NABI ISA DIKARUNIAI MUKJIZAT, DIKIRA TUHAN ?

 

 

Manusia seringkali terkesima dengan fenomena yang di luar nalar. Orang bisa terbang dan berjalan di atas air disebut manusia sakti. Terlebih jika terjadi zaman dahulu, bisa dikira titisan dewa. Dan raja-raja zaman dahulu seringkali memanfaatkan kecenderungan manusia ini untuk mengokohkan kekuasaannya. Kaisar Jepang, mengaku titisan Dewa Matahari, Amaterasu. Demikian pula Fir’aun di Mesir Kuno mengklaim dirinya sebagai sebagai titisan Dewa Matahari, Amon Ra.

Kecenderungan manusia menganggap segala yang ajaib, di luar nalar sebagai titisan (penjelmaan) dari Yang Maha Kuasa sudah terjadi sejak zaman dahulu. Konsep bahwa Dewa, atau Yang Maha Kuasa menitis, bermetafora dalam wujud manusia adalah logika yang banyak terlintas dalam benak manusia sejak zaman dahulu kala.

Dan anehnya logika seperti ini masih dipercaya oleh orang-orang modern yang notabene mereka berpendidikan tinggi yang selalu mengedepankan nalar dan logika dalam memandang berbagai hal. Contohnya Di India ada anak berwajah seperti gajah, diyakini merupakan titisan Dewa Ganesha. Jangankan manusia, bahkan binatang pun bisa dianggap jelmaan dewa. Di Muzaffarnagar, Uttar Pradesh India  pun seekor anak sapi berwajah seperti “manusia” dipercaya sebagai titisan Dewa Wisnu. Karena sapi adalah kendaaan Dewa Wisnu.

Maka hal yang sama terjadi saat Allah mengkaruniai mukjizat-mukjizat yang luar biasa kepada Para NabiNya. Ketika Para Nabi menunjukkan hal-hal spektakuler di luar kemampuan manusia biasa, akan disangka sebagai titisan Tuhan. Padahal dari zaman ke zaman, telah terjadi hal-hal spektakuler di luar. Lalu apakah Tuhan berkali-kali turun ke bumi menjelma menjadi manusia?

Maka ketika seorang misionaris mendatangi kerabat saya kemudian menyodorkan ayat Al-Qur’an dalam Surah Ali Imran : 49 yang terjemahannya kurang lebih sebagai berikut :

Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil : “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah. Dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak. Dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah. Dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman” (Q.S. Ali Imran [3] : 49)

Maka misionaris tersebut menggunakan dalil ayat di atas untuk meyakinkan kerabat saya bahwa yang dimaksud dengan “tanda” dalam ayat tersebut adalah “tanda” bahwa Nabi Isa (Yesus) adalah Tuhan yang turun ke bumi dalam wujud seorang manusia untuk menyelamatkan umat manusia.

Tentu saya tidak akan mempersoalkan keyakinan non-muslim yang berbeda dengan aqidah Islam. Karena aqidah mereka adalah urusan mereka sendiri. Namun ketika mereka mengusik keyakinan kami, maka kami pun perlu menjelaskan duduk perkaranya.

Namun ini bukan soal bela membela asal membela. Islam adalah agama yang masuk akal dan sangat menjunjung tinggi akal. Sehingga dalam Islam, agama tidak meninggalkan logika. Bahkan logika menjadi pembuktian kebenaran agama. Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang menyuruh kita untuk berfikir dan berfikir :

Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir. (Q.S. Yunus [10] : 24)

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Q.S. Ar-Ruum [30] : 21)

Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (Q.S. Al-Hasyr  [59] : 21)

Marilah kita berfikir. Jika misionaris tersebut menggunakan Q.S. Ali Imran [3] : 49 jelas di awal kalimat disebutkan “wa rosulan ilaa bani isroil” sebagai seorang Rasul yang diutus kepada Bani Israil. Ayat ini berbicara tentang Nabi Isa (Yesus) yang diutus oleh Allah (Rasul) kepada Bani Israil. Maka Yesus menunjukkan “tanda” atau lebih tepatnya “bukti” kenabian beliau. Maka Nabi Isa menunjukkan kemampuan luar biasa di atas manusia lainnya sebagai “bukti” kenabian beliau.

Maka Allah mengkaruniakan beberapa mukjizat yang dahsyat kepada Nabi Isa a.s. :

dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku…(Q.S. Al-Maidah [5]:110)

Baik Islam maupun Nasrani sama-sama mengimani adanya berbagai keajaiban yang dilakukan oleh Nabi Isa (Yesus). Dalam Al-Qur’an disebut la-aayatalakum (ayat-ayat dari Kami) bedanya orang Nasrani menyalahpahami bahwa keajaiban itu adalah “tanda” atau “bukti” bahwa Yesus adalah Tuhan itu sendiri sedangkan orang Muslim memahami bahwa itu adalah “ayat” Allah sebagai tanda kenabian bahwa Yesus adalah benar-benar utusan Allah

Bahkan Al-Qur’an menyebutkan mukjizat yang dibawa Yesus ini lebih lengkap dibanding yang disebutkan dalam Bible. Dalam QS: [3] Ali Imran Ayat: 48 disebutkan Yesus membuat burung dari tanah liat kemudian ditiup oleh Yesus sehingga menjelma menjadi burung yang hidup. Bagi orang muslim, perkara menciptakan burung hidup bukanlah bukti bahwa dia bisa meniupkan ruh atau menciptakan kehidupan.

Karena dalam Al-Qur’an dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim pernah menghidupkan burung :

Dan ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu ?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku lebih yakin. Allah berfirman: “Ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S.Al-Baqarah [2]:260)

Nabi Isa juga begitu lahir langsung dapat berbicara

(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian…(Q.S. Al-Maidah [5]:110)

Namun mukjizat yang paling dahsyat adalah ketika Nabi Isa (Yesus) dapat menghidupkan Lazarus, yang sudah mati. Maka orang Nasrani menyalahpahami fenomena ini sebagai bukti Yesus adalah Tuhan. Karena yang bisa memberikan kehidupan adalah Tuhan saja.

Sebagaimana Injil Yohanes menyebutkan :

Sebab sama seperti “Bapa membangkitkan” “orang-orang mati” dan “menghidupkannya”, demikian juga “Anak menghidupkan” barangsiapa yang dikehendaki-Nya. (Yohanes 5:21)

“Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati..(Yohanes 11 : 25)

Sedangkan orang muslim tidak terkesima hingga salah paham memandang persoalan ini. Betapa pun super super ajaibnya yang dilakukan Yesus, maka ini bukanlah bukti beliau sebagai Tuhan melainkan semua keajaiban ini adalah mukjizat yang diberikan Allah kepada para Nabi Nya

Kalau orang Nasrani mau jujur maka dalam Bible sendiri diceritakan bukan hanya Yesus saja yang dapat menghidupkan orang mati. Tercatat Nabi Yekezkiel, Nabi Yeremia, Nabi Ilyas (Elia) Nabi Ilyasa (Elisa) dapat menghidupkan orang mati.  Bahkan Petrus murid Yesus sendiri dapat menghidupkan orang mati. Lalu apakah mereka semua adalah penjelmaan Tuhan???

Dalam Bible disebutkan Nabi Ilyas a.s. (Elia) menghidupkan orang mati :

Lalu ia mengunjurkan badannya di atas anak itu tiga kali, dan berseru kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, Allahku! Pulangkanlah kiranya nyawa anak ini ke dalam tubuhnya.” Lalu Tuhan mendengarkan permintaan Elia itu, dan nyawa anak itu pulang ke dalam tubuhnya, sehingga ia hidup kembali. (Kitab Raja-Raja 17:21)

Demikian pula Nabi Ilyasa a.s. (Elias) dapat menghidupkan orang mati. Bahkan lebih hebat dari Nabi isa (Yesus), karena Nabi Ilyasa dapat menghidupkan orang mati setelah Nabi Ilyasa sendiri wafat

Nabi Yekezkiel dapat menghidupkan tulang belulang . Ia membawa aku melihat tulang-tulang itu berkeliling-keliling dan sungguh, amat banyak bertaburan di lembah itu. Lihat, tulang-tulang itu amat kering. Lalu Ia berfirman kepadaku: “Hai anak manusia, dapatkah tulang-tulang ini dihidupkan kembali?” Aku menjawab: “Ya Tuhan ALLAH, Engkaulah yang mengetahui!” Lalu firman-Nya kepadaku: “Bernubuatlah mengenai tulang-tulang ini dan katakanlah kepadanya: Hai tulang-tulang yang kering, dengarlah firman TUHAN!  Beginilah firman Tuhan ALLAH kepada tulang-tulang ini: Aku memberi nafas hidup di dalammu, supaya kamu hidup kembali. Aku akan memberi urat-urat padamu dan menumbuhkan daging padamu, Aku akan menutupi kamu dengan kulit dan memberikan kamu nafas hidup, supaya kamu hidup kembali. Dan kamu akan mengetahui bahwa Akulah TUHAN.” Lalu aku bernubuat seperti diperintahkan kepadaku; dan segera sesudah aku bernubuat, kedengaranlah suara, sungguh, suatu suara berderak-derak, dan tulang-tulang itu bertemu satu sama lain. Sedang aku mengamat-amatinya, lihat, urat-urat ada dan daging tumbuh padanya, kemudian kulit menutupinya, tetapi mereka belum bernafas. Maka firman-Nya kepadaku: “Bernubuatlah kepada nafas hidup itu, bernubuatlah, hai anak manusia, dan katakanlah kepada nafas hidup itu: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Hai nafas hidup, datanglah dari keempat penjuru angin, dan berembuslah ke dalam orang-orang yang terbunuh ini, supaya mereka hidup kembali.” Lalu aku bernubuat seperti diperintahkan-Nya kepadaku. Dan nafas hidup itu masuk di dalam mereka, sehingga mereka hidup kembali.  Mereka menjejakkan kakinya, suatu tentara yang sangat besar. (Yehezkiel 37:2-10)

Bahkan Petrus murid Yesus dapat menghidupkan mayat Tabita  :

Tetapi Petrus menyuruh mereka semua keluar, lalu ia berlutut dan berdoa. Kemudian ia berpaling ke mayat itu dan berkata: “Tabita, bangkitlah!” Lalu Tabita membuka matanya dan ketika melihat Petrus, ia bangun lalu duduk.(Kisah Rasul, Pasal  9, Ayat 40)

Bagaimanakah kisah YESUS menghidupkan orang bernama Lazarus ??? Apa bedanya dengan kisah orang lain yang dapat membangkitkan orang mati? Mari kita lihat kisahnya dalam Injil Yohanes :

 

Maka mereka mengangkat batu itu. Lalu Yesus menengadah ke atas dan berkata : “Bapa, Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena Engkau telah mendengarkan Aku. Aku tahu, bahwa Engkau selalu mendengarkan Aku, tetapi oleh karena orang banyak yang berdiri di sini mengelilingi Aku, Aku mengatakannya, supaya mereka percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” Dan sesudah berkata demikian, berserulah Ia dengan suara keras: “Lazarus, marilah ke luar!” Orang yang telah mati itu datang ke luar, kaki dan tangannya masih terikat  dengan kain kafan dan mukanya masih tertutup dengan kain peluh. Kata Yesus kepada mereka: “Bukalah kain-kain itu dan biarkan ia pergi” (Injil Yohanes Pasal 11 Ayat 41-44)

Bagi muslim, tidak meyakini seorang Nabi adalah penjelmaan Tuhan hanya gara-gara dapat menghidupkan makhluk hidup yang telah mati. Karena dalam Al-Qur’an pun dikisahkan Nabi Musa a.s. dapat menghidupkan sapi yang mati :

“Lalu Kami berfirman (kepada Nabi Musa) : “Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu !” Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti “  (Q.S.Al-Baqarah [2]:73)

Jika orang-orang mau jujur, jelas dalam Injil Yohanes disebutkan bahwa Yesus berdoa dan memohon kepada Allah dengan menengadah ke atas dan berdoa agar diberi mukjizat agar dapat menghidupkan Lazarus. Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa Yesus melakukan dalam rangka agar orang percaya bahwa Allah-lah yang mengutus beliau, bukan dalam rangka membuktikan beliau adalah Allah itu sendiri.

Kisah ini sama seperti kisah Nabi Ilyas (Elia), Nabi ilyasa (Elias), Nabi Yehezkiel, Nabi Musa dan Petrus, yang selalu disebutkan bahwa mereka berdoa memohon kepada Allah agar dapat menghidupkan makhluk hidup yang telah mati. Sehingga yang menghidupkan di sini hakekatnya adalah Allah.

Tapi orang yang sudah terlanjur condong pada keyakinan bahwa Yesus adalah penjelmaan Tuhan sehingga ngotot dan bersikukuh mengatakan bahwa Yesus 100% menusia dan pada saat yang sama 100% Tuhan. Sehingga saat ia menjadi manusia, ia harus berdoa dan memohon kepada Tuhan padahal dia sendiri adalah Tuhan. Bagi orang muslim penjelasan ini jelas logika maksa. Apa perlunya Tuhan beracting menjelma menjadi manusia dan beracting berdoa kepada dirinya sendiri di hadapan manusia??

Kesimpulannya : kemampuan menghidupkan burung dari tanah liat, menghidukan sapi yang mati, mengihidupkan orang yang sudah mati, bahkan orang yang sudah mati pun bisa menghidupkan orang lain yang sudah mati, bukanlah bukti bahwa mereka adalah Tuhan. Melainkan ini tidak lain adalah mukjizat yang dikaruniakan Tuhan kepada utusanNya, kepada manusia-manusia yang dipilih, untuk menunjukkan bahwa Tuhan Allah dapat membangkitkan kembali semua yang sudah mati. Dan bukan dalam rangka menunjukkan bahwa mereka-mereka itu adalah titisan Tuhan Allah.

Oleh karena itulah berkata Nabi Isa (Yesus) : “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil)  dan Dia menjadikan aku sebagai seorang nabi(utusan Allah)”  (Q.S. Maryam [19] : 30)

Sebagaimana di dalam Bible sendiri, Yesus mengatakan :

“Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku” (Injil Yohanes, Pasal 5 Ayat 30)

Sebab Aku berkata-kata bukan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang mengutus Aku, Dialah yang memerintahkan Aku untuk mengatakan apa yang harus Aku katakan dan Aku sampaikan (Injil Yohanes, Pasal 12 Ayat 49)

“Ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku sendiri, tetapi dari Dia yang telah mengutus Aku” (Injil Yohanes, Pasal 7 Ayat 16)

Namun sebagian manusia (walaupun pandai berpendidikan tinggi) masih tetap ngotot bersikukuh dengan logika bahwa yang bisa menghidupkan orang mati adalah jelmaan Tuhan. Maka wajarlah yang diprediksi oleh Rasulullah s.a.w. bahwa nanti sebelum akhir zaman ada seorang manusia biasa, namun luar biasa jahat bernama Dajjal, yang datang ke dunia dengan kemampuan supranatural yang luar biasa yaitu mematikan lalu  menghidupkan kembali orang yang sudah mati bahkan membawa kembali orang-orang yang sudah lama mati. Maka seketika 2/3 penduduk bumi akan menyatakan dajjal sebagai titisan Tuham sebagai penjelmaan dan reinkarnasi Tuhan ke muka bumi.

