BOLEHKAH MENIKAH DENGAN NON-MUSLIM?

Oleh : Abu Akmal Mubarok

Interfaith Marriage

Baru-baru ini Sutradara Hanung Bramantyo menetaskan film “Cinta Tapi  Beda” yang menceritakan cinta Diana, seorang gadis Minang beragama Katolik dengan Cahyo, seorang pemuda muslim dari Yogya.  Sebelumnya ada juga film “Tiga Cinta Dua Dunia  Satu Cinta” yagn mengisahkan Rosid yang berasal dari keluarga muslim taat keturunan Arab, menjalin cinta dengan Delia, gadis Katolik anak orang kaya.  Isu perkawinan beda agama sering memicu pro dan kontra, namun bagaimana sebenarnya Islam memandang hal ini ? Bolehkah pria muslim menikah dengan wanita non muslim? Atau bolehkah wanita muslim menikah dengan pria non muslim?

Siapa Yang Disebut Non-Muslim ?

Pertama tama, mesti kita dudukkan dulu siapa  saja yang disebut non muslim. Dalam Al-Qur’an non-muslim dibedakan menjadi dua : yaitu kaum musyrik dan ahlul kitab. Sedangkan kaum musyrik itu terbagi banyak, yaitu penyembah berhala, kaum sabi’in, kaum majusi dan sikh (penyembah api), kaum bahaiyah, penyembah patung, penyembah pohon, penyembah jin, orang atheis yang tidak percaya tuhan, orang sosialis komunis, orang agnostik (percaya tuhan namun tidak menetapkan agama tertentu) dll.

Ketika menyebutkan tentang orang Kafir, Al-Qur’an menyebutkan mereka terdiri dari terminologi (istilah) ahlul kitab dengan musyrik dalam kata yang dipisahkan oleh huruf wau yang berarti “dan”. Maka hal ini menunjukkan bahwa antara Ahlul Kitab dengan Musyrikiin adalah berbeda.

Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu (Q.S. Al-Baqarah [2] : 105)

“Orang-orang kafir yakni Ahlul Kitab dan orang-orang Musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agama mereka) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”  (Q.S. Al-Bayyinah [98] : 1)

Dalam ayat tersebut dikatakan “kafaruu” (orang-orang kafir) min ahlil kitab wal musyrikiina (dari ahlul kitab dan musyrik) jika ahlul kitab itu adalah termasuk musyrikiin, tentu hanya disebutkan satu istilah saja yaitu “musyrikiin”.

Ketika menafsirkan ayat di atas Ibnu Katsir berkata : “adapun ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani. Dan yang dimaksud dengan orang musyrik adalah para penyembah berhala dan api baik dari masyarakat Arab maupun Non-Arab” (Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 Hal 110)

Demikian pula dalam ayat lainnya, penyebutan orang musyrik terpisah dengan Shabi’in, Majusi, Yahudi dan Nasrani. Maka yang dimaksud orang musyrik adalah orang Quraisy para penyembah berhala. Hal ini untuk membantah pendapat orang yang menyamakan semua non muslim adalah musyrik.

Sesungguhnya orang-orang beriman, orang orang Yahudi, orang-orang Shabi’in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan orang-orang musyrik (penyembah berhala), Allah akan memberikan keputusan di antara mereka pada hari kiamat… “(Q.S. Al-Hajj [22] : 17)

Demikian pula dalam berbagai hadits Rasulullah s.a.w. membedakan antara kaum musyrik dan ahlul kitab.

Telah bercerita kepada kami Yahya bin Bukair telah bercerita kepada kami Al Laits dari Yunus dari Ibnu Syihab berkata telah mengabarkan kepadaku ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah dari Ibnu ‘Abbas r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. dahulunya menyisir rambut beliau ke arah depan hingga kening sedangkan orang-orang musyrik menyisir rambutnya ke bagian kiri-kanan kepala mereka, sementara itu Ahlul Kitab menyisir rambut mereka ke kening. Rupanya Rasulullah s.a.w. lebih suka bila bersesuaian dengan apa yang dilakukan oleh Ahlul Kitab dalam perkara yang tidak ada perintahnya. Namun kemudian hari Rasulullah s.a.w. menyisiri rambutnya ke arah kanan-kiri kepala beliau (menyamai orang musyrik)”. (H.R. Bukhari No. 3294)

Pada hadits di atas juga ada isyarat yang jelas bahwa dalam hal menyisir rambut, Rasulullah s.a.w. mempertimbangkan 2 kelompok yaitu ahlul kitab dan musyrikin. Jika ahlul kitab dan musyrikin itu adalah satu kelompok yang sama tentu tidak ada penyebutan seperti ini.

Siapa Yang Disebut Ahlul Kitab?

Ahlul kitab yaitu orang yang pernah menjadi umat para Nabi Allah yang pernah diberi kitab. Jumhur ulama berpendapat yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani (Al-Ahkam Al-Qur’an Imam Qurthubi Juz 6  Hal 77). Ibnu Katsir berkata : “adapun ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani (Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 Hal 110)

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi sebagian dari Al kitab (ahlul kitab)? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman (Q.S. Al-Maidah [5]:50)

Yang dimaksud orang yang diberi kitab pada ayat di atas adalah Yahudi : yaitu ketika orang musyrik mekah bertanya pada orang Yahudi “Apakah kami lebih memiliki petunjuk ataukah Muhammad?” Maka orang Yahudi itu menjawab : “Kalianlah yang lebih memiliki petunjuk” maka turunlah ayat 5:50 di atas. Maka sebutan ahlul kitab di sini adalah Yahudi

