APAKAH SALAH MENGARTIKAN AULIYA = PEMIMPIN (JILID 3)

TAFSIR AYAT-AYAT YANG MEMUAT KATA AULIYA / WALI (SAMBUNGAN)

abbasiyah-06

Seperti disampaikan pada tulisan sebelumnya, banyak ayat Al-Qur’an yang memuat kata “auliya” atau “wali” disertai dengan larangan menjadikan orang kafir sebagai “auliya” atau “wali”. Berikut ini lanjutannya :

Tafsir Q.S. Ali Imran [3] : 118

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi auliya (teman kepercayaanmu) orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. (Q.S.Ali-Imran [3] : 118)

Ibnu Katsir ketika menafsirkan Q.S. Ali Imran : 118 menjelaskan Allah melarang hamba-hambaNya yang mukmin mengambil orang munafiksebagai teman kepercayaan dengan menceritakan rahasia kaum muslim kepada mereka. Karena kata “bithonah” artinya teman dekat yang mengetahui segala rahasia pribadi. Dunikum orang yang diluar kalangan kalian maksudnya adalah kalangan yang tidak seagama. (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4 Hal. 104)

Imam Suyuthi ketika membahas Q.S. Ali Imran : 118 mengutip hadits dari Ibnu Syaiban dan Abu Hatim, dari Abud Dihqanah yang menceritakan” bahwa pernah dilaporka kepada Khalifah Umar bin Khattab r.a. “Sesungguhnya di sini terdapa pelayan dari penduduk  Al-Hairah yang ahli dalam pembukuan dan surat menyurat, bagaimanakah jika engkau mengambilnya sebagai juru tulismu? Maka Khalifah Umar bin Khattab r.a. menjawab : Kalau begitu , berarti aku mengambil teman kepercayaan selain dari kalangan orang mukmin” (Tafsir Durul Mantsur Tafsir bil Ma’tsur, Jilid 3 Hal. 738)

Ibnu Katsir juga memuat Atsar Umar bin Khattab melarang merekrut pegawai Nasrani sebagai penerapan dari ayat ini. kemudian menjelaskan : Atsar di atas merupakan dalil yang menunjukkan tidak boleh mengambil orang kafir dalam kedudukan sebagai sekretaris dan kedudukan lain yang menyebabkan ia mengetahui rahasia kaum muslimin. (Tafsir Ibnu Katir Jilid 4 Hal. 106)

Lebih lanjut Ibnu Katsir mengutip hadits dari Abu Ya’la yang meriwayatkan dari Al Azhar Ibnu Rasyid datang kepada Anas r.a. yang menceritakan sebuah hadits : “bahwa Nabi s.a.w. bersabda : Janganlah kalian meminta penerangan dari api kaum musyrik.. mereka tidak mengerti makud kalimat Raulullah s.a.w. tersebut kemudian datang kepada Al-Hasan..maka Al-Hasan mengataka : “Janganlah kalian mengambil api penerangan dari kaum musyrik ialah janganlah meminta penerangan dari kaum musyrik terkait urusan kalian. Kemudian Al-Hasan mengatakan bahwa hal yang membenarkan hal tersebut berada dalam Kitabullah yaitu melalui firmanNya Q.S. Ali Imran [3] : 118” (H.R. Abu Ya’la)

Ath-Thabari ketika menjelaskan ayat ini mengutip Ibnu Abbas r.a. menjelaskan makna ayat ini: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang orang beriman untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan) sementara masih ada orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka (menjajah mereka), sehingga kaum mu’minin menampakkan kebaikan pada mereka namun tetap (dalam hatinya) menolak mereka dalam masalah agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: ‘kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka‘” (Tafsir Ath-Thabari, Jilid 3 Hal. 825).

 

Tafsir Q.S. An-Nisaa’ [4] : 89

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka sebagai auliya (mu), sampai mereka mau berhijrah ke jalan Allah (Q.S An-Nisa [4] : 89)

Ibnu Katsir menjelaskan maksud ayat di atas mengutip perkataan Al-Aufi dari Ibnu Abbas bahwa dahulu ada segolonan orang yang sudah masuk Islam, namun tidak mau ikut berhijrah ke Madinah memenuhi perintah Rasulullah s.a.w. dan tetap berada di Mekah. Kemudian ketika terjadi Perang Uhud antara kaum muslimin dengan Kafir Quraisy, maka sebagian orang Islam yang  masih ada di Mekah ini malah membantu kaum Musyrik Mekah.