Dari Abu Umamah al-Bahili, Rasulullah s.a.w. berkata Di antara fitnah Dajjal, dia menawarkan seorang Arab badui, ‘Renungkan, sekiranya aku bisa ‎membangkitkan ayah ibumu yang telah mati, apakah kamu akan bersaksi bahwa aku adalah Rabbmu?’ ‎Laki-laki arab tersebut menjawab, ‘Ya.’ Kemudian muncullah 2 setan yang menjelma di hadapannya ‎dalam bentuk ayah dan ibunya. Kedua (setan yang menjelma sebagai bapak ibunya itu) berpesan, ‘Wahai anakku, ikutilah dia, sesungguhnya dia ‎adalah Rabbmu.’ (H.R. Ibnu Majah No 4077)

Bayangkan betapa dahsyatnya. Kedua orangtuanya yang sudah mati dimuncullkan kembali, dihidupkan kembali, kemudian ibu bapaknya yang sudah lama mati itu berkata kepada anaknya : “Sesungghnya dia (dajjal) itu adalah rabb mu. Seolah tahu kecenderungan gagal paham ini sehingga dajjal pun menyodorkan bukti fenomena menghidupkan orang mati ini sebagai bukti ketuhanannya.

Seorang pemuda lain pun digergaji oleh Dajjal sampai mati kemudian dihidupkan kembali :

Lalu Dajjal memerintahkan agar orang itu digergaji dari ujung kepala hingga pertengahan antara kedua kaki. Setelah itu Dajjal berjalan di antara dua potongan tubuh itu lalu berkata, ‘Berdirilah!’ Tubuh itu pun berdiri utuh. Selanjutnya Dajjal bertanya padanya, ‘Apa kau beriman padaku?’ Ia menjawab, ‘Aku semakin yakin tentang siapa kamu.’ Setelah itu orang itu berkata, ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang dilakukan seperti ini setelahku.’ (HR. Muslim No 2938).

Dari Abu Said  telah menceritakan kepada kami Rasulullah s.a.w.  dengan pembicaraan yang panjang tentang Dajjal. Diantara yang Beliau ceritakan tentangnya adalah, Beliau berkata: “Dajjal akan datang pada suatu tanah yang tandus di Madinah (untuk memasuki Madinah) padahal dia diharamkan untuk memasuki pintu-pintu gerbang Madinah. Maka pada hari itu keluarlah seorang laki-laki yang merupakan manusia terbaik atau salah seorang dari manusia terbaik menghadangnya seraya berkata; Aku bersaksi bahwa kamu adalah Dajjal yang pernah diceritakan oleh Rasulullah s.a.w. . Maka Dajjal berkata; Bagaimana sikap kalian jika aku membunuh orang ini lalu aku menghidupkannya kembali, apakah kalian masih meragukan kemampuanku?. Mereka menjawab: “Tidak”. Maka Dajjal membunuh laki-laki terbaik itu lalu menghidupkannya kembali. Laki-laki itu berkata, ketika Dajjal menghidupkannya kembali; “Demi Allah, hari aku tidak akan lebih waspada kecuali terhadap diriku sendiri. Maka Dajjal berkata; “Aku akan membunuhnya lagi”. Maka Dajjal tidak sanggup untuk menguasainya“. (H.R. Bukhari No. 1749 dan No 7132)

Namun seorang pemuda yang kokoh keimanannya tidak terkecoh dengan kedahsyatan supranatural ini. Ketika dirinya digergaji sampai mati kemudian dihidupkan kembali justru semakin yakin bahwa ini adalah tidak lain adalah dajjal yang diprediksikan kedatangannya oleh Rasulllah s.a.w.

Namun betapa pandai dan liciknya Dajjal. Ia sudah tahu pemuda ini kokoh imannya dan tidak akan terkecoh. Maka Dajjal lebih dulu meramalkan bahwa orang ini akan tetap mengingkari ketuhanan dirinya walau sudah digergaji dibelah kemudian dihidupkan kembali. Seolah Dajjal hendak mengatakan bahwa pemuda ini adalah “orang yang ingkar” yang menolak ketuhanannya :

Rasulullah s.a.w. berkata : “Dan diantara fitnahnya juga adalah, ia akan berkata kepada seorang Arab, ‘Pikirkanlah olehmu, sekiranya aku dapat membangkitkan ayah dan ibumu yang telah mati, apakah kamu akan bersaksi bahwa aku adalah Rabbmu? ‘ Laki-laki arab tersebut menjawab, ‘Ya.’ Kemudian muncullah setan yang menjelma di hadapannya dalam bentuk ayah dan ibunya, maka keduanya berkata, ‘Wahai anakku, ikutilah ia, sesungguhnya dia adalah Rabbmu.’ Dan di antara firnah-fitnahnya adalah ia akan memaksa manusia lalu membunuhnya dan memotongnya dengan gergaji. Maka terbelahlah orang tersebut menjadi dua bagian. Kemudian Dajjal berkata, ‘Lihatlah oleh kalian hambaku ini, sesungguhnya aku akan membangkitkannya, lalu dia akan menyatakan bahwa Rabbnya adalah selain aku. Maka Allah pun membangkitkan orang yang sudah terbelah tersebut. Lalu Dajjal berkata kepadanya, ‘Siapakah Rabbmu? ‘ ia menjawab, ‘Rabbku adalah Allah, dan kamu adalah musuh Allah. Kamu adalah Dajjal. Demi Allah, mulai hari ini, tidak ada hal yang lebih aku yakini selain dari (kedustaan) mu” (H.R. Ibnu Majah No 4077)

Jadi kelicikan dajjal menjadikan manusia tidak ada pilihan. Jika pemuda yang dihidupkan kembali itu mengakui dajjal sebagai rabb, maka itulah yang dajjal kehendaki. Sebaliknya jika pemuda yang dihidupkan kembali itu ternyata mengingkari dajjal sebagai rabb, maka sudah diramalkan sebelumnya, dan ramalannya terbukti benar. Ini membuktikan bahwa dajja telah mengetahui apa yang akan terjadi, sehingga terbukti dia adalah penjelmaan tuhan.

Kesimpulannya, masalah mematikan, membelah, mencacah makhluk hidup, lalu membangkitkan atau menghidupkan kembali yang sudah mati, tidak boleh membuat kita terkecoh sehingga menyatakan bahwa yang mampu melakukan itu adalah penjelmaan atau titisan atau reinkarnasi Tuhan. Karena dajjal pun dapat melakukannya dibantu oleh para syaitan (dengan seijin Allah sebagai ujian bagi umat manusia). Adapun para Nabi dan manusia sholeh pilihan Allah, dikaruniai mukjizat sebagai bukti dan demonstrasi, unjuk kemampuan, bahwa Allah dapat membangkitkan yang apa-apa yang sudah mati. Wallahu’alam.

 

APAKAH SALAH MENGARTIKAN AULIYA = PEMIMPIN? (JILID 4)

TAFSIR AYAT YANG MEMUAT KATA AULIYA (SAMBUNGAN)

abbasiyah-07

Pada jilid ke-4 ini sampailah kita pada ayat yang disebut-sebut oleh Ahok, sampai terjadi pro kontra di masyarakat. Mari kita lihat apa menurut kitab-kitab tafsir :

Tafsir Q.S. Al-Maidah [5] : 51 & 55, 56

Q.S. Al-Maidah [5] yang disebut-sebut dalam pernyatakan ahok harus dilihat dari ayat 51 s/d 56 karena merupakan satu rangkaian pembiccaraan yang saling terkait, sehingga harus ditafsirkan bersamaan

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya (mu); sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. (Q.S.Al-Maidah [5] : 51)

Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (Q.S.Al-Maidah [5] : 55)

Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi walinya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang (Q.S. Al-Maidah [5] : 56)

As-Samarqandi  ketika menafsirkan ayat ini menjelaskan asbabun nuzul ayat ini bahwa ketika Nabi s.a.w berhijrah ke Madinah, Beliau didatangi oleh Bani Asad bin Khuzaimah. Mereka berjumlah tujuh ratus orang, laki-laki dan perempuan. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah diasingkan dan diputus dari kabilah dan keluarga kami. Lalu siapakah yang menolong kami?” Kemudian turunlah ayat ini (tafsir Bahr Al-‘Ulum, Jilid 1 Hal. 445)

Abu Hayyan Al-Andalusi ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan , kata al-waliyy dalam (Q.S.Al-Maidah [5] : 55) berarti an-nashir (penolong), al-mutawalli al-amr (yang mengurusi perkara), atau al-muhibb (yang mencintai).(Tafsir Al-Bahr al-Muhith, Jili . 3 Hal. 524)

Az-Zamakhsyari ketika menafsirkan ayat ini menjelaskan bahwa di sini Allah menyebut wali bagi orang beriman ada tiga yaitu Allah, RasulNya dan orang-orang mukmin. Walaupun ada 3, namun Allah menyebutnya dengan bentuk tunggal yaitu “waliyukum” dan bukan dengan bentuk jamak “auliyaukum”. (Tafsir Al-Kasysyaf, Jilid 1 Hal. 635)

Al-Qasimi menjelaskan ayat ini bahwa walaupun ada tiga komponen, namun semuanya berpangkal kepada satu yaitu berwalikan Allah saja. Artinya siapa yang memilih RasulNya dan orang beriman menjadi walinya, adalah bagian dari menjadikan Allah sebagai walinya. (Mahasin At-Ta’wiil, Jilid . 4, Hal. 175)

Hal ini berbeda ketika Allah menyebut larangan jangan mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin, yaitu  menggunakan bentuk jamak auliya. Mengapa? Karena pada dasarnya pemimpin orang kafir itu bukan hanya satu dan tidak pula menginduk kepada satu pihak. (Al-Ajili, Al-Futuhat Al-Ilaahiyyah, Jilid  2, Hal. 256)

Mengapa tiga hal yang dijadikan wali yaitu Allah, RasuNya dan orang-orang  mukmin pada pokoknya bermuara pada satu pihak? Dijelaskan oleh Nizamuddin An-Naishaburi karena Allah adalah “ashal” (titik pangkal dari semua perwalian) sementara wali-wali yang lain (yaitu Rasul dan orang beriman) hanyalah sebagai ittiba’ (ikutan/derivatif) (Tafsir Ghara’ib Al-Qur’an,Jilid 2, Hal. 205).

Maka dalam ayat lain, ketiga komponen itu disebutkan hanya satu saja, yaitu Allah saja sebagai wali orang-orang mukmin sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Baqarah : 257. Oleh karena itu mengangkat Gubernur, Menteri atau Wazir ,Presiden atau Khalifah dari kalangan mukmin adalah implementasi (penerapan) dari menjadikan “orang beriman” sebagai wali, sedangkan itu merupakan bagian dari menjadikan Allah sebagai wali.

Tafsir Q.S. Al-Maidah [5] : 57

Hai orang-orang yang beriman, janganlah orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik)dijadikan sebagai auliya. (Q.S. Al-Maidah [5] : 57)

As Sa’di menjelaskan: “Allah melarang hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan orang-orang yang menjadikan agama sebagai ejekan dan permainan. Siapakah mereka itu? Yaitu ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) yang pernah diberik kitab. Orang mukmin dilarang menjadikan mereka ini sebagai auliya. Yaitu sebagai pihak  yang dicintai dan yang diserahkan loyalitas padanya. Juga larangan memaparkan kepada mereka rahasia-rahasia kaum mu’minin juga larangan meminta tolong pada mereka pada sebagian urusan yang bisa membahayakan kaum muslimin. Ayat ini juga menunjukkan bahwa jika pada diri seseorang itu masih ada iman, maka konsekuensinya ia wajib meninggalkan loyalitas kepada orang kafir. Dan menghasung mereka untuk memerangi orang kafir” (Tafsir As Sa’di, Hal. 236)

Siapakah orang yang ejek dan mengolok-olok agama? Salah satunya adalah orang munafik.

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (Q.S. At-Taubah [9] : 65)

Siapakah mereka di sini? Hal itu bisa kita lihat pada ayat sebelumnya, yaitu Allah sedang membicaraan kelakuan orang munafik :

Orang-orang yang munafik itu…. (Q.S. At-Taubah [9] : 64)

Orang semacam ini tidak boleh diangkat sebagai wali atau auliya. Orang seperti ini tidak layak dipercaya dan diberi mandat. Jangankan diangkat sebagai auliya, duduk bersama mereka pun tidak boleh, yaitu ketika mereka memperolok ayat Al-Qur’an, apalagi mengangkatnya menjadi pemimpin.

Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zholim itu sesudah teringat (akan larangan ini). (Q.S. Al-An’aam [6] : 68)

 

Tafsir Q.S. Al-Maidah [5] : 80-81

Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. (Q.S. Al Maidah [5]: 80)

“Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi auliya, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik” (Q.S. Al Maidah [5]: 81)

Ath Thahawi menjelaskan makna ayat ini: “Andaikan sebagian orang dari Bani Israil yang loyal terhadap orang kafir itu mereka benar-benar mengimani Allah dan mentauhidkan-Nya, juga benar-benar mengimani Nabi-Nya s.a.w. sebagai Rasul yang diutus oleh Allah, serta lebih mempercayai apa yang ia bawa dari Allah daripada petunjuk yang lain, maka mereka tidak akan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat dan penolong padahal ada orang-orang Mu’min. Namun dasarnya mereka itu adalah orang-orang yang gemar membangkang perintah Allah menujuk maksiat, serta gemar menganggap halal apa yang Allah haramkan dengan lisan dan perbuatan mereka” (Tafsir Ath Thabari, Jiid 10 Hal 498).

Imam Mujahid  menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum munafik (Tafsir Ath Thabari, Jilid 10 Hal. 498).