(Kami turunkan al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: “Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami (Q.S. Al-An’Aam [6]: 156)

Ali Ibnu Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa yang dimaksud kedua golongan tersebut ialah Yahudi dan Nasrani. Demikian pula pendapat Mujahid, As-Saddi, Qatadah dll. (Tafsir Ibnu Katsir Juz 8 hal 176)

Demikian pula yang diisyaratkan dalam berbagai hadits-hadits Rasulullah s.a.w. bahwa istilah ahlul kitab itu adalah julukan untuk Yahudi dan Nasrani

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah Al Uwaisi berkata, telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Sa’ad dari Ibnu Syihab dari Salim bin ‘Abdullah dari Bapaknya ia mengabarkan kepadanya, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah s.a.w.  bersabda: “Sesungguhnya keberadaan kalian dibandingakan ummat-ummat sebelum kalian seperti masa antara shalat ‘Ashar dan terbenamnya matahari. Ahlu Taurat diberikan Kitab Taurat, kemudian mereka mengamalkannya hingga apabila sampai pertengahan siang hari mereka menjadi lemah (tidak kuat sehingga melalaikannya). Maka mereka diberi pahala satu qirath satu qirath. Kemudian Ahlu Injil diberikan Kitab Injil, lalu mereka mengamalkannya hingga waktu shalat ‘Ashar, dan mereka pun melemah. Maka merekapun diberi pahala satu qirath satu qirath. Sedangkan kita diberikan Al Qur’an, lalu kita mengamalkannya hingga matahari terbenam, maka kita diberi pahala dua qirath dua qirath. kedua Ahlul Kitab tersebut berkata, ‘Wahai Rabb kami, bagaimana Engkau memberikan mereka dua qirath dua qirath dan Engkau beri kami satu qirath satu qirath. Padahal kami lebih banyak beramal! ‘ Beliau melanjutkan kisahnya: “Maka Allah ‘azza wajalla bertanya: ‘Apakah Aku menzhalimi sesuatu dari bagian pahala kalian? ‘ Mereka menjawab, ‘Tidak’. Maka Allah ‘azza wajalla berfirman: ‘Itulah karunia-Ku yang Aku berikan kepada siapa yang Aku kehendaki’.” (H.R. Bukhari No. 524)

Imam Syafi’i  (madzhab Syafi’i) berpendapat Ahlul Kitab hanya terbatas pada Yahudi dan Nasrani dari golongan Bani Israil dan tidak termasuk ahlul kitab orang-orang di luar Bani Israil walaupun beragama Yahudi dan Nasrani. Karena Nabi mereka diutus hanya untuk Bani Israil. Adapun agama Majusi (Zoroaster) , tidak termasuk dalam kategori Ahlu kitab Hal itu karena Majusi tidak diturunkan kepadanya Kitab, dan juga tidak mengikuti salah satu dari agama Yahudi maupun Nasrani. (Al-Umm : Vol.V, hal. 405 ).

Menurut Syaikh Nawawi al-Bantani ini, yang termasuk ahlulkitab adalah dua komunitas besar, yaitu Yahudi dan Nasrani. Hal ini ditegaskan oleh Syaikh Nawawi Al Bantani dalam setiap menyebutkan kalimat ‘ahlulkitab’ selalu mengiringinya dengan kalimat ‘Al-Yahud dan Al-Nashara’

Pendapat Bahwa Shabiin Termasuk Dalam Kelompok Ahlul Kitab

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allahdan hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (Q.S. Al-baqarah [2] : 62)

Pada ayat di atas jelas diisyaratkan bahwa Shabiin disebutkan bersamaan dengan Yahudi dan Nasrani dan dikaitkan dengan siapa saja diantara mereka yan beriman pada Allah dan hari akhir.. ayat ini tidak menyebutkan kaum musyrikin yang jelas-jelas menyembah berhala dan tidak mungkin beriman pada Allah dan hari akhir.

Maka sebagian mufasir (ahli tafsir) berpendapat yang dimaksud sabiin adalah orang-orang yang mengikuti agama-agama para Nabi terdahulu yaitu di luar kaum Yahudi dan Nasrani. Imam Bukhari menyebutkan bahwa Sabiin adalah pengikut kitab Zabur yang dibawa Nabi Daud. Namun ulama lain berkata bahwa Sabiin adalah pemegang mushaf Ibrahim dan sisa-sisa ajaran Nabi-Nabi sebelum Nabi Musa.

Maka dari sini pendapat orang bahwa Sabiin itu adalah para penyembah bintang dan matahari, sehingga tergolong pada kaum musyrikin adalah kurang tepat. Kaum Sabiin jelas merupakan ahlul kitab. Namun dalam konteks masa kini, sulit kita jumpai mana yang merupakan pemegang ajaran Nabi-Nabi terdahulu kecuali Yahudi dan Nasrani. Sehingga mencari-cari kaum Sabiin pada masa kini adalah sia sia.

