NISFU SYA’BAN

NISFU SYA’BAN

Oleh : Abu Akmal Mubarok

Image

Arti Nisfu

Nisfu artinya adalah pertengahan Hal ini adalah sebagaimana hadits Ibnu Umar berikut ini :

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Hayyan dari Hasan yakni Ibnu Ubaidullah dari Sa’d bin Ubaidah bahwa Ibnu Umar mendengar seorang laki-laki berkata, “Malam ini adalah An-nishfu (pertengahan bulan).” Maka Ibnu Umar berkata, “Darimana kamu mengetahui bahwa malam ini adalah An-nishfu (pertengahan bulan)? Bahkan malam ini adalah malam yang ke lima belas, saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: ” (hitungan bulan itu) adalah begini, begini dan begini.” (H.R. Ahmad No. 5801) Semua perawi hadits ini tsiqoh (terpecaya) di semua tingkatan.

Maka nisfu Sya’ban artinya adalah pertengahan bulan Sya’ban. Namun sekarang ini jika orang berkata nisfu saja kesan nya sudah pasti nisfu Sya’ban padahal semua pertengahan bulan disebut nisfu.

Keistimewaan Pertengahan Bulan

Secara umum, Islam menghormati pertengahan sehingga diperintahkan untuk berpuasa sunnah 3 hari pada setiap bulan (di luar bulan Ramadhan). Yaitu tanggal 13-14-15 pada tiap tiap bulan.

Gara-gara hal ini, orang non muslim ada yang memfitnah bahwa hal ini membuktikan Islam menghormati dewa bulan, dalam rangka membuktikan tuduhan mereka bahwa Allah adalah nama dewa bulan pada masa Jahiliyah dan umat Islam menyembah dewa bulan.

Telah menceritakan kepada kami Abdush-shamad, telah menceritakan kepada kami Hammam, telah menceritakan kepada kami Anas bin Sirin dari Abdul Malik bin Qatadah bin Milhan Al Qaissy dari Ayahnya dia berkata; “Rasulullah s.a.w. dulu pernah memerintahkan kami berpuasa yaumul bidl (pertengahan bulan), yaitu; tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas. Sabda beliau: “puasa yaumul bidl seperti puasa setahun.” (H.R. Ahmad No. 19429) Semua perawi hadits ini tsiqoh (terpercaya) Adapun Abdush-shamad bin Abdul Warits dikatakan oleh Ibnu Hajar Asqolani dan Abu Hatim sebagai perawi shaduuq (jujur). Sedangkan Muhammad bin Sa’d dan Ibnu Hibban mengatakn ia tsiqoh (terpercaya).

Telah menceritakan kepada kami Sufyan ia berkata, kami mendengarnya dari dua atau tiga orang, telah menceritakan kepada kami Hakim bin Jubair dari Musa bin Thalhah dari Ibnu Al Hautakiyah, “Umar r.a.? berkata, “Siapa ikut hadir bersama kami pada hari Al Qaahah (nama tempat antara Makkah dan Madinah)?” Abu Dzar berkata, “Aku. Rasulullah s.a.w. memerintahkan untuk puasa pada hari-hari bidl (ayamul bidl), yaitu di tiap pertengahan bulan tanggal tiga belas, empat belas dan lima belas.” (H.R. Ahmad No. 20371) Salah satu perawi hadits ini yaitu Hakim bin Jubair. Ahmad bin Hanbal, Adz-Dzahabi, dan Ya’qub bin Syaibah mengatakan Hakim bin Jubair adalah perawi dla’if. Ibnu Hajar Asqolani mengatakan ia tertuduh beraliran Syi’ah. Sedangkan Daruqutni mengatakan ia matruk (ditinggalkan).

Namun dalam hadits-hadits lain kita temui riwayat yang lebih shahih misalkan :

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far dia berkata; telah menceritakan kepad kami Syu’bah dari Khalid dari Abdullah bin Syaqiq berkata; Saya bertanya kepada Aisyah; “Apakah Rasulullah berpuasa pada tiga hari yang telah diketahui pada pertengahan bulan?” Aisyah menjawab; “Ya.” (H.R. Ahmad No. 24252) Semua perawi hadits ini tsiqoh (terpercaya).