Ibnu Katsir menjelaskan kalimat niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi auliya,yaitu sekiranya mereka beriman dengan sesungguhnya kepada Allah, RasulNya dan Al-Qur’an, niscaya mereka tidak akan terjerumus menjadikan orang kafir menjadi penolong-penolong mereka serta memusuhi orang beriman. (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6 Hal. 609)

Siapa yang dimaksud dengan kata ganti “mereka” di sini? Imam Mujahid mengatakan mereka adalah orang-orang munafik. Kebanyakan mereka ber-wala (berpihak atau loyal atau tolong menolong) dengan orang kafir. Keika menjelaskan kalimat “amat buruk lah..” Ibnu Katsir mengatakan : keburukan itu yaitu berpihak kepada orang kafir dan meninggalkan orang mukmin. (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6 Hal. 606)

 

Tafsir Q.S. Al-A’raaf [7] : 3

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti auliya selain-Nya” (Q.S. Al-A’raaf [7] : 3)

Terkait ayat ini, Ibnu Katsir menjelaskan : janganlah kalian menyimpang dari apa yang telah disampaikan Rasul kepada kalian dengan menempuh jalan lainyang akhirnya menyebabkan kalian menyimpang dari hukum Allah (Tafsir Ibnu Katsir Jilid Juz 8 Hal 229)

Imam Baghowi terkait ayat di atas menjelaskan bahwa maksudnya jangan menjadikan selain golonganmu sebagai pemimpin karena nantinya akan mengajak kamu untuk bermaksiat kepada Allah (Tafsir Ma’alim Tanzil Baghowi Jilid  3 Hal 213)

Imam Qurtubi menjelaskan, apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu yaitu Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana dalam firman Allah  Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah (Q.S. Al-Hasyr [59] : 7) Yaitu perintah Nabi  terhadap  umatnya. Baik untuk urusan seluruh manusia dan selainnya. Misalnya mengikuti agama Islam dan Al-Qur’an , ikuti baik yang dihalalkan maupun yang diharamkan. Mengikuti perintahnya dan hindari larangannya. Menunjuk pada ayat selanjutya tentang larangan untuk mengikuti, telah jelas nash nya.  Allah berfirman : wa laa tattabi’uu min dunihi auliyaa-a (jangan kamu ikuti) yaitu dari selain golongan mu, dan dari selainNya dan  Karena akan mengajak berpaling dari kesucian Rabb. Dan maknanya : Jangan beribadah kepada selainNya. Dan jangan ikuti terhadap siapa yang menjadikan mereka auliya. Dari Malik bin Dinar ketika membaca ayat “tattabi’uu min duunih auliyaa-a” berkata bahwa maksudnya jangan sekali-kali mengajari dan minta ditolong ( orang kafir). (Tafsir Jami’ Ahkamul Qur’an Jilid 9 Hal 105-106)

Tafsir Q.S. Al-A’raaf [7] : 27 & 30

Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu auliya bagi orang-orang yang tidak beriman. (Q.S. Al-A’raaf [7] : 27)

Setan bisa menjadi auliya. Pengertian auliya dalam ayat ini adalah pemberi petunjuk dan orang yang diikuti, dijadikan guru dan panutan. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah memperingatkan anak Adam agar waspada terhadap Iblis dan teman-temannya karena Iblis itu musuh bebuyutanbapak seluruh manusia yaitu Nabi Adam a.s. (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, Hal. 273)

Imam Qurthubi ketika menjelaskan kalimat Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu auliya bagi orang-orang yang tidak beriman : yaitu sebagai tambahan hukuman dan kami samakan di antara mereka dalam urusan kebenaran (Tafsir Jami’ Ahkamul Qur’an Qurthubi Jilid 9, Hal. 189)

Baghowi menjelaskan yang dimaksud auliya-a bai orang tidak beriman adalah syaitan itu menjadi kawan dan penolong orang tidak beriman. (Tafsir Ma’alim Tanzil Baghowi Jilid  3 Hal 224)

Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan sebagai auliya selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk. (Q.S. Al-A’raaf [7] : 30)

Ibnu Jarir menyatakan bahwa ayat di atas merupakan dalil yang jelas kekeliruan orang yang meyakini bahwa Allah tidak akan meng-adzab seseorang karena kemaksiatan yang dikerjakan atau kesesatan yang diyakininya, melainkan bila ia melakukan sesudah ada pengetahuan darinya yang membenarkan sikapnya itu. Bila demikian tentu tidak ada bedanya orang yang mengira dirinya mendapat petunjuk dengan orang yang benar-benar mendapat petunjuk. (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 10 Hal. 286)

Baghowi menjelaskan ayat di atas menjelaskan ayat di atas, mengutip hadits dri Abu Sufyan dari Jabir bin Abdullah Rasululah s.a.w. bersabda diutus kepada setiap manusia apa yang ditetapkan baginya, orang mukmin dengan iman, orang kafir dengan kekufurannya. Kata ganti mereka di sini adalah orang yang tidak beriman sebagaimana di ayat 27. (Tafsir Ma’alim Tanzil Baghowi Jilid  3 Hal 224)

 

Tafsir Q.S. Al-A’raaf [7] : 196

Sesungguhnya waliku  ialah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Quran) dan Dia menjadi wali  orang-orang yang saleh (Q.S.Al-A’raaf [7] : 196)

Jalalluddin Al-Mahalli dan Jalalluddin As-Suyuthi menafsirkan  “Sesungguhnya waliku ialah (dia) Yang telah menurunkan Al Kitab (Al-Quran)(yaitu Allah) dan Dia me-wali-i orang-orang yang saleh (Q.S.Al-A’raaf [7] : 196), wali disini maksudnya pemimpin mereka. Juga ketika menafsirkan  (Tafsir Jalalain, Darul Hadits, Kairo, Jilid 1 Hal. 225).

Terkait ayat di atas, Imam Qurtubi menjelaskan : waliku maksudnya adalah penolongku dan pelindungku, pemeliharaku adalah Allah. Yang mencegah dari hal-hal yang mudharat. Kitab di sini maksudnya adalah Al-Qur’an. Dan terkait kalimat Dia me-wali-i orang-orang yang saleh, maka wali di sini  maksudnya adalah pelindung. Hadits shahih Muslim dari Amru bin Al-Ash r.a. berkata saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : nyatakanlah jangan dirahasiakan Kemudian seseorang berseru : “Sesungguhnya wali kami adalah Allah dan orang mukmin yang sholeh”. Ada juga yang membacanya “Yang telah menurunkan Al-Kitab” yaitu jibril. Ini adalah qiraah Ashim Al-Jahdari (namun cara qiraah ini dinyatakan dlo’if). Sedangkan qiroah awal menyatakan ditulis wahuwa yatawalla sholihiin. (Tafsir Jami’ Ahkamul Qur’an Al-Qurtubi Jilid 9 Hal 417)

Baghowi menjelaskan yang dimaksud Al-Kitab pada ayat tersebut adalah Al-Qur’an, Auliya di sini menganggap sebagai pelindungku, penolongku sebagaimana Dia  mendukungku dengan menurunkan Kitab (sebagai petunjuk bagiku). Ketika menjelaskan kalimat Dia me-wali-i orang-orang yang saleh : Berkata Ibnu Abbas r.a. ketahuilah barangsiapa kalian tidak menyekutukan Allah, maka Allah akan membela mereka dengan pertolongannya, maka tidak akan membahayakan kalian, permusuhan orang yang memusuhi. Inilah yang dimaksud orang yang sholeh yaitu yang tidak menyekutukan Allah. Dan orang seperti ini berhak mendapat wala/perwalian yaitu pembelaan dari Allah. (Tafsir Ma’alim Tanzil Baghawi Jilid 9 Hal. 315)

BERSAMBUNG JILID 5

APAKAH SALAH MENGARTIKAN AULIYA = PEMIMPIN (JILID 3)

TAFSIR AYAT-AYAT YANG MEMUAT KATA AULIYA / WALI (SAMBUNGAN)

abbasiyah-06

Seperti disampaikan pada tulisan sebelumnya, banyak ayat Al-Qur’an yang memuat kata “auliya” atau “wali” disertai dengan larangan menjadikan orang kafir sebagai “auliya” atau “wali”. Berikut ini lanjutannya :

Tafsir Q.S. Ali Imran [3] : 118

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi auliya (teman kepercayaanmu) orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. (Q.S.Ali-Imran [3] : 118)

Ibnu Katsir ketika menafsirkan Q.S. Ali Imran : 118 menjelaskan Allah melarang hamba-hambaNya yang mukmin mengambil orang munafiksebagai teman kepercayaan dengan menceritakan rahasia kaum muslim kepada mereka. Karena kata “bithonah” artinya teman dekat yang mengetahui segala rahasia pribadi. Dunikum orang yang diluar kalangan kalian maksudnya adalah kalangan yang tidak seagama. (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4 Hal. 104)

Imam Suyuthi ketika membahas Q.S. Ali Imran : 118 mengutip hadits dari Ibnu Syaiban dan Abu Hatim, dari Abud Dihqanah yang menceritakan” bahwa pernah dilaporka kepada Khalifah Umar bin Khattab r.a. “Sesungguhnya di sini terdapa pelayan dari penduduk  Al-Hairah yang ahli dalam pembukuan dan surat menyurat, bagaimanakah jika engkau mengambilnya sebagai juru tulismu? Maka Khalifah Umar bin Khattab r.a. menjawab : Kalau begitu , berarti aku mengambil teman kepercayaan selain dari kalangan orang mukmin” (Tafsir Durul Mantsur Tafsir bil Ma’tsur, Jilid 3 Hal. 738)

Ibnu Katsir juga memuat Atsar Umar bin Khattab melarang merekrut pegawai Nasrani sebagai penerapan dari ayat ini. kemudian menjelaskan : Atsar di atas merupakan dalil yang menunjukkan tidak boleh mengambil orang kafir dalam kedudukan sebagai sekretaris dan kedudukan lain yang menyebabkan ia mengetahui rahasia kaum muslimin. (Tafsir Ibnu Katir Jilid 4 Hal. 106)

Lebih lanjut Ibnu Katsir mengutip hadits dari Abu Ya’la yang meriwayatkan dari Al Azhar Ibnu Rasyid datang kepada Anas r.a. yang menceritakan sebuah hadits : “bahwa Nabi s.a.w. bersabda : Janganlah kalian meminta penerangan dari api kaum musyrik.. mereka tidak mengerti makud kalimat Raulullah s.a.w. tersebut kemudian datang kepada Al-Hasan..maka Al-Hasan mengataka : “Janganlah kalian mengambil api penerangan dari kaum musyrik ialah janganlah meminta penerangan dari kaum musyrik terkait urusan kalian. Kemudian Al-Hasan mengatakan bahwa hal yang membenarkan hal tersebut berada dalam Kitabullah yaitu melalui firmanNya Q.S. Ali Imran [3] : 118” (H.R. Abu Ya’la)

Ath-Thabari ketika menjelaskan ayat ini mengutip Ibnu Abbas r.a. menjelaskan makna ayat ini: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang orang beriman untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan) sementara masih ada orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka (menjajah mereka), sehingga kaum mu’minin menampakkan kebaikan pada mereka namun tetap (dalam hatinya) menolak mereka dalam masalah agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: ‘kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka‘” (Tafsir Ath-Thabari, Jilid 3 Hal. 825).

 

Tafsir Q.S. An-Nisaa’ [4] : 89

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka sebagai auliya (mu), sampai mereka mau berhijrah ke jalan Allah (Q.S An-Nisa [4] : 89)

Ibnu Katsir menjelaskan maksud ayat di atas mengutip perkataan Al-Aufi dari Ibnu Abbas bahwa dahulu ada segolonan orang yang sudah masuk Islam, namun tidak mau ikut berhijrah ke Madinah memenuhi perintah Rasulullah s.a.w. dan tetap berada di Mekah. Kemudian ketika terjadi Perang Uhud antara kaum muslimin dengan Kafir Quraisy, maka sebagian orang Islam yang  masih ada di Mekah ini malah membantu kaum Musyrik Mekah.

Maka suatu ketika kaum ini pun keluar untuk berniaga. Maka reaksi sebagian kaum muslimin di Madinah terbagi menjadi 2 kelompok. Yang mengatakan : ‘Ayo kita kejar mereka dan kita bunuh mereka, karena mereka telah membantu musuh melawan kita” Karena menganggap mereka adalah pengkhianat. Sedangkan sebagian lagi tidak setuju membunuh mereka, karena mereka masih dianggap sesama kaum muslimin. Mereka berkata : “Maha Suci Allah apakah kalian akan membunuh suatu kaum yang pembicaraannya sama (maksudnya se-agama) hanya karena mereka tidak ikut hijrah, dan tidak mau meninggalkan rumah mereka?”

Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? (Q.S An-Nisa [4] : 88)

Maka Allah menurunkan ayat yang menjelaskan bahwa mereka adalah kaum munafik, karena tidak mau berhijrah dan berperang di pihak kaum muslimin bahkan justru berpihak dan membantu kepada kaum musyrikin Mekah melawan umat Islam.

Maka Ibnu Katsir mengatakan menurut Al-Aufi dan Ibnu Abbas bahwa perkataan “supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah kafir, maksudnya adalah agar umat Islam yang di Madinah juga kembali ke Mekah dan menahan diri dari memerangi Musyrikin Mekah. (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5 hal. 357)

Maka orang seperti ini (yaitu munafik) jangan dijadikan auliya (yaitu dianggap sekutu atau kelompok orang beriman). Ibnu Katsir berkata wali di sini artinya adalah janganlah menjadikan mereka teman dan penolong dalam menghadapi musuh-musuh Allah selagi sikap mereka masih tetap tidak mau hijrah.

tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi waliyan (penolong), dan jangan (pula) menjadi nashiiron (penolong) (Q.S An-Nisa [4] : 88)

Imam Suyuthi ketika menafsirkan ayat ini mengutip sebuah hadits dari Abdurrahman bin Auf bahwa beberapa orang Arab datang kepada Rasulullah s.a.w. di Madinah. Lalu mereka masuk Islam, kemudian mereka ditimpa demam Madinah, karena itu mereka kembali kafir lalu mereka keluar dari Madinah. Kemudian mereka berjumpa dengan sahabat Nabi, lalu sahabat menanyakan sebab-sebab mereka meninggalkan Madinah.