Pendapat Bahwa Ada Kelompok Tengah Yang Bukan Ahlul Kitab dan Bukan Pula Musyrik

DR. Rasyid Ridha seorang pembaharu dari Mesir berpendapat bahwa Ahlul Kitab jelas adalah Yahudi dan Nasrani. Sedangkan musyrik adalah penyembah batu dan api. Adapun Hindu, Budha, Kong Hu cu dan Shinto menurut DR Rasyid Ridha, bukan termasuk Ahlul Kitab dan bukan pula musyrik. (Al Manar Vol 6 Hal 185-196)

Pendapat DR Rasyid Ridha ini karena menimbang ada kemungkinan agama mereka itu dulunya adalah pengikut salah satu nabi-nabi yang diturunkan Allah. Beliau mengikuti pandangan ahli tafsir bernama Al-Qasimi (Wafar  1914 M) ketika menafsirkan surat ke-95 (At-Tiin)  menjelaskan  bahwa  kata At-Tin ialah sebagai pohon bodi m tempat Budha  Gautama memperoleh  wahyu-wahyu  ilahi,  kemudian Al-Qasimi menegaskan bahwa:  “Dan menurut  pandangan  kami ,  bila  tafsir kami ini benar adalah bahwa dia (Budha) adalah seorang Nabi yang benar”  (Mabahis At-Ta’wil, Jilid 17, hlm. 6201)

Namun menurut hemat kami,  agama Hindu menyembah banyak dewa (polytheisme) maka jelas ini adalah termasuk kaum musyrikin. Adapun Buhda, Kong Hu Chu dan Shinto bisa jadi (ini hanya dugaan saja) bahwa ribuan tahun yang lalu mereka adalah salah satu Nabi atau orang sholeh yang kemudian dikultuskan oleh pengikutnya, dibuat patungnya dan ajaran mereka telah menyimpang jauh.

Sedangkan DR. Daud Rasyid menjelaskan bahwa lafal musyrikaat adalah bentuk jamak, dan penyebutannya diikuti dengan al ma’rifah (definite article) “Al” menjadi al-musyrikat. Maka dalam kaidah bahasa arab jika bentuk jamak disampaikan dengan al ma’rofah menunjukkan lil istighroq yaitu menunjukkan keseluruhan tanpa kecuali, sehingga larangan menikahi wanita al-musyrikat maknanya adalah larangan menikahi wanita musyrik dan semua bentuk musyrik apapun termasuk penyembah api, bintang, matahari, bulan, penyembah jin dan malaikat dll.

Seluruh penyembah patung, penyembah manusia, malaikat, binatang dan api hukumnya haram bagi kaum muslimin untuk memakan sembelihan mereka dan menikahi wanita mereka (Al Farqu bainal Firoq oleh Abdul Qahir ibnu Thahi Al-Baghdadi hal 353)

Pendapat Ibnu Umar Tentang Ahlul Kitab Adalah Termasuk Musyrik

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah Telah menceritakan kepada kami Laits dari Nafi’ Ibnu Umar berkata : “…aku tidak mengetahui adanya kesyirikan yang paling besar daripada seorang wanita yang mengatakan bahwa Rabbnya adalah Isa, padahal ia hanyalah hamba dari hamba-hamba Allah.” (H.R. Bukhari No. 4877)

Abdullah bin Umar putera dari Umar bin Khattab r.a. memiliki pendapat yang keras dengan menganggap bahwa istilah “Ahlul Kitab” itu berlaku pada jaman dahulu saja ketika agama Yahudi dan Nasrani belum diubah oleh tangan manusia dan kitab tsb masih asli. Adapun setelah umat Yahudi menganggap Uzair sebagai anak sulung Allah dan umat Nasrani menganggap Yesus sebagai anak tunggal Allah, maka mereka termasuk sebagai musyrik. Ibnu Umar mengatakan : “Saya tidak pernah mengetahui syirik yang lebih besar daripada orang yang menuhankan Isa atau manusia lainnya”.

Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah.” Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? (Q.S. At-Taubah [9] : 30)

Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka (Q.S. Al-Maidah [5] : 66)

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (Q.S. Al-Maidah [5] : 68)

Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?” Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 140)

Maka pandangan orang bahwa Ibnu Umar r.a bahwa Yahudi dan Nasrani itu syirik karena menyekutukan Allah adalah kurang tepat. Karena siapa yang bilang bahwa jika disebut ahlul kitab itu lantas tidak syirik? Penyebutan istilah ahlul kitab bagi Yahudi dan Nasrani itu tidak menafikkan kemusyrikan mereka. Dan memang Yahudi dan Nasrani dari segi aqidah adalah “musyrik” namun mereka tetap dibedakan dari orang musyrik penyembah berhala dan api karena pernah diturunkan Nabi dan Al-Kitab pada mereka.

Yang benar adalah bahwa termasuk orang yang kafir itu karena musyrik karena menyekutukan Allah. Maka di dalam cakupan orang kafir yang musyrik itu ada golongan ahlul kitab (orang kafir yang pernah diberi kitab) dan orang musyrik lainnya yang tidak pernah mendapa Al Kitab (yaitu  musyrik penyembah batu dan api dan lainnya). Maka sebutan kaum musyrikin dalam kebanyakan ayat Al-Qur’an maksudnya adalah para penyembah berhala yaitu kaum musyrikin Mekah (Quraisy), tidak termasuk di dalamnya Yahudi dan Nasrani yang tinggal di sekitar Mekah (seperti di Thaif).

Julukan Ahlul Kitab Sudah Dalam Kondisi Ajaran Mereka Menuhankan Isa dan Uzair

Tidak benar pandangan bahwa yang dimaksud “ahlul kitab” adalah orang orang Yahudi dan Nasrani yang masih berpegang pada ajaran asli para Nabi mereka. Sedangkan orang-orang yang sudah menuhankan Isa dan Uzair terlah berbuat syirik sehingga termasuk pada istilah kaum musyrikin.

Yang benar adalah pada saat ayat Al-Qur’an diturunkan, dan Allah memanggil mereka dengan julukan ahlul kitab, mereka sudah mengalami penyimpangan dan kemusyrikan. Umat Yahudi menuhankan Uzair sedangkan Umat Nasrani menuhankan Isa (Yesus).

Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putra Allah.” Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? (Q.S. At-Taubah [9] : 30)

Dalam riwayat dari Imam Ahmad dan Tirmidzi disebutkan bahwa Sahabat Adi bin Hatim pada mulanya adalah seorang Nasrani yang mengenakan kalung salib dari perak. Artinya kepercayaan Nasrani ketika itu sudah menyimpang meyakini Nabi Isa disalib.

Telah bercerita kepada kami Al Humaidiy telah bercerita kepada kami Sufyan berkata, aku mendengar Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepadaku ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah dari Ibnu ‘Abbas r.a. bahwa dia mendengar ‘Umar r.a. berkata di atas mimbar, “Aku mendengar Nabi s.a.w. bersabda: “Janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku (mengkultuskan) sebagaimana orang Nashrani mengkultuskan ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka itu katakanlah ‘abdullahu wa rasuuluh (hamba Allah dan utusan-Nya”). (H.R. Bukhari No. 3189)

Jadi ketika masa itu sudah masyhur diketahui bahwa umat Nasrani telah menuhankan Nabi Isa a.s. walaupun sebagian dari mereka masih melaksanakan shalat (tidak seperti Nasrani saat ini yang tidak melaksanakan shalat). Juga ayat-ayat Al-Qur’an yang turun pada zaman itu sudah menyebutkan bahwa umat Yahudi menjadi Uzair itu putra Allah dan Nasrani menyatakan Isa Al Masih putra Allah. Dari segi ini jelas mereka telah musyrik namun mereka tetap dipanggil sebagai ahlul kitab.

Pendapat Dr. Nurcholis Majid dan Gus Dur Serta dan Muhamad Ali Dosen UIN Tentang Ahlul Kitab

Ahlul kitab secara harfiah artinya adalah orang yang pernah diberi kitab. Berdasarkan makna harfiah ini maka Muhammad Ali, Dosen UIN menyatakan bahwa Hindu, Budha, Konghucu dan Shinto di Jepang pun masuk dalam pengertian ahlul kitab ini karena mereka juga memiliki kitab suci. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Dr. Nurcholis Majid dan Gus Dur.

Namun pendapat seperti ini jelas kurang tepat. Karena jika definisi hanya berdasarkan makna harfiah saja, maka Hakim dan Pengacara yang memegang kitab KUHP atau kitab apapun bisa disebut ahlul kitab karena mereka juga punya kitab.

Ungkapan Al-Kufru Milatu Wahidah

Ungkapan bahwa kekafiran itu hakikatnya sama, adalah benar ketika kita berbicara dalam konteks aqidah. Karena di luar kebenaran adalah kesesatan, apa pun itu bentuknya. Ini adalah statemen yang umum.

Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (Q.S. Yunus [10] : 32)

Benar, bahwa Yahudi dan Nasrani berada pada kesesatan, namun ketika kita berbicara dalam hal muamalah tidak lantas semua yang terkait Yahudi dan Nasrani itu menjadi haram. Misalkan ketika tidak ada larangan berbuat baik pada non-muslim selama mereka itu tidak memerangi kaum muslimin.

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. Al-Mumtahanah [60] : 8 – 9).

Apa yang boleh dan tidak boleh terkait menyikapi kaum kafir memiliki perincian yang berbeda beda dalam syariat.

Hukum Menikah Dengan Ahlul Kitab

Dalam Al-Qur’an jelas terdapat ayat yang membolehkan pria muslim menikahi wanita ahlul kitab.

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu (Q.S. Al-Maidah [5]:5)

Ayat di atas hanya menyebutkan kebolehan pria muslim menikahi wanita ahlul kitab tapi tidak disebutkan mengenai kebolehan wanita muslimah menikah dengan pria ahlul kitab. Maka jumhur ulama berpendapat wanita muslimah tidak boleh menikah dengan pria ahlul kitab

Sementara itu, pria muslim dilarang menikah dengan wanita musyrik dan wanita muslim juga dilarang menikah dengan pria musyrik.

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang (pria)  musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.. (Q.S. Al-Baqarah [2]:221)

Dalam hadits juga disebutkan adanya wanita Nasrani dan Yahudi yang menjadi istri pria muslim

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Haiwah bin Syuraih Al Hadlrami dari Dlamrah bin Rabi’ah dari Ibnu ‘Atha dari Bapaknya dari ‘Amru bin Syu’aib dari Bapaknya dari Kakeknya bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Ada empat orang dari kaum wanita yang li’an tidak berlaku bagi mereka; wanita Nasrani yang ada di bawah (menjadi istri) lelaki muslim, wanita Yahudi yang ada di bawah (menjadi istri) lelaki muslim, wanita merdeka yang ada di bawah seorang budak, dan budak wanita yang ada di bawah seorang lelaki merdeka.” (H.R. Ibnu Majah No. 2061)

Namun yang jadi masalah sekarang definisi mengenai siapa itu musyrik dan siapa itu ahlul kitab akan berimplikasi pada keputusan fiqih mengenai siapa saja wanita ahlul kitab yang boleh dinikahi.

Jumhur ulama berpendapat yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani (Al-Ahkam Al-Qur’an Imam Qurthubi Juz 6  Hal 77). Ibnu Katsir berkata : “adapun ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani (Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 Hal 110)

Ali Ibnu Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa yang dimaksud kedua golongan tersebut ialah Yahudi dan Nasrani. Demikian pula pendapat Mujahid, As-Saddi, Qatadah dll. (Tafsir Ibnu Katsir Juz 8 hal 176)

Maka jika mengikuti definisi Imam Qurthubi dan Ibnu Katsir ahlul kitab itu adalah Yahudi dan Nasrani. Sehingga boleh pria muslim menikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani.