Keistimewaan Bulan Sya’ban

Jika tadi kita telah mengetahui keistimewaan tiap tiap pertengahan bulan, maka bagaimana dengan keistimewaan Bulan Sya’ban itu sendiri? Telah kami uraikan panjang lebar dalam tulisan yang lain bahwa Rasulullah s.a.w. berpuasa sunnah pada bulan Sya’ban lebih banyak dibandingkan bulan-bulan lainnya (yaitu di luar puasa wajib bulan Ramadhan).

Telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Fadhalah telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Yahya dari Abu Salamah bahwa ‘Aisyah r.a. menceritakan kepadanya, katanya: “Rasulullah s.a.w. tidak pernah melaksanakan shaum lebih banyak dalam sebulan selain bulan Sya’ban, yang Beliau melaksanakan shaum bulan Sya’ban seluruhnya (sebulan penuh) “ (H.R. Bukhari No. 1834)

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Mu’adz bin Hisyam telah menceritakan kepadaku bapakku dari Yahya bin Abu Katsir telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Aisyah r.a., ia berkata : “Rasulullah s.a.w. tidak pernah berpuasa banyak di bulan tertentu dalam satu tahun, melebihi puasa beliau ketika pada bulan Sya’ban” (H.R. Muslim No. 1958)

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Mahdi, telah menceritakan kepadaku Mu’awiyah bin Shalih dari Abdullah bin Abu Qais, ia berkata; saya mendengar Aisyah r.ah. berkata :  “Rasulullah s.a.w. memperhatikan Bulan Sya’ban tidak seperti perhatian beliau kepada selainnya”. (H.R. Abu Daud No. 1980) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi, dari Mu’awiyah bin Shalih dari Abdullah bin Abu Qais, ia mendengar Aisyah berkata : “Bulan yang paling Rasulullah s.a.w. sukai untuk berpuasa adalah Bulan Sya’ban, kemudian beliau menyambungnya dengan Ramadhan”. (H.R. Abu Daud No. 2076) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Taubah Al ‘Anbari dari Muhammad bin Ibrahim dari Abu Salamah dari Ummu Salamah dari Nabi s.a.w. bahwa Beliau tidak pernah berpuasa sunah satu bulan penuh kecuali Bulan Sya’ban, beliau menyambungnya dengan Ramadhan. (H.R  Abu Daud No. 1989) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dia berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad yaitu Ibnu Umar dia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Salamah dari Aisyah dia (Abu Salamah) Berkata; wahai ibu bagaimana puasa Rasulullah s.a.w. ? (Aisyah) Berkata : “Sungguh beliau puasa sya’ban tidak sedikit bahkan beliau berpuasa sya’ban sebulan penuh.” (H.R. Ahmad No. 24154) Seluruh perawi hadits ini tsiqoh (terpercaya) dan hadits ini shahih.

Maka dari sini dapat kita simpulkan bahwa bulan Sya’ban memang bulan yang istimewa. Salah satunya karena bulan Sya’ban adalah bulan menjelang bulan Ramadhan yang amat dimuliakan. Sehingga puasanya Rasulullah pada bulan Sya’ban adalah dalam rangka menyongsong bulan Ramadhan.

Keistimewaan Nisfu (Pertengahan ) Sya’ban

Setelah kita mengetahui keistimewaan bulan Sya’ban, maka bagaimana dengan nisfu (pertengahan) nya? Seperti telah dijelaskan, bahwa pertengahan bulan (apapun bulannya) adalah istimewa, sedangkan bulan Sya’ban adalah bulan yang istimewa, maka wajar saja jika pertengahan yang istimewa dari bulan yang istimewa adalah sangat istimewa.