Mereka menerangkan bahwa mereka ditimpa demam Madinah. Sahabat-sahabat berkata: Mengapa kamu tidak mengambil teladan yang baik dari Rasulullah? Sahabat-sahabat terbagi kepada dua golongan dalam hal ini. Yang sebahagian berpendapat bahwa mereka telah menjadi munafik, sedang yang sebahagian lagi berpendapat bahwa mereka masih Islam. Lalu turunlah ayat ini yang mencela kaum Muslimin karena menjadi dua golongan itu, dan memerintahkan supaya orang-orang Arab itu ditawan dan dibunuh, karena mereka tidak berhijrah ke Madinah, karena mereka disamakan dengan kaum musyrikin yang lain (H.R. Ahmad Jilid 3 Hal 203 No. 1667 Hadits ini dikatakan dlo’if karena dalam sanadnya ada Muhammad bin Ishaq yang dikenal mudalis) (Tafsir Durul Mantsur Tafsir bil Ma’tsur, Jilid 4, Hal. 573)

Maka Allah membenarkan sikap kaum muslimin yang berpendapat untuk mengejar dan membunuh mereka karena mereka adalah pengkhianat walaupun mengaku sebagai muslim. Dan tidak boleh menjadikan orang seperti ini (pengkhianat Islam) sebagai wali (pelindung) dan sebagai nashir (penolong). Maka larangan menjadikan “auliya” di sini maksudnya dilarang menganggap mereka (yang berbalik membelot) sebagai golongan mukmin, sebagai kelompok mukmin, termasuk grup atau pendukung mukmin, padahal mereka berbalik mendukung kaum kafir. Maka hukuman pembelot dalam perang adalah dihukum mati.

Hukum bunuh ini tidak berlaku jika mereka telah menyerah dan kembali memihak ke kaum muslimin, atau meminta suaka ke kaum muslimin, atau bersikap tidak memerangi kaum muslimin (bukan kafir harbi) sebagaimana dalam ayat selanjutnya :

kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai),  atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu …(Q.S.An-Nisaa [4] : 90)

As Sa’di ketika menafsirkan ayat ini dengan berkata: “Hal ini melazimkan tidak boleh ada kecintaan terhadap orang kafir, karena wilayah (loyalitas) adalah cabang dari mahabbah (kecintaan). Hal ini juga melazimkan kita untuk membenci dan memusuhi mereka (Karena orang kafir itu memusuhi Islam). Karena larangan terhadap sesuatu berarti perintah untuk melakukan kebalikannya. Dan perlakukan ini tidak berlaku jika mereka (orang kafir) ikut hijrah ke Madinah. Jika mereka ikut hijrah, maka mereka diperlakukan sebagaimana kaum muslimin (sebagai warga negara kaum muslimin) . Sebagaimana Nabi s.a.w. memperlakukan orang-orang yang ikut hijrah bersama beliau sebagaimana perlakuan beliau terhadap orang Islam. Baik mereka yang benar-benar mu’min lahir batin, maupun yang hanya menampakan keimanan secara zhahir. Dan jika mereka berpaling atau tidak mau berhijrah berlaku perintah, ‘tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya‘, maksudnya kapan pun dan dimana pun kau menemui mereka”. (Tafsir As Sa’di, Jilid 1 Hal. 191).

Namun As Sa’di menjelaskan 3 jenis orang kafir yang dikecualikan sehingga tidak diperangi berdasarkan ayat selanjutnya (namun tidak kita bahas panjang lebar di sini), mereka adalah:

  1. Orang-orang kafir yang meminta suaka atau menyerah kepada kaum muslimin, yang antara muslimin dan kaum itu diadakan perjanjian damai untuk tidak saling memerangi
  2. Orang-orang kafir yang tidak ingin memerangi kaum Muslimin dan juga tidak memerangi kaumnya, ia adalah penduduk sipil yang tidak terlibat perang.
  3. Orang-orang munafik yang menampakkan keimanan karena takut diperangi oleh kaum muslimin (yaitu masuk Islam karena terpaksa atau munafik pura-pura masuk Islam statusnya dianggap orang Islam) (Tafsir As Sa’di, Hal 191).

 

Tafsir Q.S. An-Nisaa’ [4] : 139

(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi auliya (sekutu/aliansi/ penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? (Q.S.An-Nisaa [4] : 139)

Ibnu Katsir ketika mengupas Q.S. An Nisa : 139 menyatakan : Allah menyebutkan sifat mereka (orang munafik ) yaitu mengambil  orang kafir sebagai pemimpin mereka selain orang mukmin. Dengan kata lain mereka (orang munafik itu) berpihak kepada orang kafir. Apabila kembali kepada orang kafir mereka (orang munafik itu) berkata “sesungguhnya kami sependirian dengan kalian, kami hanya berolok-olok” (Yaitu dengan berpura-pura sependirian dengan orang mukmin). Dan mereka (orang munafik) itu bermaksud mencari kekuatan atau perlindungan orang kafir dengan cara menjadikan orang kafir itu sebagai aulianya. (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5 hal 570)

Siapa yang dimaksud orang munafik yang dihukumi sama dengan orang kafir pada ayat itu? Hal ini dijelaskan pada ayat sebelumnya, yaitu orang yang bolak balik murtad

Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (lagi), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (Q.S. An-Nisaa [ 4] : 137)

Imam Suyuti ketika menjelaskan perkataan “wabtaghuun” Apakah kamu mencari kekuatan dari sisi orang kafir? Mengutip sebuah hadits dari Anas r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda suatu hari : Sesunguhnya kekuatan itu dari sisi Allah maka siapa yang beriman kepada hari akhir, ia akan mendapat kekuatan (H.R.Ad-Dailami dan Ibnu Asakir ) (Tafsir Durul Mantsur Tafsir bil Ma’tsur, Jilid 5, Hal. 78)

Ayat di atas menyatakan bahwa sifat orang munafik yang bolak balik murtad (sebagaimana diterangkan ayat sebelumnya) lebih gemar memilih pemimpin dari kalangan orang kafir karena mengharapkan dukungan kekuatan dari mereka. Hal ini bersumber dari kelemahan iman orang munafirk itu yang hatinya kerdil dan pengecut. Atau karena kecenderungan dan pembelaannya kepada orang kafir. Ia kahwatir jika tidak membela orang kafir, dunianya akan hilang, peragangannya akan tidak lancar, dan alasan duniawi lainnya. Padahal kekuatan itu dari sisi Allah, dan Allah lebih memiliki kekuatan dibandingkan orang kafir.

 

Tafsir Q.S. An-Nisaa’ [4] : 144

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ? (Q.S.An-Nisaa [4] : 144)

Ketika menafsirkan ayat di atas Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah melarang hamba-hambanya yang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai teman dekat dan bukannya orang mukmin. Arti “wali” dalam ayat ini adalah berteman dengan mereka, setia dan ikhlas bersama mereka. Sedangkan maksud “meninggalkan orang mukmin (dunil mukminin) yaitu merahasiakan (kepada kaum muslimin) kecintaan dan sikap kasih sayang terhadap kaum kafir, serta (sebaliknya) membuka rahasia kaum muslimin kepada orang kafir. (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5 hal 595)

Imam Suyuti menjelaskan janganlah kamu ambil orang-orang kafir dan bukan orang-orang mukmin sebagai pelindung! (Tafsir Jalalain)

BERSAMBUNG JILID 4

APAKAH SALAH MENGARTIKAN AULIYA=PEMIMPIN? (JILID 2)

JILID 2 (SAMBUNGAN )

abbasiyah-02

Nusron Wahid membahas gonjang ganjing pernyataan Ahok mengatakan dalam acara ILC dari segi –katanya sih — “ilmu tafsir” yaitu bahwa kalau kita berhadapan dengan sebuah “teks” selalu multi tafsir. Kalau soal ini sih bener banget. Memang teks itu memungkinkan adanya multi tafsir. Tapi tidak berarti mentang-mentang multi tafsir, lantas bebas menafsirkan seenaknya, khususnya jika itu teks A-Qur’an. Ada kaidah untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an.

Lebih lanjut Nusron Wahid menyataan bahwa yang paling tahu tentang Al-Qur’an itu sendiri adalah Allah SWT bukan MUI. Karena Allah berfirman “Al-Haqqu mirobbik (kebenaran itu dari Allah)”. Ayat ini benar , namun tidak pas diterapkan pada persoalan menafsirkan Al-Qur’an. Maksud dari kalimat Al-Haqqu min Robbik adalah bahwa apa yang diturunkan dari Allah lah mutlak kebenaran nya.

Untuk apa Al-Qur’an diturunkan kepada manusia jika hanya Allah saja yang tahu tafsirnya. Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia. Maka percuma saja jika gara-gara Al-Qur’an multi tafsir lantas tidak layak kita jadikan pedoman hidup.

Bahwa memahami text Al-Qur’an memungkinkan terjadi multi tafsir itu ada benarnya. Namun tidak berarti bahwa text Al-Qur’an sangat luas maknanya sehingga tidak ada batasan sama sekali. Menafsirkan ayat Al-Qur’an ada kaidahnya. Sehingga tetap saja ada batasannya. Tidak boleh setiap orang dengan logikanya sendiri bebas menafsirkan ayat Al-Qur’an. Kita tetap bisa membedakan mana tafsiran yang benar dan mana tafsiran yang tanpa dasar.

Yang Paling Tahu Al-Qur’an adalah Allah, namun Allah mengutus RasulNya untuk menjelaskan kepada Manusia

Nusron Wahid menyataan bahwa yang paling tahu tentang Al-Qur’an itu sendiri adalah Allah SWT. Itu benar. Namun Allah telah mengutus RasulNya untuk menjelaskan Al-Kitab yang diturunkan oleh Allah. Itulah salah satu fungsi Rasul. Oleh karena itu, disamping Allah, maka yang paling tahu tentang Al-Qur’an adalah Rasulullah s.a.w.

Selanjutnya, RasulNya mengajarkan kepada para sahabatnya dan para pengikutnya. Sebagian dari sahabat Rasul, hadir pada saat wahyu diturunkan. Demikian juga sebagian istri Rasulullah, menjadi saksi ketika wahyu diturunkan. Sehingga mereka adalah manusia-manusia yang paling tahu konteks tentang apa ayat Al-Qur’an itu diturunkan. Mereka adala orang yang paling mengerti apa yang dibicarakan dan apa yang dimaksudkan oleh ayat Al-Qur’an. Terkadang, Rasulllah s.a.w. menjelaskan maksud dari ayat tersebut. Terkadang mereka bertanya dan Rasulullah s.a.w. menjelaskan.

Banyak sekali hadits yang menerangkan bahwa maksud ayat ini adalah begini dan begitu. Atau sahabat bertanya apa arti dari suatu kata atau istilah yang tidak mereka pahami. Lalu Rasulullah s.a.w. menjelaskan arti kata tersebut.

Maka metoda menafsirkan dan memahami sebuah ayat Al-Qur’an, salah satunya mengacu pada penafsiran para sahabat. Ini harus dipriroitaskan ketimbang penafsiran manusia yang hidup setelah mereka.

Demikian pula selanjutnya, para sahabat mengajarkan kepada generasi tabi’in. Kemudian generasi tabi’in mengajarkan kepada generasi tabiut tabi’in. Kemudian generasi tabiut tabi’in mengajarkan kepada ulama-ulama generasi berikutnya. Maka dalam hal menafsirkan Al-Qur’an, kita harus mengedepankan penafsiran para ahli tafsir generasi terdahulu, dari kitab-kitab tafsir yang paling tua. Karena semakin dekat jaraknya dengan masa kehidupan Rasulullah s.a.w. niscaya akan semakin murni ilmunya dan masih terjaga dari distorsi pemikiran lainnya.

Maka berikut ini dalam beberapa tulisan bersambung akan kami sampaikan tafsir dari ayat-ayat Al-Qur’an yang memuat kata “auliya” berdafsarkan kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh generasi terdahulu :

Tafsir Q.S. Al-Baqarah [2] : 257

Allah adalah wali orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)...” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 257)

Al-Qur’an menegasan bahwa wali / auliya hanyalah Allah, Rasul dan orang beriman. Maka pemimpin muslim masuk dalam pengertian orang beriman :

Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat Q.S. Al-Baqarah : 257  mengartikan wali adalah penolong dan berkata : “Orang kafir yang menjadi penolongnya hanyalah setan. Setanlah yang menghiasi mereka dengan kebodohan dan kesesatan. (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3 Hal. 54)

Imam Al-Baidhowi (685 H) menafsirkan ayat Q.S. Al-Baqarah : 257  : Allah adalah wali orang beriman maksudnya adalah yang dicintai oleh mereka dan yang mengatur mereka (Tafsir Baidlowi Darul Fikr Beirut Jilid 1 Hal 558).

Ibnu  Jauzi (597 H) menafsirkan kata wali dalam ayat Allah adalah wali orang beriman maksudnya pengatur mereka, yang menuntun mereka dan mendukung mereka (Zad al-Masir fi ‘Ilm At-Tafsir, Darul Fikr Beirut Jilid 1 Hal 268).

Muhammad bin Ibrahim bin Ta’labi An-Naishaburi (427 H) “Allah adalah wali orang-orang yang beriman..” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 257) maksudnya Allah adalah penolong dan pendukung mereka, dikatakan yang mereka cintai, dan dikatakan yang mengatur mereka. (Tafsir Al-Kasyaf wal Bayan, Ihya-u Ats-Tsurat Beirut, Jilid Hal. 237).

Imam Nasafi ketika menafsirkan “Allah adalah wali orang-orang yang beriman..” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 257) maksudnya Allah adalah penolong dan pemimpin mereka (Tafsir An-Nasafi Jilid 1 Hal 199)

Muhammad bin Ibrahim Al-Kazan (725 H) “Allah adalah wali orang-orang yang beriman..” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 257) maksudnya Allah adalah penolong dan pendukung mereka, dikatakan yang mereka cintai, dan dikatakan yang berhak mengatur mereka. (Al-Lubaab At-Ta’wil fii Ma’ani At-Tanzil, Darul Fikr, Jilid 1 Hal. 272).

Jalalluddin Al-Mahalli dan Jalalluddin As-Suyuthi menafsirkan  “Allah adalah wali orang-orang yang beriman.. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 257) yaitu pemimpin mereka. (Tafsir Jalalain, Darul Hadits Kairo, Jilid 1 Hal. 216).