Sedangkan Imam Syafi’i  (madzhab Syafi’i) berpendapat Ahlul Kitab hanya terbatas pada Yahudi dan Nasrani dari golongan Bani Israil dan tidak termasuk ahlul kitab orang-orang di luar Bani Israil walaupun beragama Yahudi dan Nasrani. Karena Nabi mereka diutus hanya untuk Bani Israil. Jika mengikuti definisi Imam Syafi’i maka menikahi wanita ahlul kitab dari bangsa Amerika, Eropa, Asia termasuk ahlul kitab di Indonesia adalah haram karena yang disebut Ahlul Kitab hanya berlaku pada bangsa Israel saja.

DR. Rasyid Ridha berpendapat lelaki muslim boleh menikahi wanita ahlul kitab namun tidak boleh menikahi wanita musyrik. Sedangkan Hindu, Budha, Kong Hu Cu dan Sintho tidak termasuk Ahlul Kitab dan juga tidak termasuk Musyrik maka Allah mendiamkan hukum menikahi wanita yang bukan Ahlul Kitab dan bukan pula Musyrik ini. (Al Manar Vol 6 Hal 185-196).

Berdasarkan definisi ahlul kitab seperti ini, DR. Rasyid Ridha berfatwa membolehkan menikahi wanita cina beragama Kong Hu cu, Shinto, Hindu maupun Budha bagi pria muslim tapi khusus yang ada di Cina saja, dikarenakan Beliau berharap bahwa wanita cina itu kemudian bisa menjadi muslim salah satunya adalah karena perkawinan. Fatwa ini pernah dilakukan akibat dar pertanyaan yang diajukan oleh muslim di Jawa. Dan DR Rasyid Ridha berkata “saya tak tahu bagaimana pengaruh perkawinan semacam ini di tempat kalian (Jawa)”. Dan di halaman 193 DR Rasyid Ridha menjelaskan bahwa bila dikhawatirkan lelaki yang menikahi wanita ahlul kitab bukannya berhasil mengislamkan istrinya malah terpengaruh dengan agama istrinya, maka mengawini wanita ahlul kitab ini menjadi terlarang.

Sedangkan bila mengikuti pendapat Ibnu Umar r.a. bahwa wanita yahudi dan nasrani itu termasuk pada yang dimaksud musyrikaat (wanita musyrik) maka menjadi haram secara total menikahi wanita yahudi dan nasrani kapanpun, dari bangsa apapun.

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah Telah menceritakan kepada kami Laits dari Nafi’ bahwa apabila Ibnu Umar ditanya tentang hukum menikahi wanita Nashrani dan wanita Yahudi ia menjawab, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan wanita-wanita musyrik atas orang-orang yang beriman. Dan aku tidak mengetahui adanya kesyirikan yang paling besar daripada seorang wanita yang mengatakan bahwa Rabbnya adalah Isa, padahal ia hanyalah hamba dari hamba-hamba Allah.” (H.R. Bukhari No. 4877)

Tidak Boleh Menikahi Wanita Ahlul Kitab Yang Nakal dan Suka Berzina

Walaupun dibolehkan menikahi wanita ahlul kitab namun tetap disyaratkan harus wanita yang baik-baik, dalam artian ia bukan pezina dan bukan wanita yang suka menjadi simpanan orang atau wanita yang menganut paham sex bebas.

“..Dan dihalalkan kamu menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antar aorang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu..” (Q.S. Al-Maidah [5] : 5)

Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa yang dimaksud muhsanaat adalah wanita-wanita yang menjaga diri dari perbuatan zina. Sedangkan pada masa kini telah masyhur bahwa orang Barat (seperti Amerika, Eropa, Australia, Amerika Latin dll) maupun bangsa Non-Barat (Jepang, Korea dll) baik mereka itu ahlul kitab dari agama Kristen, maupun Yahudi, dikenal menganut pergaulan bebas dan sex bebas. Maka jika wanita ahlul kitab ini ketika dinikahi masih menganut sex bebas, adalah haram untuk dinikahi. Karena tidak mustahil setelah menikah pun mereka akan dengan bebasnya berselingkuh dengan pria lain, dan wanita seperti ini tidak bisa diharapkan dalam mendidik anak-anaknya.

Jangankan dengan ahul kitab, dengan wanita muslim pun terdapat berbagai hadits yang menyatakan haramnya menikahi wanita yang nakal dan suka berzina

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Muhammad At Taimi, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari ‘Ubaidullah bin Al Akhnas dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Martsad bin Abu Martsad Al Ghanawi membawa tawanan dari Mekkah dan di Mekkah terdapat seorang pelacur yang dikenal dengan nama ‘Anaq dan dia dahulu adalah teman wanitanya. Martsad berkata : “Aku menemui Nabi s.a.w.lalu aku berkata; wahai Rasulullah, bolehkah aku menikahi ‘Anaq? Martsad berkata; kemudian beliau diam, lalu turun ayat: ” Seorang wanita pezina tidaklah boleh dinikahi kecuali oleh seorang laki-laki pezina atau orang musyrik”. Lalu beliau memanggilku dan membacakan ayat tersebut di hadapanku seraya bersabda, “Janganlah kamu menikahinya.” (H.R. Abu Daud No. 1755) Hadits ini dinyatakan shahih oleh Nashiruddin Al-Albani.