Maka suatu ketika kaum ini pun keluar untuk berniaga. Maka reaksi sebagian kaum muslimin di Madinah terbagi menjadi 2 kelompok. Yang mengatakan : ‘Ayo kita kejar mereka dan kita bunuh mereka, karena mereka telah membantu musuh melawan kita” Karena menganggap mereka adalah pengkhianat. Sedangkan sebagian lagi tidak setuju membunuh mereka, karena mereka masih dianggap sesama kaum muslimin. Mereka berkata : “Maha Suci Allah apakah kalian akan membunuh suatu kaum yang pembicaraannya sama (maksudnya se-agama) hanya karena mereka tidak ikut hijrah, dan tidak mau meninggalkan rumah mereka?”

Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? (Q.S An-Nisa [4] : 88)

Maka Allah menurunkan ayat yang menjelaskan bahwa mereka adalah kaum munafik, karena tidak mau berhijrah dan berperang di pihak kaum muslimin bahkan justru berpihak dan membantu kepada kaum musyrikin Mekah melawan umat Islam.

Maka Ibnu Katsir mengatakan menurut Al-Aufi dan Ibnu Abbas bahwa perkataan “supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah kafir, maksudnya adalah agar umat Islam yang di Madinah juga kembali ke Mekah dan menahan diri dari memerangi Musyrikin Mekah. (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5 hal. 357)

Maka orang seperti ini (yaitu munafik) jangan dijadikan auliya (yaitu dianggap sekutu atau kelompok orang beriman). Ibnu Katsir berkata wali di sini artinya adalah janganlah menjadikan mereka teman dan penolong dalam menghadapi musuh-musuh Allah selagi sikap mereka masih tetap tidak mau hijrah.

tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi waliyan (penolong), dan jangan (pula) menjadi nashiiron (penolong) (Q.S An-Nisa [4] : 88)

Imam Suyuthi ketika menafsirkan ayat ini mengutip sebuah hadits dari Abdurrahman bin Auf bahwa beberapa orang Arab datang kepada Rasulullah s.a.w. di Madinah. Lalu mereka masuk Islam, kemudian mereka ditimpa demam Madinah, karena itu mereka kembali kafir lalu mereka keluar dari Madinah. Kemudian mereka berjumpa dengan sahabat Nabi, lalu sahabat menanyakan sebab-sebab mereka meninggalkan Madinah.

Mereka menerangkan bahwa mereka ditimpa demam Madinah. Sahabat-sahabat berkata: Mengapa kamu tidak mengambil teladan yang baik dari Rasulullah? Sahabat-sahabat terbagi kepada dua golongan dalam hal ini. Yang sebahagian berpendapat bahwa mereka telah menjadi munafik, sedang yang sebahagian lagi berpendapat bahwa mereka masih Islam. Lalu turunlah ayat ini yang mencela kaum Muslimin karena menjadi dua golongan itu, dan memerintahkan supaya orang-orang Arab itu ditawan dan dibunuh, karena mereka tidak berhijrah ke Madinah, karena mereka disamakan dengan kaum musyrikin yang lain (H.R. Ahmad Jilid 3 Hal 203 No. 1667 Hadits ini dikatakan dlo’if karena dalam sanadnya ada Muhammad bin Ishaq yang dikenal mudalis) (Tafsir Durul Mantsur Tafsir bil Ma’tsur, Jilid 4, Hal. 573)

Maka Allah membenarkan sikap kaum muslimin yang berpendapat untuk mengejar dan membunuh mereka karena mereka adalah pengkhianat walaupun mengaku sebagai muslim. Dan tidak boleh menjadikan orang seperti ini (pengkhianat Islam) sebagai wali (pelindung) dan sebagai nashir (penolong). Maka larangan menjadikan “auliya” di sini maksudnya dilarang menganggap mereka (yang berbalik membelot) sebagai golongan mukmin, sebagai kelompok mukmin, termasuk grup atau pendukung mukmin, padahal mereka berbalik mendukung kaum kafir. Maka hukuman pembelot dalam perang adalah dihukum mati.

Hukum bunuh ini tidak berlaku jika mereka telah menyerah dan kembali memihak ke kaum muslimin, atau meminta suaka ke kaum muslimin, atau bersikap tidak memerangi kaum muslimin (bukan kafir harbi) sebagaimana dalam ayat selanjutnya :

kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai),  atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu …(Q.S.An-Nisaa [4] : 90)

As Sa’di ketika menafsirkan ayat ini dengan berkata: “Hal ini melazimkan tidak boleh ada kecintaan terhadap orang kafir, karena wilayah (loyalitas) adalah cabang dari mahabbah (kecintaan). Hal ini juga melazimkan kita untuk membenci dan memusuhi mereka (Karena orang kafir itu memusuhi Islam). Karena larangan terhadap sesuatu berarti perintah untuk melakukan kebalikannya. Dan perlakukan ini tidak berlaku jika mereka (orang kafir) ikut hijrah ke Madinah. Jika mereka ikut hijrah, maka mereka diperlakukan sebagaimana kaum muslimin (sebagai warga negara kaum muslimin) . Sebagaimana Nabi s.a.w. memperlakukan orang-orang yang ikut hijrah bersama beliau sebagaimana perlakuan beliau terhadap orang Islam. Baik mereka yang benar-benar mu’min lahir batin, maupun yang hanya menampakan keimanan secara zhahir. Dan jika mereka berpaling atau tidak mau berhijrah berlaku perintah, ‘tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya‘, maksudnya kapan pun dan dimana pun kau menemui mereka”. (Tafsir As Sa’di, Jilid 1 Hal. 191).