Imam Suyuthi ketika menafsirkan Q.S. A-Baqarah: 257 menurut Ibnu Mundzir dan Thabrani mengutip perkataan Ibnu Abbas r.a. tentang ayat Allahuwaliyulladzina amanu yukhrijuhum minadzulumati ilan nuur (Allah adalah wali orang beriman yang mengeluarkan dari kegelapan menuju cahaya) : yang dibicaraakan adalah mereka para pengikut Nabi Isa yang kemudian beriman kepada Muhammad s.a.w. dan terkait ayat selanjutnya.. walladzina kafaru auliya-u-humut thogut yang dibicaraakan adalah mereka para pengikut Nabi Isa yang menolak beriman kepada Muhammad s.a.w. mereka adalah kafir. (Tafsir Durul Mantsur Tafsir bil Ma’tsur, Jilid 3 Hal. 202)

Tafsir Q.S. Ali Imran [3] : 28

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali  dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena siasat… (Q.S.Ali-Imran [3] : 28)

Yang benar adalah Dalam Tafsir Al-Qurtubi ketika menafsirkan Q.S. Ali Imran : 28, dikutip hadits dari Ibnu Abbas  r.a. bahwa ayat tersebut (Q.S. Ali Imran : 28) turun terkait dengan Ubadah bin Tsamit Al-Anshori yang berencana berkoalisi dengan Yahudi dalam perang Ahzab (bukan perang Uhud). Ubdah berkata kepada Rasulullah s.a.w. : Wahai Rasulullah, saya memiiki dukungan 500 orang Yahudi, saya kira mereka bisa bergabung dalam pasukan kaum muslimin untuk menghadapi musuh. Maka kemudian turunlah ayat itu.

Sedangkan menurut Ath-Thabari, asbabun Nuzul ayat di atas adalah Al-Hajjaj bin Amr), yang mempunyai teman orang-orang Yahudi yaitu Ka’ab bin Al-Asyraf (pemuka Yahudi yang terkenal sebagai penafsir), Ibnu Abi Haqiq dan Qais bin Zaid kemudian ada beberapa sahabat (Rifa’ah bin Al-Mundzir, Abdullah bin Zubair dan Sa’ad bin Khattamah) yang berkata :”Jauhilah mereka dan kalian harus berhati-hati karena mereka nanti akan memberi fitnah kepada kalian tentang agama kalian dan kalian akan tersesatkan dari jalan kebenaran,  para sahabat yang laianya mengabaikan nasehat tersebut begitu saja, dan mereka masih tetap memberi sedekah kepada orang-orang Yahudi dan bersahabat dengan mereka, maka turunlah ayat ini. (Tafsir Ath-Thabari Jilid 3, Hal. 228)

Ibnu Katsir ketika menafsirkan Q.S. Ali Imran : 28 menjelaskan bahwa Allah melarang hambanya yang mukmin berpihak kepada orang kafir dan menjadikan mereka teman setia. Jadi wali di sini adalah teman setia. Kemudian Ibnu Katsir  menjelaskan bahwa ayat ini terkait dengan Q.S.Al-Mumtahanah [60] : 1 dimana jika orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai teman setia, nantinya akan membeberkan berita rahasia orang mukmin kepada orang kafir karena rasa kasih sayang, berarti ia telah meninggalkan orang mukmin. (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4 Hal 333)

Imam Suyuthi ketika menafsirkan Q.S. Ali Imran : 28 menyebukan dari Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas r.a.ketika Ibnu Umar pergi haji bersama rombongan Ka’ab bin Asraf dan Ibnu Abi Duqoiq ada sekelompok orang Anshor yang mengagungkan agama kafir kemudian  dikatakan hindarilah kumpulan orang Yahudi itu, dan jangan kalian agungkan agamanya . (Tafsir Durul Mantsur Tafsir bil Ma’tsur, Jilid 3 Hal. 505)

BERSAMBUNG JILID 3

TULISAN LAIN TERKAIT :
APAKAH SALAH MENGARTIKAN AULIYA=PEMIMPIN? (JILID 1 ) http://wp.me/p22fQF-oP

AHOK MENISTAKAN AGAMA ATAU TIDAK SIH?

hakim

Beberapa hari lalu, saya bertemu seorang teman lama, kemudian bertanya : Menurut kamu, pernyataan Ahokk itu menistakan agama Islam atau nggak sih?” Sejenak saya berfikir. Saya bilang : “Kalao menurut Ahok sih, dia bilang tidak bermaksud menistakan agama”.  Lalu teman saya bilang :”Ya itu kan kata Ahok, yang saya tanya menurut kamu, Ahok itu menistakan agama atau tidak?”

Hmm..begini karena seorang tokoh pernah membahas soal pernyataan Ahok ini, bahwa dari segi ilmu komunikasi, yang paling mengerti tentang maksud dari pernyataan itu ya si pembuat pernyataan. Kalau si pembuat pernyataan tidak berniat menistakan ya berarti tidak menistakan. Begitu kata tokoh yang membela Ahok dalam sebuah acara dialog di televisi nasional. Kalau begitu  nanti orang bisa bebas menghina kemudian ia mengaku tidak berniat menghina.

Bagaimana dengan orang yang mendengar pernyataan tersebut merasa bahwa hal itu menghina keyakinan mereka, menistakan agama mereka?” Saya fikir itu sangat relatif dan subyektif, tergantung persepsi masing-masing orang dalam mencerna, menafsirkan dan menilai pernyataan tersebut.

Dalam pernyataan Ahok, yang dituduh “membohongi dan membodohi”–ketika diklarifikasi wartawan—adalah para politisi rasis dan pengecut yang menggunakan ayat Al-Qur’an dan bukannya ayat Al-Qur’an itu sendiri. Dan ini terkait pemahaman mengenai arti kata “auliya” dalam Q.S. Al-Maidah : 51 menurut Ahok bukanlah “pemimpin” melainkan “teman”. Sehingga Ahok mengira bahwa orang yang mengartikan kata “auliya” sebagai “pemimpin” telah memelintir ayat dan memplesetkan ayat guna kepentingan politik.

Sedangkan menurut sebagian besar Kitab Mu’jam (Kamus) klasik yang ditulis para ulama sejak ribuan tahun lalu, bahwa kata auliya  adalah bentuk jamak dari wali, dan salah satu arti dari wali adalah pemimpin. Lebih tepatnya adalah orang yang diberi mandat untuk mengurus urusan orang lain. Oleh karena itu dalam sejarah peradaban Islam suatu ketika ada istilah “waliyul amri”. Wali di sini adalah  orang yang diberi mandat. Dan amri adalah urusan umum atau publik. Maka waliyul amri adalah pemimpin atau pemerintah.

Lihat : https://seteteshidayah.wordpress.com/2016/10/27/apakah-salah-mengartikan-auliya-pemimpin/

Berdasarkan itu, maka arti “auliya” memang sah-sah saja diartikan sebagai pemimpin. Dan memang Al-Qur’an menyatakan melarang orang Muslim memilih Non-Muslim sebagai pemimpin mereka. Maka orang yang menyampaikan kepada orang lain mengenai larangan memilih pemimpin non-muslim bukanlah tindakan membohongi dan membodohi orang lain. Bukan pula memelintir ayat atau memplesetkan ayat.

Maka dari pernyataan Ahok tersebut ada 4 obyek yang mungkin terkena sasaran penghinaan yaitu :

  1. Ayat Al-Qur’annya yang dituduh membohongi dan membodohi? Jawabannya : tidak (tapi hal ini tergantung apakah Ahok benar-benar hanya tahu auliya itu artinya teman? Dan Ahok tidak tahu auliya itu artinya pemimpin? Jika Ahok sebenarnya tahu auliya itu artinya pemimpin, namun sengaja menolak makna itu karena merugikan dirinya, maka justru Ahok yang membohongi dan membodohi sekaligus menghina agama).
  2. Ayat Al-Qur’an digunakan sebagai alat membohongi dan membodohi? Jawabnya : iya
  3. Orang yang menggunakan ayat tersebut termasuk ulama dianggap membohongi dan membodohi? Jawabannya : Iya, mereka merasa dihina dinistakan karena mereka mengartikan auliya = pemimpin sesuai berdasarkan kaidah bahasa Arab.
  4. Orang lain (khususnya umat muslim) yang mendengar pernyataan Ahok ? Jawabnya : bisa iya bisa tidak tergantung orangnya merasa terhina atau tidak.
  5. Depag dan penerjemah lain, yang dianggap salah terjemahannya karena menerjemahkan auliya sebagai pemimpin. Jawabnya : Iya, tapi bisa jadi Depag tidak merasa terhina.

Dalam hukum Indonesia ada delik aduan mengenai  penodaan agama berdasarkan pada  UU 1/PNPS/1965. Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 menyatakan:

“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.”

Sedangkan lamanya sanksi pidana bagi penodaan atau penistaan agama ada pada KUHP Pasal 156a yang berbunyi:

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

  1. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
  2. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Pada UU No. 1/PNPS/1965  istilah “melakukan penafsiran tentang suatu agama” ini lebih kepada aliran sesat ketimbang penghinaan pada simbol-simbol agama. Sedangkan pada KUHP Pasal 156a disebutkan :” bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama”.

Persoalan ini mungkin bisa dikenai KUHP masalah pencemaran nama baik yaitu Pasal 310 s/d 321 KUHP. Yaitu jika MUI, Depag dan ulama yang menafsirkan kata auliya sebagai pemimpin merasa difitnah dan dituduh membohongi dan membodohi. Bisa juga dikenai UU ITE terutama Pasal 27. Hal itu tergantung pengembangan penyidik dan Jaksa.

Di sini timbul persoalan. Dalam komunikasi itu ada dua pihak : si pembicara (komunikator) dan si komunikan sebagai pendengar (audien). Bisa jadi si pembicara tidak merasa menghina, menistakan, melecehkan atau mencemarkan nama baik. Namun si pendengar merasa terhina, dinistakan, dilecehkan atau dicemarkan nama baiknya. Nah ketika menetapkan ini penghinaan, penistaan , pelecehan a tau pencemaran nama baik, yang menjadi patokan itu siapa? Menurut si pembicara? Atau menurut si pendengar? Menurut saya, jawabannya : sepanjang masalah ini diselesaikan di pengadilan, maka yang menentukan isi pernyataan tersebut dikatagorikan penghinaan, penistaan , pelecehan a tau pencemaran nama baik ya pihak penengah lah yang menentukan, yaitu hakim.

Oleh karena itu yang terpenting adalah kasus Ahok ini harus diproses secara hukum. Perkara nanti pernyataan tersebut dikatagorikan penghinaan, penistaan , pelecehan atau bukan, pada akhirnya hakim lah yang memutuskan. Wallahu’alam.

TULISAN TERKAIT :

ANEKDOT AYAT BABI

APAKAH SALAH MENGARTIKAN AULIYA = PEMIMPIN ? (JILID 1)

ANEKDOT AYAT BABI

yang-membodohi-siapa

Suatu hari di negeri sebelah heboh soal pernyataan kontroversial tukang jual bakso babi yang menyatakan : “Soal bapak ibu mau beli atau tidak beli bakso babi saya itu terserah hak bapak ibu…tapi jangan mau dibohongi orang yang mengutip Q.S. Al-Baqarah [2] : 173 jangan mau dibodohi kalau makan bakso saya masuk neraka.. karena maksud ayat itu bukan itu….”

Perlu diketahui isi Q.S. Al-Baqarah [2] : 173 artinya adalah “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi” Berdasarkan ayat ini maka ulama Islam mengharamkan makan daging babi.

Kita tidak menemukan tafsir lain dari makna ayat di atas kecuali memang daging babi diharamkan….sehingga kalau ada ulama, kalau ada sama-sama pedagang, yang menyampaikan kepada orang lain agar jangan makan daging babi karena diharamkan itu bukan lah membohongi dan bukan pula membodohi.

“Saya ini 9 tahun sekolah Islam dan sudah sejak 2013 jualan bakso, dan saya sering menjumpai sesama penjual bakso yang rasis dan pengecut menggunakan ayat ini untuk mempengaruhi pembeli agar jangan beli bakso saya… jangan bawa2 Al-Qur’an dalam masalah dagang!! Itu namanya memanfaatkan ayat Al-Qur’an !“ Kata pedagang bakso babi yang merasa kesal dan dirugikan dengan banyaknya orang yang mengutip ayat tersebut sehingga ia khawatir dagangannya tidak laku.

Sebetulnya disebut rasis gak juga sih. Kebetulan saja yang jual bakso babi itu orang tionghoa…maka dia menuduh pedagang bakso lain sebagai rasis. Yang jadi larangan makan babinya kok bukan soal ras nya. Andaikata yang jual bakso babi itu orang jawa sekalipun, maka pedagang bakso yang sama-sama orang jawa pun akan tetap dikatakan jangan beli bakso babi, karena Islam melarang makan dagin babi. Lha memang Islammelarang makan babi kok. Ini bukan sebuah pembodohan dan bukan pula pembohongan.

“Lho saya tidak mengatakan bahwa Al-Qur’an membohongi dan membodohi !!” Kata penjual tukang baso ketika ditanya wartawan. “Yang membohongi dan membodohi itu adalah sesama penjual bakso yang iri melihat bakso saya laku.. lalu menggunakan ayat untuk menghalangi orang memilih bakso saya!!! ….maksud ayat itu bukan itu….maksudnya kan jangan berteman bersahabat dengan tukang bakso babi” kata tukang baso membela diri.

Nah kok tukang bakso bisa ngomong maksud ayat itu bukan itu?? Kok “sampeyan” lebih tahu maksud ayat itu dibanding para ulama sejak zaman dahulu kala ya? Jadi kalau ayat itu maksudnya bukan mengharamkan makan babi lalu maksudnya apa dong??? Tanya masyarakat pada si penjual bakso itu? Berdasarkan tafsir apa tukang bakso itu bisa bilang makna ayat itu bukan seperti itu?

Jelas dalam ayat Q.S. Al-Baqarah [2] : 173 kata “babi” ya maknanya “babi”. Mana mungkin maknanya adalah “ketoprak” atau “sayur jengkol” ???? Ya mau gimana lagi memang Al-Qur’an melarang hal itu kok. Masing-masing kan ada rejekinya. Yang non-muslim mau makan babi silakan. Kalau yang muslim ya semestinya mengindahkan larangan Allah ini. Tidak perlu mencari alasan atau merasa tidak enak dengan orang lain.

Yang lebih lucu lagi ada tokoh Islam tiba-tiba dengan gaya bijak berkata “sudah jelas faktanya bahwa apa yang dikatakan tukang bakso itu sama sekali tidak ada penghinaan ayat Al-Qur’an”

Lho, kalau sudah jelas maknanya memang “babi” lalu dikatakan maknanya “bukan babi” ini bisa disebut melecehkan gak ya? Bisa disebut menghina gak ya? Lalu yang membohongi dan membodohi ini sebenarnya siapa??

Lalu seorang tokoh mengatakan “betul itu..ini bukan penghinaan..ini Cuma persaingan bisnis antar pedagang bakso aja !!!”