Ibnu Katsir berkata : “Tidak boleh laki-laki muslim menikahi wanita yang menyerahkan kendalinya pada sembarang laki-laki. Wanita yang hendak dinikahinya itu haruslah wanita yang lurus, bersih dan jauh dari kesamaran (syubhat), inilah yang lebih cocok agar tidak terjadi kesamaran di satu sisi ia sebagai wanita dzimmi (ahlul kitab yang dilindungi di bawah hukum negara muslim) namun di sisi lain sebagai wanita yang tidak menjaga kehormatannya sehingga rusaklah keadaan seluruhnya, dan si suami keadaannya seperti peribahasa : mendapat kurma yang jelek sekaligus juga mendapat takaran yang buruk atau mendapat dua kejelekan sekaligus (Tafsir Ibnu Katsir Juz 2 hal 20)

Tidak Boleh Menikahi Wanita Ahlul Kitab Yang Pernah Dihukum Karena Berzina

Bahkan wanita yang pernah dihukum pidana karena dia pernah berzina, tidak boleh dinikahki kecuali oleh pria yang juga pernah didera/dicambuk karena berzina. Atau jika dalam masa sekarang ini tidak boleh menikahi wanita ahlul kitab yang pernah dipenjara karena terkena razia menjadi PSK (wanita tuna susila).

Telah menceritakan kepada kami Musaddad dan Abu Ma’mar, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Abdul Warits dari Habib, telah menceritakan kepadaku ‘Amr bin Syu’aib dari Sa’id Al Maqburi dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: “Seorang pezina yang didera tidak boleh menikah kecuali dengan wanita seperti dirinya” (H.R. Abu Daud No. 1756) Hadits ini dinyatakan shahih oleh Nashiruddin Al-Albani.

Mungkin hal ini dalam rangka menghindari percekcokan dan mengungkit kesalahan di masal lalu ketika misalnya suatu saat suami isteri tersebut bertengkar. Karena wanita / pria yang pernah dicambuk di depan umum karena zina, pasti diketahui orang banyak bahwa ia pernah berzina, dan jika ada pria/wanita baik-baik yang menikahinya, mungkin akan menjadi perbincangan semua orang bahwa mereka tidak pantas mendapatkan pasangan seperti itu. Kadang orang yang jatuh cinta bisa saja tidak peduli dan tidak melihat kepantasan dari segi ini namun bisa jadi keluarga yang terhormat pasti tidak rela anaknya mendapatkan wanita/pria pezina walaupun saat ini saudah bertaubat.

Kecuali jika pasangannya menyadari resiko ini dan bersedia menanggung beban psikologis dari dosa masa lalu pasangannya, dan direstui keluarganya, serta berani menanggung malu dicemooh masyarakat maka silakan saja.

Telah menceritakan kepada kami Abdu bin Humaid telah menceritakan kepada kami Rauh bin Ubadah dari Ubaidullah bin Al Akhnas telah mengkhabarkan kepadaku Amru bin Syua’ib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Seseorang bernama Murtsad bin Abu Murtsad, ia adalah seseorang yang pernah menggendong seorang tawanan dari Makkah hingga ke Madinah. Ketika itu ia mempunyai teman seorang pelacur di Makkah bernama Anaq. Martsad kemudian meminta seseorang diantara tawanan Makkah untuk menggendongnya. Ia berkata: Aku pun datang hingga sampai ke naungan salah satu kebun Makkah di malam purnama. Anaq datang lalu melihat gelapnya naungan di tepi kebun. Saat ia tiba di hadapanku, ia mengenaliku, ia bertanya: Martsadkah ini? Aku menjawab: Iya, aku Martsad. Anaq berkata: Selamat datang, mari menginap ditempat kami malam ini. ia berkata: Aku berkata: Hai Anaq, sekarang Allah telah mengharamkan zina. Anaq kontan berteriak: “Wahai pemilik tenda, orang inilah yang membawa tawanan-tawanan kalian. Ia berkata: Delapan orang menguntitku, aku menempuh kawasan Khandamah hingga sampai ke salah satu gua. Aku masuk lalu mereka tiba hingga berdiri di atas kepalaku. Mereka kencing, kencing mereka mengenaiku dan mereka dibutakan Allah hingga tidak bisa melihatku. Setelah itu mereka kembali dan aku pun kembali ke temanku, aku menggendongnya, kebetulan ia adalah orang yang berat, aku menggendongnya hingga sampai rumput idzkhir, aku melepas tali pengikatnya yang kebetulan tali tersebut besar. Kemudian aku mengendongnya dan ia cukup menjadikanku kelelahan, hingga akhirnya aku tiba di Madinah. Aku mendatangi Rasulullah s.a.w. , aku berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau saya menikahi si ‘Anaq? Rasulullah s.a.w. diam tidak menjawab apa pun hingga turunlah ayat: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (An Nuur: 3) Rasulullah s.a.w. bersabda: “Wahai Martsad, lelaki pezina hanya menikahi wanita pezina dan pezina wanita hanya menikahi lelaki pezina atau lelaki musyrik, jangan nikahi dia.” (H.R. Tirmidzi No. 3101) Abu Isa (Timridzi) berkata: Hadits ini hasan gharib, kami hanya mengetahui hadits ini melalui sanad ini.

Ke-Boleh-an Menikahi Wanita Ahlul Kitab Jika Laki-Lakinya Kuat Aqidahnya

Kebolehan seorang pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab, tetap dengan catatan bahwa jika lelaki muslim tersebut bisa menjalankan fungsi qowwam (memimpin) dalam rumah tangganya. Dibolehkannya pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab itu dengan asumsi dasar pada umumnya lelaki adalah pemimpin dalam rumah tangga dan bisa mendidik istrinya. Sehingga diharapkan sang suami bisa membimbing istrinya untuk memeluk Islam.

