka ayat di atas tidak dapat diterapkan sesuai zhahirnya. Dan perkara meninggalkan shalat ini telah kami bahas tersendiri dalam tulisan kami. Adapun salah seorang da’iyah masa kini bernama Zainab Al-Ghazali (istri dari Muhammad Al-Ghazali) berijtihad bahwa orang yang telah sekian lama meninggalkan shalat karena hatinya lalai dan ketika itu imannya sedang turun, kemudian ia menyadari kesalahannya dan bertaubat, maka ia boleh menqadha shalat yang sekian lama ditinggalkannya. Caranya ialah setiap kali ia shalat 5 waktu, ia boleh melaksanakannya dua kali. Yang sekali untuk melaksanakan kewajibannya saat ini, dan sekali lagi untuk meng-qadha shalat yang pernah ia tinggalkan. Adapun ini hanya upaya untuk melengkapi taubat yang telah ia lakukan. Ini adalah murni ijtihad dari Zainab Al-Ghazali.

Benarkah Shalat Yang Lewat Waktunya Adalah Sia Sia?

Ada orang yang mengatakan bahwa shalat orang yang telah lewat waktunya adalah percuma dan tidak akan diterima shalatnya berdasarkan hadits ini :

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Abdah bin Sulaiman dan Ja’far bin Aun dari Al Ifriqi dari Imran dari Abdullah bin Amru ia berkata, “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tiga golongan yang shalatnya tidak diterima; seseorang yang mengimami suatu kaum sementara mereka tidak menyukainya, orang yang tidak melaksanakan shalat kecuali telah habis waktunya. ” (H.R. Ibnu Majah No. 960)

Maka hadits ini tidak bisa dijadikan dalil karena ini adalah hadits dla’if. Dua perawinya adalah tidak tsiqoh. Abdurrahman bin ziyad bin anum dikatakan dla-if oleh Ibnu Hajar Asqolani, As-Saji, Nasa’i Yahya bin Ma’in dan Abu Zur’ah. Bahkan Ibnu Kharasy mengatakan ia matruk (ditinggalkan). Demikian pula perawi lainnya yaitu Imran bin Abd juga dinyatakan dla’if oleh Ibnu Hajar Asqolani dan Yahya bin Ma’in.

Sedangkan sholat tepat waktu sajapun belum tentu diterima. Hal itu adalah hak prerogatif Allah untuk menerima atau tidak sholat Anda. Adapun banyak sekali firman Allah SWT yang mengecam akan orang yang lalai dari sholatnya, hal itu agar manusia tidak meremehkan dan menganggap enteng perkara ini. Imam Ahmad, Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’I sama-sama berpendapat bahwa mengganti sholat yang tertinggal, tidak menghilangkan dosa dari orang yang meniggalkan sholatnya tersebut. Wallahua’lam.

2 thoughts on “MENG-QADHA SHOLAT

  1. muhamad says:

    pak mau tanya, bagaimana jika ketinggalan solat isya karena ketiduran tapi tempat berwudhu dibelakang dan saya takut?

Leave a comment