Namun As Sa’di menjelaskan 3 jenis orang kafir yang dikecualikan sehingga tidak diperangi berdasarkan ayat selanjutnya (namun tidak kita bahas panjang lebar di sini), mereka adalah:

  1. Orang-orang kafir yang meminta suaka atau menyerah kepada kaum muslimin, yang antara muslimin dan kaum itu diadakan perjanjian damai untuk tidak saling memerangi
  2. Orang-orang kafir yang tidak ingin memerangi kaum Muslimin dan juga tidak memerangi kaumnya, ia adalah penduduk sipil yang tidak terlibat perang.
  3. Orang-orang munafik yang menampakkan keimanan karena takut diperangi oleh kaum muslimin (yaitu masuk Islam karena terpaksa atau munafik pura-pura masuk Islam statusnya dianggap orang Islam) (Tafsir As Sa’di, Hal 191).

 

Tafsir Q.S. An-Nisaa’ [4] : 139

(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi auliya (sekutu/aliansi/ penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? (Q.S.An-Nisaa [4] : 139)

Ibnu Katsir ketika mengupas Q.S. An Nisa : 139 menyatakan : Allah menyebutkan sifat mereka (orang munafik ) yaitu mengambil  orang kafir sebagai pemimpin mereka selain orang mukmin. Dengan kata lain mereka (orang munafik itu) berpihak kepada orang kafir. Apabila kembali kepada orang kafir mereka (orang munafik itu) berkata “sesungguhnya kami sependirian dengan kalian, kami hanya berolok-olok” (Yaitu dengan berpura-pura sependirian dengan orang mukmin). Dan mereka (orang munafik) itu bermaksud mencari kekuatan atau perlindungan orang kafir dengan cara menjadikan orang kafir itu sebagai aulianya. (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5 hal 570)

Siapa yang dimaksud orang munafik yang dihukumi sama dengan orang kafir pada ayat itu? Hal ini dijelaskan pada ayat sebelumnya, yaitu orang yang bolak balik murtad

Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (lagi), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (Q.S. An-Nisaa [ 4] : 137)

Imam Suyuti ketika menjelaskan perkataan “wabtaghuun” Apakah kamu mencari kekuatan dari sisi orang kafir? Mengutip sebuah hadits dari Anas r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda suatu hari : Sesunguhnya kekuatan itu dari sisi Allah maka siapa yang beriman kepada hari akhir, ia akan mendapat kekuatan (H.R.Ad-Dailami dan Ibnu Asakir ) (Tafsir Durul Mantsur Tafsir bil Ma’tsur, Jilid 5, Hal. 78)

Ayat di atas menyatakan bahwa sifat orang munafik yang bolak balik murtad (sebagaimana diterangkan ayat sebelumnya) lebih gemar memilih pemimpin dari kalangan orang kafir karena mengharapkan dukungan kekuatan dari mereka. Hal ini bersumber dari kelemahan iman orang munafirk itu yang hatinya kerdil dan pengecut. Atau karena kecenderungan dan pembelaannya kepada orang kafir. Ia kahwatir jika tidak membela orang kafir, dunianya akan hilang, peragangannya akan tidak lancar, dan alasan duniawi lainnya. Padahal kekuatan itu dari sisi Allah, dan Allah lebih memiliki kekuatan dibandingkan orang kafir.

 

Tafsir Q.S. An-Nisaa’ [4] : 144

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ? (Q.S.An-Nisaa [4] : 144)

Ketika menafsirkan ayat di atas Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah melarang hamba-hambanya yang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai teman dekat dan bukannya orang mukmin. Arti “wali” dalam ayat ini adalah berteman dengan mereka, setia dan ikhlas bersama mereka. Sedangkan maksud “meninggalkan orang mukmin (dunil mukminin) yaitu merahasiakan (kepada kaum muslimin) kecintaan dan sikap kasih sayang terhadap kaum kafir, serta (sebaliknya) membuka rahasia kaum muslimin kepada orang kafir. (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5 hal 595)

Imam Suyuti menjelaskan janganlah kamu ambil orang-orang kafir dan bukan orang-orang mukmin sebagai pelindung! (Tafsir Jalalain)

BERSAMBUNG JILID 4

One thought on “APAKAH SALAH MENGARTIKAN AULIYA = PEMIMPIN (JILID 3)

Leave a comment