Maka Dibolehkannya pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab itu bukan berarti kemudian untuk seterusnya dalam rumah tangga itu suami dan istri tetap pada agamanya masing-masing. Seperti pernikahan beberapa artis di negeri kita yang berbeda agama, suaminya muslim dan isterinya ahlul kitab, dan mereka tetap pada agamanya masing-masing. Akhirnya anak-anaknya mengikuti agama ibunya yang non-muslim. Ada juga yang separuh anaknya ikut bapaknya yang muslim dan separuh lagi anaknya ikut ibunya yang ahlul kitab.

Tiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-Islami). Ayah dan ibunya lah kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api). (H.R. Bukhari)

Maka seorang suami bertanggung jawab untuk mendidik istrinya dan anak-anaknya. Jika ia tidak bisa mendidik istrinya yang ahlul kitab untuk kemudian memeluk Islam, dan tidak bisa mendidik anak-anaknya untuk menjadi muslim, maka tidak boleh pria seperti ini menikah dengan wanita ahlul kitab.

Seorang pria datang kepada Nabi Saw dan bertanya, ” Ya Rasulullah, apa hak anakku ini?” Nabi Saw menjawab, “Memberinya nama yang baik, mendidik adab yang baik, dan memberinya kedudukan yang baik.” (H.R. Aththusi).

Dari Ibnu Umar r.a. berkata : Dari Nabi saw. bersabda: Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin. Seorang raja adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami adalah keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. (H.R. Muslim No.3408)

Tidak Boleh Menikahi Wanita Atheis, Komunis, dan Agnostik

Termasuk ke dalam katagori wanita musyrij ialah wanita yang tidak percaya adanya Allah (atheis) dan juga wanita komunis. Walaupun komunisme, marxisme, sosialisme matrialis, pada awalnya adalah sebuah aliran pemikiran dalam ekonomi dan pengelolaan kekayaan negara secara komunal (milik bersama), namun aliran ekonomi ini berujung pada pemikiran  bahwa agama itu adalah candu, dan Tuhan itu hanyalah imajinasi manusia saja.

Secara bahasa, orang yang tidak percaya akan adanya Allah atau tidak menyembah apapun, tidak bisa dikatakan menyekutukan Allah (syirik), karena yang disekutukan pun tidak ada.  Namun hakikatnya orang yang disebut menyekutukan Allah itu bukanlah orang yang menyembah Allah dan berhala, melainkan ia hanya menyembah satu saja yaitu berhala saja, maka ia disebut musyrik. Sehingga orang yang tidak menyembah apapun juga tergolong musyrik. Maka termasuk di dalamnya adalah orang Agnostik, yaitu yang percaya adanya Allah namun ia tidak terikat pada agama apapun , maka keyakinannya pada Allah itu tak ada gunanya dan ia termasuk pada kaum musyrik. Sehingga mereka ini semua haram untuk dinikahi.

Tidak Boleh Menikahi Wanita Ahlul Kitab Yang Memusuhi Islam Atau Asalnya Murtad dari Islam

Walaupun dibolehkan menikahi ahlul kitab, namun perlu dipahami bahwa tidak boleh menikahi wanita ahlul kitab yang ia membenci dan memusuhi Islam.

Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka (yang memerangi kamu itu)sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Mumtahanah [60] : 8 – 9).

Jika berkawan saja dengan orang yang memusuhi Islam tidak dibolehkan, terlebih lagi jika mengawini mereka dan menjadikan mereka sebagai ibu dari anak-anak kita, tentu lebih tidak boleh lagi.

Ibnu Abbas r.a. ketika ditanya tentang kebolehan menikahi wanita ahlul kitab berkata : “Di antara wanita ahli kitab ada yang halal bagimu untuk mengawininya dan ada yang tidak halal. Kemudian Ibnu Abbas membaca ayat : ‘Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula beriman pada hari kemudian (kiamat) dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar yaitu orang-orang yang diberi Al-Kitab kepada mereka sehingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (Q.S. At-Taubah [9]  : 29). Pendapat Ibnu Abbas r.a. ini disampaikan pada Ibrahim An-Nakha’i seorang fuqaha (ahli fiqih) dari Kufah kemudian ia setuju dengan pendapat ini. (Tafsir Ath-Thabari Juz 9 hal 788)

Maka sebagian ahli fiqih membedakan antara ahlul dzimmi (ahlul kitab yang tunduk di bawah pemerintahan Islam dengan membayar jizyah) dengan ahlul harbi (yaitu yang memerangi Islam). Abdurrazzaq dari Qatadah berkata : “Tidak boleh menikahi ahlul kitab kecuali yang ada perjanjian damai dengan mereka”. Dan diriwayatkan dari Ibnu Juraij belau berkata : “Telah sampai kabar ke padaku bahwa tidak boleh menikahi ahlul kitab kecuali yang ada perjanjian damai dengan umat Islam”. (Lihat (Al-Mushannaf Juz 7 hal 177-178)

Pendapat ini disetujui oleh Ali bin Abi Thalib r.a. Imam Zaid berkata dari Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa beliau (Ali) membenci (karahah) perkawinan dengan wanita harbiyyah. Yang dimaksud dengan karahah (makruh) di sini ialah haram karena mereka tidak termasuk ahlul dzimmah yang tunduk pada umat Islam (Ar-Raudhun Nadhir Juz 4 hal 270-274)