“Pusing gua bro.. terserah masing-masing aja menilai ini menghina apa gak? Kata bapak-bapak yang nongkrong di warteg,

Lebih aneh lagi ada seorang habib atau ahlul bait (orang Arab yang konon bermarga kelas tinggi keturunan Nabi s.a.w.) berkata : “Jangan bawa-bawa ayat Al-Qur’an dalam masalah dagang!”

“Waladalah biiib…jadi ayat Al-Qur’an cuma dipake waktu sholat dan tahlilan doang yang Bib?? Kata santri yang sering dikatain bahlul sama kyainya.

“Yang bahlul itu ane apa ente sih Bib??

Ternyata ini hanyalah sekelumit ironi dari negeri sebelah

TULISAN LAIN TERKAIT :

AHOK MENISTAKAN AGAMA ATAU TIDAK SIH?

APAKAH SALAH MENGARTIKAN AULIYA = PEMIMPIN ? (JILID 1)

APAKAH NABI ISA (YESUS) MASIH HIDUP ATAU WAFAT?

APAKAH NABI ISA (YESUS) MASIH HIDUP ATAU WAFAT?

Oleh : Abu Akmal Mubarok

Yesus Hidup Atau Wafat 02

Umat Islam dan seluruh ulama muslim sepakat bahwa Nabi Isa alaihis salam (Yesus) tidak disalib. Keyakinan ini bersumber dari ayat Al-Qur’an sebagai berikut :

Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka (Q.S. An-Nisaa’ [4] : 157)

Sesungguhnya yang disalib adalah salah satu muridnya yang berkhianat bernama Yudas Iskariot, yang diserupakan wajahnya oleh Allah menyerupai wajah Nabi Isa a.s. Sejarawan Ibnu Ishaq mengisahkan sebuah kisah bahwa yang diserupakan adalah orang bernama Sarjis. Sedangkan Yudas Iskariot adalah murid Nabi Isa a.s. yang menjual informasi kepada tentara Romawi dan menunjukkan rumah tempat berkumpulnya Nabi Isa a.s. (Yesus) bersama 12 orang muridnya.

Adapun Umat Nasrani modern pada saat ini memiliki keyakinan bahwa Nabi Isa a.s. (Yesus) telah wafat di kayu salib. Namun sesungguhnya dalam sejarah keyakinan kristiani, masalah penyaliban Nabi Isa a.s. (Yesus) ini mengalami proses selisih paham dan keragu-raguan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qur’an :

Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa (Q.S. An-Nisaa’ [4] : 157)

Mengenai kontroversi seputar penyaliban Nabi Isa a.s. (Yesus) ini akan kita bahas pada tulisan yang lain. Insya Allah.

Jika Nabi Isa a.s. tidak wafat di tiang salib, lantas kemana kah beliau? Dalam Al-Qur’an dijelaskan :

Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya (rafa’ahullah ilaihi). Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. An-Nisaa’ [4] : 158)

Berdasarkan ayat di atas ulama tafsir mengatakan bahwa Nabi Isa a.s. (Yesus) tidak wafat di kayu salib melainkan diangkat oleh Allah ke sidratul muntaha (langit ke tujuh). Perkataan “raf’u” bisa berarti mengangkat secara fisik dapat pula secara non-fisik. Oleh karena itulah sebagian ulama memahami nya bahwa Nabi Isa a.s. (Yesus) diangkat dalam bersama fisiknya dan sebagian lagi berpendapat yang diangkat adalah ruh nya saja. Jika Yang diangkat adalah bersama fisiknya, berarti Beliau diangkat dalam keadaan hidup-hidup. Sedangkan jika yang diangkat adalah ruh nya saja, berarti sudah pasti Beliau diwafatkan terlebih dahulu. Namun Al-Maraghi berpendapat bahwa yang diangkat bukan ruhnya, melainkan yang dimaksud adalah diangkat derajatnya.

Persoalannya adalah dalam ayat Al-Qur’an yang lain, Allah berfirman yang artinya :

(Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu (mutawaffika) dan mengangkat kamu kepada-Ku (waroofi’uka) (Q.S. Ali Imran [3] : 55)

Oleh karena ada ayat di atas menyebutkan “mutawaffika” yang artinya akan Kami wafatkan kamu, maka berarti Nabi Isa a.s. telah di-wafat-kan. Sedangkan pada Q.S. An-Nisaa’ [4] : 158 dikatakan “rafa’ahullah ilaihi” yang artinya Kami telah mengangkatnya (isa) kepada Nya (Allah). Jadi sebagian ulama berpendapat Nabi Isa a.s. diangkat ke langit dalam keadaan telah diwafatkan terlebih dahulu dan yang naik ke langit adalah ruhnya. Adapun kelak Allah akan menghidupkannya kembali dan diturunkan ke bumi.

Pendapat Bahwa Nabi Isa Sempat Diwafatkan Sebelum Diangkat ke Langit

Ali ibnu Abu Thalhah meriwayatkan bahwa Ibnu Abba r.a. menyatakan arti dari “mutawaafika” dalam ayat ini adalah “mematikan / mewafatkan kamu”. (Tafsir Ibnu Katsir Juz 3 hal 388)

Al-Alusi dalam Ruhul Ma’ani mengatakan bahwa “mutawaafika” dalam ayat ini artinya adalah “mustaufi ajalika” yaitu menyempurnakan ajal mu agar tidak sampai dikuasai atau tertangkap oleh musuh.

Muhammad Ibnu Ishaq menafsirkan ayat meriwayatkan dari Wahb Ibnu Munabih bahwa Allah mewafatkan Nabi Isa a.s. selama 3 jam (saat peristiwa penyaliban) dan setelah itu Allah mengangkatnya ke langit. Sedangkan Ishaq ibnu Bisyir meriwayatkan dari Idris dari Wahb Ibnu Munabih bahwa Allah mewafatkan Nabi Isa a.s. selama 3 hari dan setelah itu Allah mengangkatnya ke langit.

Ibnu Jarir mengungkapkan sebuah atsar telah menceritakan kepada kami Ishaq telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abdul Karim, telah mencertakan kepada kami Abdush Shomad bin Ma’qal, ia pernah mendengar Wahb menceritakan bahwa Isa Ibnu Maryam ketika diberitahu oleh Allah akan diangkat dari dunia ini, maka gelisahlah hatinya akan kematian dan berita itu teraa berat baginya (Tafsir Ibnu Katsir Juz 6 Hal 26)

Dari atsar ini diketahui bahwa ketika Allah memberitahukan kepada Nabi Isa a.s. : Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu (mutawaffik) dan mengangkat kamu kepada-Ku (waroofi’uk) (Q.S. Ali Imran [3] : 55) Maka Nabi Isa a.s. memahami bahwa dirinya akan diwafatkan namun mengetahui rencana Allah bahwa yang disalib bukanlah Nabi Isa a.s. melainkan seseorang yang akan diserupakan dengan Beliau.

Pada Q.S. An-Nisaa’ Allah memberitahukan bahwa orang Romawi tidak membunuh dan tidak menyalib Nabi Isa a.s. Ayat ini tidak menunjukkan bahwa Nabi Isa a.s. kemudian tidak pernah wafat. Mungkin timbul kerancuan seolah perkataan “tidak membunuhnya” ini menunjukkan bahwa Nabi Isa a.s. tidak pernah diwafatkan sama sekali sampai ketika Beliau diangkat ke langit oleh Allah.

Pendapat Bahwa Nabi Isa Tidak Diwafatkan Dan Diangkat ke Langit Dalam Keadaan Hidup

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid bahwa mereka (Kaum Yahudi) telah menyalib orang yang diserupakan dengan wajah Nabi Isa a.s. sedangkan Nabi Isa a.s. telah diangkat ke langit oleh Allah dalam keadaan hidup. (Tafsir Ibnu Katsir Juz 6 Hal 31)

Ibnu Katsir termasuk orang yang membenarkan pendapat ini : “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Isa a.s. kepadaNya dan kini ia masih dalam keadaan hidup dan kelak sebelum kiamat terjadi ia akan diturunkan” (Tafsir Ibnu Katsir Juz 6 hal 36).

Pendapat bahwa Nabi Isa a.s. diangkat ke langit dalam keadaan masih hidup karena Beliau kelak akan diturunkan sebelum akhir zaman dan baru benar-benar diwafatkan.

Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya.. (Q.S. An-Nisaa [4] : 159)

Dan Nabi Isa a.s. baru akan benar-benar wafat setelah turun ke bumi, kemudian memecahkan salib dan membunuh babi, serta menjadi hakim selama 40 tahun, di bawah pemerintahan Imam Mahdi, baru kemudian Beliau wafat dan disholatkan oleh kaum muslimin. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :
Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda “…Isa akan tinggal (di bumi) selama 40 tahun, kemudian ia wafat dan dishalatkan oleh kaum muslimin” (H.R. Ahmad)

Qatadah mengatakan bahwa ungkapan dalam ayat ini (Q.S. Ali Imran [3] : 55) adalah ungkapan muqaddam sekaligus muakhkhar yaitu lebih dahulu mengungkapkan peristiwa yang akhir dan baru mengungkapkan peristiwa yang sebelumnya. Maksud sebenarnya adalah “Sesungguhnya Aku (Allah) akan mengangkatmu kepadaKu setelah itu Aku akan mewafatkanmu yaitu setelah diangkat. (Tafsir Ibnu Katsir Juz 3 Hal 388)

Sedangkan Matar Al-Waraq menjelaskan bahwa istilah mutawaafika” dalam ayat ini artinya adalah “mengangkat” sama dengan perkataan “rafa’a”. Sehingga Nabi Isa a.s. sama sekali belum pernah diwafatkan oleh Allah dan langsung diangkat oleh Allah dalam keadaan hidup.

Adapun Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa kebanyakan ulama mengatakan bahwa istilah mutawaafika” berasal dari kata “yatawaffa” yang artinya membuat tidur. Hal ini berdasarkan kata yatawafa dalam ayat lain yang bermakna tidur

dan Dialah yang menidurkan kamu (yatawaffakum) di malam hari ….”(QS. Al An’am [6] : 60)

Kata “yatawaffa” juga berarti memegang atau mengambil jiwa seseorang

Allah memegang jiwa orang (Allahu yatawaffa al- anfusahiina) ketika matinya….”(QS. Al Zumar [39] : 42)

Ibnu Abi Hatim meriawayatkan dari Ayahnya yang berkata : Telah menceritakan kepada kami Ahmad Ibnu Abdurrahman telah menceritakan kepada kami Abdullah Ibnu Abu Ja’far dari ayahnya, dari Ar-Ra’bi ibnu Anas dari Al Hasan bahwa sehubungan dengan firman Allah : Sesungguhnya Kami akan mewafatkan kamu (Q.S. Ali Imran [3] : 55) maksudnya adalah wafat dalam pengertian tidur. Dan Allah mengangkatnya dalam keadaaan tertidur. Kemudian Al-Hasan mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. pernah berkata kepada orang Yahudi “Sesungguhnya Isa itu belum mati dan sesungguhnya ia akan kembali kepada kalian sebelum kiamat”.

Di sini diambil kesimpulan bahwa pendapat yang rajih (kuat) terkait tafsir Q.S. Ali Imran [3]:55 (Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyelamatkan kamu dengan menidurkan kamu (mutawaffika) kemudian mengangkat mu ke langit…

Ialah Allah menidurkan atau membuat pingsan Nabi Isa a.s. kemudian Allah mengangkatnya ke langit (dalam keadaan hidup) untuk menyelamatkan dari tentara Romawi yang hendak menangkapnya. Maka ketika tentara Romawi hendak menangkapnya yang ditemukan adalah 12 orang hawariyyun (murid / sahabat Nabi Isa .a.s) dan salah satunya di situ ada yang diserupakan wajahnya dengan Nabi Isa (mungkin Yudas atau Sarjis).

Dan menuru keyakinan para ulama, kini Nabi Isa a.s. masih dalam keadaan hidup di sidratul muntaha (langit ke tujuh) dengan mendapatkan rezeki dari sisi Allah dan kelak akan diturunkan kembali ke bumi sebelum kiamat besar (qiyamah kubro). Setelah itu Nabi Isa akan mematahkan salib dan membunuh babi dan akan hidup selama 40 tahun sampai kemudian Allah mewafatkannya dan disholatkan oleh umat Islam sebagaimana dijelaskan oleh ayat berikut :

Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi), kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya(qobla mautihi) ….”(QS. An-Nisaa’ [4] : 159)

Perkataan qobla mautihi pada ayat di atas adalah Nabi Isa a.s. baru benar-benar diwafatkan oleh Allah nanti setelah turun kembali ke bumi dan hidup 40 tahun di bumi sebagaimana telah dijelaskan pada hadits sebelumnya.

Wallahua’lam bi showab.

Artikel terkait :

Apakah Nabi Isa (Yesus) Mengetahui Datangnya Hari Kiamat

APAKAH NABI ISA (YESUS) MENGETAHUI DATANGNYA HARI KIAMAT?

APAKAH NABI ISA (YESUS) MENGETAHUI DATANGNYA HARI KIAMAT?

Oleh : Abu Akmal Mubarok

Yesus Akan Datang

Salah satu ayat yang menjadi  ujian bagi umat Islam adalah Q.S. Az-Zukhruf [43] : 61. Arti ayat ini sering diplesetkan sebagai berikut : “Dan sesungguhnya Isa (Yesus) itu benar-benar mengetahui tentang hari kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu (dengan Yesus)  dan ikutilah Aku (Yesus). Inilah shirothol mustaqim (jalan yang lurus)”.

Dikatakan menjadi ujian karena ayat ini sering digunakan sebagian misionaris untuk memurtadkan umat Islam. Menjadi ujian karena bimbang lah hati umat Islam yang awam. Kalau benar Nabi Isa (Yesus) itu mengetahui tentang kapan datangnya kiamat, maka sungguh luar biasa Yesus itu, karena Nabi Muhammad s.a,w, saja mengatakan tidak tahu mengenai kapan datangnya kiamat.

Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. (Q.S. Al-A’raf [7] : 187)

Benarkah arti ayat itu demikian ? Jika benar seperti itu berarti Allah SWT tidak konsisten, karena pada surat yang sama pada ayat yang lain Allah menyatakan hanya Allah sajalah yang mengetahui kapan kiamat tiba.

di sisi-Nyalah pengetahuan tentang hari kiamat dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan (Q.S. Az-Zukhruf [43] : 85)

Maka para misionaris pun membantah : “Ooh tidak bertentangan kok”. Mengapa Yesus mengetahui kapan datangnya kiamat? Tentu saja, karena Yesus itu adalah Tuhan itu sendiri. Sehingga ia mengetahui kapan datangnya kiamat. Maka ayat di atas sering dipakai sebagai hujjah bagi non-muslim untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an pun meng-amini konsep ketuhanan Yesus.