Telah menceritakan kepada kami Hasan telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi’ah telah menceritakan kepada kami Huyai bin Abdullah dari Abu Abdurrahman Al Hubuli dari Abdullah bin ‘Amru, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Allah Ta’ala mengamati makhluk-Nya pada malam pertengahan bulan sya’ban, lalu Dia mengampuni dosa-dosa hamba-Nya kecuali dua saja; orang yang bermusuhan dan orang yang membunuh seseorang.” (H.R. Ahmad No. 6353) Pada perawi hadits ini ada Huyyay bin ‘Abdullah bin Syuraih. Yahya bin Ma’in berkomentar tentang Huyyay laisa bihi ba’s (ada yang mengatakan khusus untuk Yahya bin Ma’in kalimat laisa bihi ba;s artinya masih tsiqoh atau masih bisa dipercaya). An-Nasa’i mengatakan laisa bi qowwiy (tidak kuat). Ibnu Hajar Asqolani mengatakan ia shaduuq yuham dan Bukhari mengatakan fiihi nadzhor. Pada perawi hadits ini juga ada Abdullah bin Lahi’ah yang dikatakan oleh Muhammad bin Sa’d dan Adz-Dzahabi . Al-Hakim mengatakan dzahibul hadits. Abu Zur’ah mengatakan laa yadlbut. Lalu Ibnu Hajar Asqolani mengatakan shaduuq (jujur).

Namun ada hadits dengan matan (redaksi) yang mirip, yang derajatnya lebih kuat yaitu berderajat hasan.

Telah menceritakan kepada kami Rasyid bin Sa’id bin Rasyid Ar Ramli berkata, telah menceritakan Al Walid dari Ibnu Lahi’ah dari Adl Dlahhak bin Aiman dari Adl Dlahhak bin ‘Abdurrahman bin ‘Arzab dari Abu Musa Al Asy’ari dari Rasulullah s.a.w, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah akan muncul di malam nishfu Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang meninggalkan jama’ah (murtad). “. ” (H.R.  Ibnu Majah 1380)

Adz-Zhahabi dan Muhammad bin Sa’d mengatakan Ibnu Lahi’ah atau Abdullah bin Lahi’ah adalah perawi dla’if. Sedangkan Ibnu Hajar Asqolani mengatakan Ibnu Lahi’ah shaduuq (jujur).  Namun Ibnu Hajar Asqolani menyatakan Abu-Dlahhak bin Aiman adalah majhul (tidak dikenal).  Abul ‘Alaa Al Mubarokfuri dalam, Tuhfatul Ahwadzi berkata, “Hadits ini  munqothi’ (terputus sanadnya) yaitu dari Adl-Dlahhak bin ‘Abdurrahman bin ‘Arzab terputus .

Muhammad bin Ishaq berkata, telah menceritakan kepada kami Abul Aswad An Nadlr bin Abdul Jabbar berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi’ah dari Az Zubair bin Sualim dari Adl Dlahhak bin ‘Abdurrahman dari Bapaknya ia berkata; aku mendengar Abu Musa Asya’ari dari Nabi s.a.w. bersabda sebagaimana hadits di atas. Hadits di atas juga diriwayatkan dari jalur lain yang lebih kuat. Maka walaupun hadits ini pada mulanya dla’if namun karena dikuatkan oleh beberapa jalur periwayatan lain sehingga derajatnya naik menjadi hasan. Syekh Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits di atas Hasan. Kesimpulannya : hadits ini hasan.

Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali Al Khallal berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq berkata, telah memberitakan kepada kami Ibnu Abu Sabrah dari Ibrahim bin Muhammad dari Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far dari Bapaknya dari Ali bin Abu Thalib ia berkata, “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apabila malam nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban), maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman: “Adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta rizki maka Aku akan memberinya rizki? Adakah orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang begini, dan adakah yang begini…hingga terbit fajar. ” (H.R. Ibnu Majah No. 1378) Salah seorang perawi hadits ini yaitu Abu Bakar bin Abdullah bin Muhammad bin Abu Sabrah adalah tabi’in kalangan tua yang dikatakan sebagai perawi dla’if. Sebagaimana disebutkan dalam At Taqrib Disandarkan pada kakeknya bahwa ia dituduh memalsukan hadits. Adz Dzahabi dalam Mizanul I’tidal mengatakan, “Imam Al Bukhari dan ulama lainnya men-dha’if-kannya”. Anak Imam Ahmad yaitu  ‘Abdullah dan Sholih, mengatakan dari ayahnya, yaitu Imam Ahmad berkata, “Dia adalah orang yang memalsukan hadits.” An Nasa’i mengatakan, “Ia adalah perawi yang matruk (dituduh dusta) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini dla’if jiddan (sangat lemah). Kesimpulannya : hadits ini dla’if.