Al-Allamah Abu Bakar Ar-Razi (dari madzhab Hanafi) setuju dengan pendapat Ibnu Abbas r.a. sambil mengutip ayat Allah :

Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman pada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya..” (Q.S. Al-Mujadilah [58] : 22)

Imam Hanafi berkata : “Sudah seharusnya menikahi wanita harbiyyah itu dilarang sebagaimana ditegaskan pada firman Allah Q.S. Al-Mujadilah [58] : 22 sebab wanita ahlul harbi adalah wanita yang beada pada suatu garis yang bukan garis kita” (Ahkamul Qur’an Juz 2 hal 397-398)

Pada masa kini, orang yang keluar dari agama Islam kemudian menganut agama lain tidaklah mendapat hukuman karena dalam hukum sekuler masalah keyakinan dan agama adalah masalah pribadi. Maka di antara wanita-wanita ahlul kitab sebagian dari mereka adalah mantan muslim yang murtad kemudian memeluk agama lain. Wanita ahlul kitab seperti ini haram dinikahi karena ia termasuk orang yang membenci dan memusuhi Islam. Kecuali jika wanita ini telah lebih dulu bertaubat dan kembali memeluk Islam sebelum dinikahi.

Larangan Menikahi Wanita Ahlul Kitab Karena Pertimbangan Manfaat Mudharat

Sebagaimana telah masyhur di kalangan ahli fiqh adanya kaidah yang berbunyi taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminati wa al-amkan (Hukum itu berubah disebabkan perubahan tempat dan waktu), maka hukum asal dibolehkannya menikahi wanita ahlul kitab ini bisa berubah menjadi haram atau minimal makruh apabila dilihat kondisi dan situasi dengan mempertimbangkan manfaat dan mudharatnya.

Larangan menikahi wanita ahlul kitab pernah terjadi di masa Umar bin Khattab r.a. ketika umat Islam menaklukan Damaskus Syiria, serta Madain dimana Umar mengkhawatirkan godaan kecantikan wanita ahlul kitab di sana malah membuat umat Islam terbawa kepada agama istrinya. Sehingga walaupun Al-Qur’an membolehkan menikahi wanita ahlul kitab namun sebagai Khalifah beliau berhak untuk melakukan ijtihad dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi sehingga mengharamkan menikahi wanita ahlul kitab. (Lihat Tafsir Al-Ahkam oleh Ash-Shobuni Vol 1 Hal 287)

Ketika sampai berita pada Umar bin Khattab r.a. bahwa Hudzaifah Al Yamani berada di Madain menikah dengan seorang wanita Yahudi, Umar menulis surat kepada Hudzaifah dean mengatakan : “Aku mewajibkan engkau agar tidak meletakkan suratku ini sebelum engkau lepaskan (ceraikan) dia karena aku khawatir langkahmu akan diikuti oleh kaum muslimin sehigga mereka memilih kawin dengan wanita wanita ahlul dzimmah karena kecantikannya ketimbang dengan wanita muslimah, sehingga hal ini sudah cukup merupakan fitnah bagi wanita-wanita muslimah (Muhammad bin Al Hasan dalam Kitab Al Atsar)

Imam Sa’id bin Manshur menyebutkan bahwa Umar melarang Hudzaifah karena alasan lain. Setelah Umar mengemukakan tidak haramnya perkawinan ini hanya saja Umar mengatakan : “Tetapi saya khawatir kamu mengawini wanita-wanita yang tidak menjaga kehormatannya di antara mereka (ahlul kitab)” (Tafsir Ath-Thabari Juz 4 hal 366-367).

Abdurrazzaq menyebutkan sebuah riwayat dari Sa’id bin Al Musayyab bahwa Umar berkeinginan keras agar Hudzaifah menceraikan istrinya yang Yahudi itu karena khawatir orang-orang meng-qiyaskan wanita Majusi (penyembah api dari agama zoroaster di Persia) dengan wanita ahlul kitab karena mereka tidak paham bahwa kebolehan menikahi wanita hanya dari ahlul kitab namun tidak boleh dari wanita musyrik (Al-Mushannaf Juz 7 hal 177-178)

Maka seorang imam jamaah atau kepala pemerintahan sebuah negeri muslim boleh saja mengeluarkan larangan menikahi wanita ahlul kitab walaupun hukum asal pada Al-Qur’an membolehkannya, apabila melihat terdapat cukup banyak wanita muslimah yang belum menikah, atau janda-janda muslimah yang tidak memiliki suami.

Imam Hasan Al-Bashri ketika ditanya : “Bolehkah seorang lelaki muslim menikahi wanita ahlul kitab? Beliau menjawab : Ada apa antara kalian (kaum pria) dengan wanita ahlul kitab? Padahal Allah telah memperbanyak jumlah wanita muslimah. Kalau ia tidak dapat menghindari maka carilah (wanita ahlul kitab) yang menjaga kehormatannya dan bukan pezina (musafihah). Beliau menjawab : Yaitu wanita yang apabila da pria mengedipkan matanya lantas ia menghampirinya”.

Demikian pula bila di sebuah negeri kafir, yang jumlah kaum musliminnya minoritas, sehingga hanya terdapat sedikit pria muslim, jika jumlah pria muslim yang sedikit ini menikahi wanita ahlul kitab, maka kasihan wanita muslimah dimana mereka tidak boleh menikahi pria ahlul kitab, sedangkan pria muslimnya sendiri lebih memilih menikahi wanita ahlul kitab.

BOLEHKAH MENIKAH DENGAN NON-MUSLIM ?

Leave a comment