Lebih celaka lagi bunyi ayat selanjutnya diplintir seolah artinya adalah : jangan ragu-ragu mengikuti Yesus dan ikutilah dia. Kemudian Yesus lah sesungguhnya shiroothol mustaqim (jalan yang lurus). Padahal selama ini umat Islam selalu membaca Surah Al-Fatihah dalam sholatnya yang mengatakan bahwa kita harus mengikuti shiroothol mustaqim (jalan yang lurus).

Maka seolah-olah ayat ini sangat telak mengugkapkan bahwa Yesus mengetahui kapan datangnya hari kiamat karena ia adalah Tuhan itu sendiri, dan janganlah ragu dengan Yesus, maka ikutilah Yesus karena dia lah yang dimaksud sebagai shiroothol mustaqiim (jalan yang lurus) dimana umat Islam selama ini selalu menyebutnya di dalam shalat.

Tidak seperti yang disangkakan oleh sebagian orang yangs sengaja memelintir ayat  Al-Qur’an Arti yang benar dari Q.S. Az-Zukhruf [43] : 61 adalah “Dan sesungguhnya Isa itu benar-benar memberi pengetahuan (mengajarkan keimanan )tentang saa’ah (hari kiamat). Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah Aku (Allah). Inilah shiroothol mustaqim jalan yang lurus

Sahabat Nabi s.a.w. yaitu Ibnu Abbas r.a. ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “saa’ah”  adalah saat sebelum kiamat besar dimana Nabi Isa a.s. akan turun ke muka bumi.

Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas menjelaskan : bahwa yang dimaksud “karena itu janganlah kalian ragu tentangnya”, maksudnya adalah ragu tentang peristiwa diturunkannya Nabi Isa a.s. saat sebelum kiamat, karena peristiwa itu pasti terjadi. (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Juz 25 hal 281)

Dalam hadits Nabi s.a.w. dikatakan bahwa Nabi Isa a.s. akan diturunkan ke muka bumi ini untuk kedua kalinya yaitu sebelum hari kiamat untuk membunuh Dajjal.

“Akan muncul Dajjal di tengah-tengah umatku…. Lalu Allah SWT mengutus Isa ibnu Maryam, seolah-olah dia itu Urwah bin Mas’ud, lalu mencari Dajjal, lantas membunuhnya.” (H.R. Muslim)

Al-Qur’an pun menyatakan bahwa Isa akan turun ke muka bumi sebelum kiamat :

Dan di hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka. (Q.S. An-Nisaa [4] : 159

Ayat yang menyatakan bahwa “Isa (Yesus) akan menjadi saksi pada hari kiamat” juga sering dipelintir oleh sebagian misionaris dengan mengatakan bahwa Yesus akan turun pada hari Pantekosta untuk menuai (memanen) yaitu memilih orang-orang yang percaya pada Yesus (sebagai Tuhan). Maka pada hari itu, siapa yang tidak percaya pada Yesus akan celaka.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menjadi saksi ialapada waktu kiamat adalah seperti dijelaskan pada Q.S. Az-Zukhruf [43] : 63:

Dan tatkala Isa datang membawa keterangan dia berkata: “Sesungguhnya aku (Isa) datang (turun ke bumi) kepadamu dengan membawa hikmat

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud “hikmat” pada ayat tsb yaitu nikmat kenabian dan untuk menjelaskan apa-apa yang selama ini kamu perselisihkan”. Ibnu Jarir menjelaskan : “hikmata yaitu perkara-perkara agama dan bukan perkara keduniawian”. (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Juz 25 hal 282)

Dalam hadits dijelaskan bahwa maksud turunnya Isa bin Maryam a.s. ke bumi adalah :

Rasulullah s.a.w. bersabda: “Kemudian Isa bin Maryam akan menjadi seorang hakim yang adil dikalangan ummatku dan seorang pemimpin yang bijaksana, ia akan menghancurkan salib, membunuh babi, menghapus jizyah dan menyuburkan sedekah,… (H.R. Ibnu Majah No. 4067)

Al-Qur’an menjelaskan bahwa setelah penjelasan Nabi Isa a.s maka akan menjadi jelaslah keyakinan yang salah dan keyakinan yang benar. Kaum Nasrani semua nya akan beriman masuk Islam sebelum kiamat, karena Nabi Isa (Yesus) akan menjelaskan kesalahan dari aqidah Nasrani yang menganggap dirinya sebagai Tuhan yang mati di tiang salib

Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya.. (Q.S. An-Nisaa [4] : 159)

Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “ikutilah jalan Ku yaitu Shiroothol Mustaqiim (jalan yang lurus)” sebagai berikut : Jalan yang lurus maksudnya adalah peribadatan semata kepada Allah, dan janganlah mengikuti persangkaan orang Nasrani yang mempertuhankan Yesus. Hal ini sebagaimana pada ayat selanjutnya :

Sesungguhnya Allah, Dialah (yaitu Allah) Tuhanku (Tuhannya Yesus) dan Tuhan kamu, maka sembahlah Dia (Allah), ini lah shirothool mustaqim (jalan yang lurus). (Q.S. Az-Zukhruf [43] : 64)

Ayat ini menjelaskan orang yang ingin memelesetkan dan mempelintir ayat sebelumnya (Q.S. Az-Zukhruf [43] : 61) bahwa yang dimaksud dengan shiroothol mustaqim adalah Isa (Yesus). Maka Allah telah memperingatkan pada satu ayat sebelumnya :

Dan janganlah kamu sekali-kali dipalingkan oleh syaitan; sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu(Q.S. Az-Zukhruf [43] : 63)

Maka orang yang mengikuti persangkaan yang dibisikkan setan berselisih dan mengungkapkan teori-teori ke-tuhan-an yang menyimpang karena mengira bahwa Isa (Yesus) itu Tuhan itu sendiri yang menjelma menjadi anak manusia.

“Maka berselisihlah golongan-golongan (yang terdapat) di antara mereka “ (Q.S. Az-Zukhruf [43] : 65)

Hal ini lah yang terjadi pada abad pertengahan, ketika Kaisar Agustinus melalui konsili Nicea memaksakan doktrin “ketuhanan Yesus”. Maka sebagan dari kaum Nasrani mempertahankan ke-esa-an Allah dan tidak mau menuhankan Yesus. Mereka ini disebut golongan Unitarian. Mereka kemudian dicap sebagai kelompok yang sesat, karena berlawanan dengan doktrin Kristen versi Pemerintah Romawi ketika itu. Kebanyakan dari mereka kemudian melarikan diri ke Timur Tengah dan Afrika. Mereka ini kemudian dikejar dan dibunuh oleh tentara Romawi dan apabila tertangkap dijadikan makana singa dalam ajang Gladiator di Roma. Untuk melindungi aqidahnya yang masih murni meng-esakan Allah, mereka menyembunyikan salinan-salinan Taurat dan Injil yang asli. Dokumen inilah yang kemudian ditemukan oleh para arkeolog pada masa kini. Salah satunya adalah manuskrip yang ditemukan di Wadi Qumran.

Wallahua’lam

 

CIRI CIRI ISTIDRAJ

CIRI CIRI ISTIDRAJ

Oleh : Abu Akmal Mubarok
Image

Apakah Ciri Ciri Istidraj?

Istidraj bisa terjadi pada hal apa saja. Semua kenikmatan dan apa apa yang disenangi oleh manusia bisa menjadi istidraj. Jadi kapankah sesuatu itu bisa menjadi  istidraj? Bagaimanakah kita membedakan bahwa kesenangan dan kenikmatan yang kita dapat itu adalah karunia Allah, ujian atau kah istidraj?

1. Jika ia adalah orang kafir, maka semua kelimpahan harta, kesenangan  dan kenikmatan duniawi adalah semata kemurahan Allah karena dunia ini remeh di sisi Allah. Jika ia terus dalam kekafirannnya maka itu adalah istidraj.

Dan janganlah sekali-kali orang kafir mengira bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka melainkan supaya bertambah tambah dosa mereka (Q.S. Ali Imran [3]:178)

Sayid Qutb menjelaskan ayat di atas berkata : “itu hanyalah fitnah dan itu hanyalah tipu daya yang kuat dan istidraj yang jauh” (Fhizilalil Qur’an Jilid 2 Hal 532) Maka harta, kekuasaan, kenikmatan duniawi itu bagi orang kafir sudah pasti adalah istidraj.

Namun jika ia merenungkan kebesaran Allah dan mendapat hidayah masuk Islam maka hal itu bukanlah istidraj. Hal ini tidak bisa terjadi kecuali memang ada kejernihan hati, kebersihan jiwa dan keunggulan akal dari orang itu, minimal orang itu peduli dengan benar atau tidaknya keyakinannya  selama ini. Contoh nya adalah Raja Negus (Najsyi) dari Ethiopia (Habasyah) yang waktu itu beragama Nasrani dan dia masuk Islam ketika dibacakan Q.S. Maryam oleh Dja’far bin Abi Thalib r.a. Atau Sir Lauder Brunton dan Archibakd hamilton, yang walaupun mereka seorang bangsawan terkemuka Inggris namun nuraninya terusik dengan kejanggalan keyakinan yang dianutnya selama ini, dan berusaha mencari kebenaran.

2. Jika ia adalah orang muslim, maka  kesenangan, keinginan, dan kenimatan duniawi adalah karunia sekaligus ujian. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kenikmatan itu juga ujian.

Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Q.S. Al-Anbiya[21] : 35)

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (Q.S. Al-Anfaal [8] : 28)

Jika ia lolos dari ujian ini, yaitu ia memanfaatkan harta sebaik-baiknya, dan menjadikan dunia sebagai sarana untuk mencapai akhirat, maka harta itu menjadi keberkahan dan karunia baginya.

Janganlah kalian mencaci-maki dunia. Dia adalah sebaik-baik kendaraan. Dengannya orang dapat meraih kebaikan dan dapat selamat dari kejahatan. (H.R. Ad-Dailami)

3. Namun jika seorang  muslim itu tidak kuat jiwanya dan kemudian menjadi lupa diri, tidak bersyukur, dan gara2 kesenangan dan  kenikmatan  itu kemudian menjauhkan dirinya dari Allah, maka ada dua kemungkinan. Harta itu menjadi musibah bagi dirinya dan kemudian Allah menarik kenikmatan itu agar ia kembali ke jalan yang benar. Itu berarti Allah masih sayang pada dirinya dan berarti Allah menghendaki kebaikan bagi dirinya.

4. Kemungkinan kedua, jika Harta itu menjadi musibah bagi dirinya namun Allah justru semakin melimpahinya dengan berbagai kesenangan, kemudahan, segala keinginannya terkabul dan segala kenikmatan mampu diraihnya maka itu adalah istidraj.

Rasulallah s.a.w bersabda: “Apabila kamu melihat Allah memberikan kepada seorang hambaNya di dunia ini apa yang hamba itu suka atau inginkan, sedangkan hambaNya itu selalu berbuat kemaksiatan, maka itulah ISTIDRAJ“. Kemudian Rasulullah s.a.w pun membaca surah (Q.S. Al-An’am: 44- 45)

5. Sedangkan jika ia lupa diri, tidak bersyukur, dan menyalahgunakan hartanya itu di jalan yang tidak dirihodi Allah, bahkan menjadi berkubang kemaksiatan dengan harta itu, sementara Allah tak juga menarik kenimatan itu bahkan sebaliknya semakin bertambah-tambah dibukakan dunia oleh Allah maka sudah bisa dipastikan itu adalah situasi istidraj.

Ali bin Abi Thalib r.a. berkata : “Jagalah agar engkau tidak tertipu oleh kaum pemuja dunia yaitu mereka yang merasa aman dan tenteram dengan kehidupannya. Kemudian mereka terlunta lunta tersesat dalam hutan rimbanya dan terbenam dalam kenikmatannya”. (Mutiara Nahjul Balaghoh Hal 58)

6. Namun terkadang Allah memberikan peringatan bukan dengan ditariknya kenikmatan itu melainkan didatangkanlah peringatan berupa orang shaleh yang menasehati, atau peristiwa di sekeliling yang bilah direnungkan bisa diambil hikmahnya. Namun jika ia tak kunjung mengerti k dengan peringatan Allah itu dan tak kunjung bertaubat, maka harta dan kenikmatan yang tetap tak berkurang bahkan semakin bertambah itu jelas merupakan istidraj.

Maka dapat kita simpulkan bahwa situasi istidraj itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Keimamanan dan ibadah semakin menurun namun kesenangan makin melimpah

Apabila kamu menyaksikan pemberian Allah dari materi dunia atas perbuatan dosa menurut kehendakNya, maka sesungguhnya itu adalah uluran waktu dan penangguhan tempo belaka. Kemudian Rasulullah Saw membaca firman Allah Swt dalam surat Al An’am ayat 44 : “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu, mereka terdiam berputus asa.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)

Ibnu Athaillah berkata : “Hendaklah engkau takut jika selalu mendapat karunia Allah, sementara engkau tetap dalam perbuatan maksiat kepada-Nya, jangan sampai karunia itu semata-mata istidraj oleh Allah”

2. Terus Melakukan Kemaksiatan Namun Kesuksesan Justru Semakin Melimpah

Ali Bin Abi Thalib r.a. berkata : “Hai anak Adam ingat dan waspadalah bila kau lihat Tuhanmu terus menerus melimpahkan nikmat atas dirimu sementara engkau terus-menerus melakukan maksiat kepadaNya” (Mutiara Nahjul Balaghoh Hal 121)

3. Semakin Kikir Justru Harta Semakin Melimpah

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung (harta) lalu dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya (Q.S. Al-Humazah [104] : 1-3)

Ayat di atas bercerita orang yang kikir dan menghitung-hitung hartanya. Ia mengira harta yang ditumpukkannya itu akan mengokohkan posisi dan kekuasaannya di muka bumi. Maka Allah akan menjadikan hal itu istidraj dengan sengaja makin kikir makin bertambah harta kekayaannya. Sehingga orang itu semakin yakin bahwa sifat kikirnya itulah yang menyebabkan dirinya kaya

4. Jarang Pernah Sakit

Imam Syafi’I pernah mengatakan : setiap orang pasti pernah mengalami sakit suatu ketika dalam hidupnya, jika engkau tidak pernah sakit maka tengoklah ke belakang mungkin ada yang salah dengan dirimu.

Artinya bisa jadi orang yang tidak pernah sakit itu memuja jin atau menganut suatu ilmu kesaktian tertentu yang itu adalah syirik dan persekutuan dengan setan. Kalaupun bukan karena itu, jelas ada sesuatu yang salah atau sesuatu yang menyimpang dalam diri kita.