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun telah mengabarkan kepada kami Al Hajjaj bin Arthah dari Yahya bin Abu Katsir dari ‘Urwah dari ‘Aisyah dia berkata : “Pada suatu malam saya kehilangan Rasulullah s.a.w. , lalu saya keluar, ternyata saya dapati beliau sedang berada di Baqi’, beliau bersabda: ” Apakah kamu takut akan didzalimi oleh Allah dan Rasul-Nya?” saya (’Asiyah) berkata, wahai Rasulullah, saya mengira tuan mendatangi sebagian istri-istrimu (yang lain), beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala turun ke langit dunia pada malam nisfu Sya’ban, lalu mengampuni manusia sejumlah rambut (bulu) kambing.” Dalam bab ini (ada juga riwayat dari jalur) dari Abu Bakar Ash shiddiq. (H.R. Tirmidzi No. 670)

Abu ‘Isa (Tirmidzi) berkata, hadits ‘Aisyah ini tidak kami ketahui kecuali dari jalur ini dari hadits Al Hajjaj. Saya mendengar Muhammad melemahkan hadits ini karena Yahya bin Abu Katsir belum pernah mendengar hadits ini dari ‘Urwah, sedangkan Al Hajjaj juga mengaku belum pernah mendengar hadits ini dari Yahya bin Abu Katsir. Maka dari Yahya bin Abu Katsir ada perawi lain yang terputus yang tidak diketahui dari siapa ia mendengar hadits ini. Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini dla’if. Kesimpulannya : hadits ini dla’if.

Shalat Malam Pada Malam Nisfu Sya’ban

Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa secara umum shalat malam atau tahajud adalah memiliki kedudukan istimewa dan mendapatkan pahala yang besar. Bagi orang yang melaksanakan shalat malam secara rutin, di hari apa saja dan di bulan apa saja, baginya tidak ada persoalan apakah ia melaksanakan shalat malam pada malam nisfu Sya’ban atau pada malam-malam lainnya di bulan-bulan selain Sya’ban.

Namun yang akan kita bahas di sini adalah orang yang tidak terbiasa rutin melaksanakan shalat malam, kemudian ia mengkhususkan diri melaksanakan shalat malam pada malam Nisfsu Sya’ban saja dengan meyakini adanya keistimewaan pada malam tersebut. Maka kemungkinan keyakinan itu dilandasai beberapa hadits sebagai berikut :

Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat; ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya… dan seterusnya.” (Disebutkan oleh Imam Syaukani dalam  Al-Fawaaidul Majmu’ah)

Namun hadit di atas sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu’ dan perawi-perawinya majhul.

“Shalat Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam Nisfu Sya’ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat “ (Al-Mukhtashar)

Hadits ini disebutkan dalam kitab “Al Mukhtashar” Imam Syaukani mengatakan : “Hadits yang menerangkan shalat malam pada malam Nisfu Sya’ban adalah bathil. Imam Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat,  empat belas rakaat dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, perawinya adalah majhul (tidak dikenal) maka hal ini adalah hadits dla’if atau maudhu (palsu).

Maka tidak ada masalah dengan shalat malamnya, dan tak ada masalah dengan bulan Sya’bannya maupun pada pertengahan (nisfu) Sya’bannya. Sedangkan yang menjadi masalah adalah keyakinan bahwa khusus pada malam itu pahala shalat malam pada malam nisfu Sya’ban akan melebihi pahala shalat malam pada malam-malam lainnya adalah tidak berdasar. Kesimpulannya : lakukanlah shalat malam, dan rutinkanlah shalat malam baik pada malam nisfu Sya’ban maupun pada malam-malam lainnya, dan Insya Allah pahala shalat malam itu memang sangat besar. Yang menjadi masalah adalah justru orang yang tidak pernah melaksanakan shalat malam sama sekali.

Wallahua’lam

One thought on “NISFU SYA’BAN

  1. […] Oleh: Ustadz Abu Akmal Mubarok […]

Leave a comment