  1. Semakin Sombong Namun Harta Semakin Melimpah

Orang yang mengalami istidraj cirinya semakiin ia sombong maka semakin kaya dan terbuka dunia bagi dirinya

Rasululah s.a.w. bersabda : “Di antara tanda-tanda kesengsaraan adalah mata yang beku, hati yang kejam, dan terlalu memburu kesenangan dunia serta orang yang terus-menerus melakukan perbuatan dosa”. (HR. Al Hakim)

MENGAPA ORANG KAFIR DIBERI REZEKI ?

MENGAPA ORANG KAFIR DIBERI REZEKI ?

Oleh : Abu Akmal Mubarok

Image

Kita terkadang mendengar pertanyaan mengapa orang kafir kaya-kaya sedangkan orang Islam yang sholat malah miskin-miskin? Sebenarnya orang muslim dan sholat yang kaya juga banyak. Namun lebih banyak lagi adalah orang kafir yang kaya. Penjelasan mengenai hal ini ada beberapa sebab  :

1.   Karena Sifat Rahman Allah

Sesungguhnya Allah memiliki sifat Rahman dan Rahiim. Perbedaan antara Rahman dan Rahiim adalah bahwa sifat Rahman itu adalah kasih Allah pada semua manusia, tidak pandang ia beriman atau kafir. Namun Rahman  Allah itu hanya sebatas di dunia saja. Selama di dunia, orang beriman maupun orang kafir semuanya mendapatkan rezeki, semuanya mendapatkan udara dan sinar matahari gratis. Sedangkan Rahiim adalah kasing sayang Allah hanya untuk orang beriman saja kelak di akhirat.

Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu  Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. (Q.S. Al-Israa’ [17] : 20)

Perhatikanlah ayat di atas kedua golongan itu sama-sama diberi bantuan. Siapakah kedua golongan itu? Lihatlah 2 ayat sebelumnya.

Golongan pertama, adalah orang yang menginginkan kehidupan di dunia. Mereka bahkan disegerakan diberi keduniawaian sebagaimana yang mereka minta.

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. (Q.S. Al-Israa’ [17] : 18)

Golongan kedua, adalah orang yang menginginkan akhirat dan berusaha sungguh2 ke arah itu. Mereka diberi kesenangan akhirat sebagaimana yang mereka minta.

Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik (Q.S. Al-Israa’ [17] : 19)

Dan baik muslim maupun non-muslim,  yang satu dilebihkan rezekinya, dilebihkan kekuasaannya, dilebihkan kesenangannya dibanding yang lain. Artinya orang muslim ada yang miskin, setengah kaya, kaya dan kaya sekali. Demikian pula orang kafir juga ada yang miskin, setengah kaya, kaya dan kaya sekali.

Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya (Q.S. Al-Israa’ [17] : 21)

Maka dalam sebuah hadits diceritakan bahwa betapa Allah itu sangat Rahman dan sabar atas kelaliman hambanya, karena setiap  hari manusia durhaka kepada Allah, dan kebanyakan manusia menyangka yang tidak benar kepada Allah namun Allah tetap memberi mereka rezeki :

Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah Telah menceritakan kepada kami Al A’masy dari Sa’id bin Jubair dari Abu Abdurrahman As Sulami dari Abu Musa ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tidak ada yang lebih sabar atas suatu hinaan daripada Allah ‘azza wajalla. Dia dipersekutukan dan dituduh mempunyai anak, namun dengan kesemuanya Dia yang memberi kecukupan, menolak bala` dari mereka dan memberi rezeki pada mereka.” (H.R. Ahmad No. 18807)

Namun Allah mengingatkan bahwa yang pasti adalah kehidupan akhirat itu lebih tinggi dan lebih besar kesenangannya dibanding kehidupan dunia yang paling senang sekalipun. Kehidupan akhirat itu lebih nikmat daripada yang paling nikmat sekalipun.

2.  Karena Dunia ini Remeh Di Mata Allah

Suatu hari Rasulullah s.a.w. bersama para sahabat melewati bangkai seekor keledai. Lalu Rasulullah s.a.w. bertanya : “Apakah kalian jijik dengan bangkai keledai itu?” Sahabat menjawab : “Ya”. Rasulullah SAW bersabda : “Seandainya bukan karena dunia ini dalam pandangan Allah lebih remeh dari pada bangkai keledai itu niscaya Allah tak akan rela memberikan dunia ini kepada orang kafir

Demikianlah dunia di mata Allah ini amat sangat remeh dan menjijikkan maka janganlah kaum beriman iri dengan dunia yang berada dalam genggaman orang-orang kafir karena sesungguhnya itu adalah istidraj, yaitu penguluran waktu dan kesenangan yang sedikit.

Kedua karena remehnya dunia, maka Allah di sini berlaku rumus : siapa yang menginginkan dunia baik itu kafir atau muslim akan diberikan dunia sesuai dengan kadar usahanya, sesuai dengan kadar ikhtiarnya

Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia (semata) dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan (Q.S. Huud  [11] : 15-16)

Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu (disamping pahala dunia) (Q.S. Ali-Imran  [3] : 145)

3.  Bagi Yang Mengejar Dunia Akan Memperoleh Sesuai Ikhtiarnya

Bagi orang yang menginginkan dunia, maka baik kafir maupun muslim akan dikenai rumus yang sama. Yaitu akan diberi dunia sesuai dengan kadar usahanya, sesuai dengan kepandaian dan kerja kerasnya.

Maka wajar saja jika orang kafir mendapatkan lebih banyak karena mereka bekerja lebih banyak. Orang kafir bekerja siang malam untuk dunia, sedangkan orang muslim sholat

Kami biarkan mereka (orang kafir itu)) bersenang-senang (dengan kehidupan duniawi) sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras (Q.S. Luqman[31] :24)

Maka biarkanlah mereka tenggelam (dalam kebatilan) dan bermain-main sampai mereka menjumpai hari yang diancamkan kepada mereka (Q.S. Al-Ma’arij  [70] : 42)

Allah memberi rezeki kepada hambaNya sesuai dengan kegiatan dan kemauan kerasnya serta ambisinya. (H.R. Ath-Thusi)

Demikian pula orang kafir menghalalkan segala cara, bisa menyogok, menipu, manipulasi yang penting mendapat untung lebih besar. Sedangkan orang beriman tak bisa melakukan segala cara, tak mau menipu, tak mau mengurangi timbangan, maka bisa jadi labanya lebih kecil namun lebih berkah.

Dari Abu Hurairah r.a. katanya Nabi s.a.w. bersabda : “dunia ini penjara bagi orang beriman (karena dibatasi kesenangannya) dan surga bagi bagi orang kafir (karena bebas menuruti hawa nafsunya)”.  (H.R. Muslim Jilid 2 No. 308)

4.  Sebagian Keunggulan Itu Karena Ketetapan Allah

Sebagian dari keunggulan orang kafir itu sebagai sebuah ketetapan Allah dan skenario Allah. Namun itu pun tidak berarti akan selamanya demikian. Apabila kebatilan itu merajalela dan kekafiran memiliki kekuasaan, itu hanyalah istidraj yang akhirnya kebatilan itu akan dikalahkan dan kekafiran itu pun akan dilenyapkan.

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al Kitab (Taurat), kekuasaan dan kenabian dan Kami berikan kepada mereka rezki-rezki yang baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya). (Q.S. Al-Jatsiyah [45] :16)

Bani Israil dilebihkan atas bangsa-bangsa lain karena itu ketetapan Allah namun kelebihan ini ternyata tidak dimanfaatkan untuk urusan yang baik bahkan sebaliknya mereka menyombongkan diri dan menggunakan kelebihan mereka untuk berbuat kerusakan di muka bumi, maka ini adalah istidraj

5.  Sebagian Keunggulan Itu Karena Pergiliran

Jika saat ini dikatakan orang kafir lebih unggul dari pada orang beriman, diantaranya karena sunatullah dimana kemenangan dan kekalahan, kejayaan dan kemunduran itu dipergilirkan antara orang beriman dan orang kafir.

Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’ (Q.S. Ali Imran [3] :140)

Pada masa Rasulullah s.a.w., Romawi dan Persia adalah 2 super power yang menguasai dunia. Lalu bandul beralih ke pihak kaum muslimin. Lebih dari 7 abad umat Islam menguasai  peradaban dunia, keunggulan materi maupun ilmu pengetahuan  dan spiritual berada di tangan umat Islam. Tapi memasuki abad ke-19 sampai abad ke 21 ini bandul kembali beralih ke arah kaum kafir. Namun semua umat itu ada ajalnya baik muslim maupun non muslim.

Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu  maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya (Q.S. Al-A’raaf [7] :34)

Maka nanti akan datan kembali giliran umat Islam untuk meraih kemenangan dan memimpin dunia

Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar (Q.S. Al-Israa’ [17] : 6)

6.  Walau Berbeda Namun Kekafiran Bersatu Melawan Kaum Beriman

Orang kafir itu semakin kaya dan bahkan diberi kekuasaan oleh Allah maka mereka dengan kekayaan dan kekuasaannya itu digunakan untuk mendukung kebathilan dan digunakan untuk membuat kekafiran semakin kukuh di muka bumi ini.  Benar, hal ini telah disadari oleh Allah bahkan Allah berfirman bahwa harta orang kafir itu akan digunakan untuk menyokong kekafiran mereka.

Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan (Q.S. Al-Anfal [8] : 36)

Orang kafir itu bermacam-macam, ada yang tak percaya Tuhan sama sekali, atheis, ada juga kaum musyrik penyembah api, dewa-dewa, dan ada juga ahlul kitab yang telah jauh dari ajaran aslinya. Walaupun berbeda-beda ideologinya namun mereka merasa memiliki musuh bersama yaitu muslim.

Dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain (Q.S. Al-Jatsiyah [45] : 19)

7.  Sebagian Ujian Bagi Orang Beriman

Salah satu hikmah dibalik diberinya kekuatan, kekayaan dan kekuasaan kepada orang kafir dan musuh-musuh Allah adalah karena mereka diperankan oleh Allah sebagai ujian bagi orang yang beriman dan musuh bagi kebenaran.

Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. (Q.S. Ali Imran [3] : 186)

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (Q.S. Al-Ankabut  [29] : 2)

Dengan ujian ini Allah menyisihkan orang yang munafik dari orang yang beriman, emas sepuhan dari emas murni dan loyang dari besi.

“Allah Sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, hingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dengan yang baik (mu’min)…” (Q.S. Ali Imran [3] : 179)

Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta (Q.S. Al-Ankabut  [29] : 3)

8.   Sebagian Sparing Partner (Lawan) Orang Beriman

Allah menjadikan orang-orang kafir itu musuh bagi orang beriman sehingga dengan itu orang beriman mendapatkan pahala dakwah, pahala jihad bahkan pahala syahid. Maka bagaimana mungkin orang kafir itu bisa menjadi  musuh (lawan) dan ujian bagi orang  beriman jika mereka tidak memiliki keunggulan, kekayaan dan kekuasaan ?

demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin (Q.S. Al-An’aam [6] :112)

Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa (Q.S. Al-Furqon [25] :31)

Demikianlah maka orang berdosa pun mereka mendapatkan rezeki bahkan semakin bertambah kekayaan mereka sebagai ujian bagi orang beriman. Tentu sebagai konsekuensinya orang-orang yang berdosa itu kemudian berfoya foya dan bersenang-senang  dengan kekayaan yang melimpah itu.

Seorang mukmin meskipun dia masuk ke dalam lubang biawak, (tetap saja) Allah akan menentukan baginya orang yang akan mengganggunya (H.R. Al-Bazzaar)

9. Karena Istidraj

Orang kafir diberi rezeki berlimpah diantaranya karena istidraj, yaitu sebuah uluran waktu akan adzab yang akan menimpanya di akhirat kelak akibat kekafirannya. Maka Allah biarkan mereka bersenang-senang dengan dunia, karena dunia ini surga bagi orang kafir sedangkan di akhirat sudah pasti berakhir di  neraka.

Umar bin Khattab r.a. berkata pada Rasulullah s.a.w. : “Berdoalah wahai Rasulullah untuk kelapangan umatmu karena orang Persia dan Romawi telah dilapangkan bagi mereka, padahal mereka tidak menyembah Allah” Beliau s,a,w, meluruskan duduknya kemudian bersabda : “Apakah ada keraguan pada dirimu wahai Ibnul Khattab? Mereka adalah kaum yang disegerakan kesenangan mereka dalam kehidupan di dunia ini (yaitu istidraj)”  (H.R. Ahmad No.  217)

10. Istidraj  Itu Harus Lebih Kaya Dunia Daripada Orang Beriman

Cobalah kita renungkan filosofi ini. Ketika kita memahami bahwa “istidraj” itu adalah sebuah penguluran dan tipuan dari Allah (karena kekafiran orang tersebut dan karena orang itu menyukai kekafiran dan mengharapkan dunia) sehingga orang semakin lalai dan tenggelam dalam kesesatannya, maka menjadi sebuah keniscayaan jika secara materi dan duniawi, orang yang dikenai “istidraj” itu lebih unggul daripada yang  “tidak dikenai istidraj”.

Maka janganlah harta dan anak-anak mereka (kaum musyrikin) membuatmu kagum. Sesungguhnya Allah bermaksud dengan hal itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan mati dalam keadaan kafir (Q.S. Taubah [9] : 55)

Bagaimana tidak? Jika tujuan istidraj itu membuat orang lalai, tentu harus dibuat bahwa yang memperoleh istidraj itu merasa lebih baik tetap berada dalam kekafirannya, ketimbang menjadi orang beriman. Jika orang yang beriman itu selalu lebih unggul secara materi duniawi, maka istidraj itu menjadi kehilangan fungsinya. Orang kafir akan sadar dan insyaf karena melihat bahwa orang yang beriman selalu lebih sejahtera di dunia. Maka mengertilah kita, justru karena Allah menghendaki dibukakan dunia itu menjadi istidraj, maka pasti dia lebih unggul daripada orang beriman.

Di sisi lain, kadang kesulitan dan kemiskinan menjadi ujian bagi orang beriman, apakah ia beriman kepada Allah karena benar-benar meyakini kebenaran agama Allah? Ataukah ia mengharapkan dunia? Oleh karena itu dalam beberapa kasus, orang yang baru memeluk Islam (mualaf) mendapat ujian berat dengan kehidupan dunianya yang semakin sulit, hidupnya lebih miskin dibanding ketika ia masih kafir. Inilah permainan dunia. Janganlah Anda terperdaya dengan ujian ini.

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Q.S. An-Nisaa [4] : 32)